Kamis, 09 Oktober 2008

Pancakaki, Asal-usul dan Maknanya


DALAM "Mundinglaya Dikusumah" diceritakan bahwa
lengser (pembantu umum raja) Muaraberes ditugaskan
mencari honje, sejenis tanaman berkelopak seperti jahe
yang buahnya masam dan biasa dijadikan bumbu atau
bahan manisan. Ketika itu, permaisuri raja yang sedang
mengandung rupanya mengidam honje. Singkat kata,
lengser mendapatkannya. Tapi di tengah jalan ia
berpapasan dengan lengser Pajajaran, yang juga sedang
mencari honje untuk permaisuri Pajajaran yang sedang
mengandung pula. Apa daya, kala itu honje amat langka.

Lengser Pajajaran tak kehabisan akal. Kepada lengser
Muaraberes ia berkata, "Tatkala kakekku kawin dengan
nenekku, kakekmu juga kawin dengan nenekmu; lalu
sama-sama punya anak: ayahku dan ayahmu. Bapakku kawin
dengan ibu, bapakmu kawin dengan ibumu. Lalu sama-sama
punya anak lagi, yaitu aku dan kamu. Jadi, kita ini
sama-sama anak ayah dan ibu. (Kita) masih bersaudara,
tetapi lain ayah lain ibu. Kamu harus memanggilku
kakak."

Jelas, di antara keduanya tidak ada hubungan
kekerabatan (darah). Hanya saja, pendekatan lengser
Pajajaran demikian memikat hati sehingga lengser
Muaraberes rela memberikan sebagian honje-nya.
Selamatlah lengser dan permaisuri kedua kerajaan itu.
Karena anak mereka berlainan jenis, yang pria dinamai
Mundinglaya Dikusumah dari Pajajaran sedang yang
wanita dinamai Nyi Dewi Asri dari Muaraberes. Akhirnya
kedua keturunan raja itu menikah dan naik tahta
menggantikan ayah mereka.

Apa yang dilakukan oleh lengser Pajajaran disebut
pancakaki. Menurut Kamus Basa Sunda karya R.
Satjadibrata (1954; 2005: 278), pancakaki bermakna
sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan
kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang
berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu
anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng
atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau
gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak
langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau
uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara
piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung
dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak
kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya.

Dalam Kamus Umum Basa Sunda (KUBS) susunan Tim Lembaga
Basa Sastra Sunda (1985: 352) pancakaki mengandung dua
makna. Pertama, hubungan seseorang dengan orang lain
yang sekeluarga atau yang masih bersaudara. Contohnya,
ibu, ayah, nenek, kakek, paman, bibi, anak, cucu,
buyut, keponakan, dsb. Kedua, menyelusuri hubungan
kekerabatan. Makna pertama sama dengan makna yang
dirumuskan oleh Satjadibrata, sedangkan makna kedua
merupakan makna tambahan dengan memasukkan perbuatan
menyelusuri hubungan kekerabatan, seperti dalam contoh
kalimat, "Cing urang pancakaki heula, perenah kumaha
saenyana Ujang jeung Emang tih?" (Mari kita menelusuri
dulu hubungan kekerabatan, bagaimana sesungguhnya
hubungan kekerabatan Ananda dan Paman?).

Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan
sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang
lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam
bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun
galur/garis keturunan, seperti A berputra B, B
berputra C, dst. beserta cabang-cabangnya, biasa
digambarkan dalam bentuk pohon. Sarsilah bermakna
daftar asal-usul, uraian keturunan (KUBS, 1985: 443,
447; lihat pula Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988:
794, 840).

Makna sajarah dan sarsilah tersebut sejajar dengan
makna asal katanya sajarotun dari perbendaharaan
bahasa Arab, yaitu pohon. Maksudnya gambaran garis
keturunan seseorang yang sekilas berbentuk pohon
dengan sejumlah cabang, ranting, dan daun. Di
lingkungan Keraton Yogyakarta masih terdapat contoh
gambaran garis keturunan raja-raja Jawa yang berbentuk
pohon. Dalam kosa kata bahasa Indonesia masih ada
istilah lain untuk yang bermakna sama, yaitu
genealogi. Istilah tersebut tentu berasal dari kosa
kata bahasa Belanda genealogie dan atau bahasa Inggris
genealogy.

Dari rumusan-rumusan di atas tampak adanya persamaan
dan perbedaan antara makna pancakaki dengan makna
sajarah dan sarsilah, juga genealogi. Pada satu pihak
persamaannya terletak pada semuanya bertalian dengan
masalah hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. Pada
pihak lain perbedaannya terletak pada penekanan
hubungan kekerabatan yang dilambangkan dengan
istilah-istilah tertentu bagi makna pancakaki.
Sedangkan makna sajarah, sarsilah, dan genealogi
terletak pada penekanan asal-usul (ke atas) dan
keturunan (ke bawah) serta gambaran hubungan
kekerabatan atau tali persaudaraan.

Hubungan seseorang dengan orang lain dalam lingkungan
kerabat atau keluarga dalam masyarakat Sunda menempati
kedudukan yang sangat penting. Hal itu bukan hanya
tercermin dari adanya istilah atau sebutan bagi setiap
tingkat hubungan itu yang langsung dan vertikal (bao,
buyut, aki, bapa, anak, incu) maupun yang tidak
langsung dan horisontal (dulur, dulur misan, besan),
melainkan juga berdampak kepada masalah ketertiban dan
kerukunan sosial. Bapa/indung, aki/nini, buyut, bao
menempati kedudukan lebih tinggi dalam struktur
hubungan kekerabatan (pancakaki) daripada anak, incu,
alo, suan. Begitu pula lanceuk (kakak) lebih tinggi
dari adi (adik), ua lebih tinggi dari paman/bibi.
Soalnya, hubungan kekerabatan seseorang dengan orang
lain akan menentukan kedudukan seseorang dalam
struktur kekerabatan keluarga besarnya, menentukan
bentuk hormat menghormati, harga menghargai,
kerjasama, dan saling menolong di antara sesamanya,
serta menentukan kemungkinan terjadi-tidaknya
pernikahan di antara anggota-anggotanya guna membentuk
keluarga inti baru.

Pancakaki dapat pula digunakan sebagai media
pendekatan oleh seseorang untuk mengatasi kesulitan
yang sedang dihadapinya. Dalam hubungan ini yang lebih
tinggi derajat pancakaki-nya hendaknya dihormati oleh
yang lebih rendah, melebihi dari yang sama dan lebih
rendah derajat pancakaki-nya.

Betapa pentingnya kedudukan pancakaki dalam masyarakat
Sunda, sampai-sampai pada zaman sekarang pun orang
Sunda masih biasa melakukan pancakaki dalam kehidupan
sehari-hari pada tiga jenis peristiwa berikut. (1)
Pertemuan antara orang Sunda yang sebelumnya sudah
saling mengenal atau pernah berkenalan. (2) Pertemuan
antara orang Sunda yang baru berkenalan. (3) Pertemuan
antara dua pihak orang Sunda dalam proses pernikahan
salah seorang anggotanya masing-masing. Dalam rangka
membina suasana akrab dalam pertemuan itu mereka
melakukan pembicaraan tentang pancakaki mereka
masing-masing yang menjurus ke arah terjalinnya
hubungan kekerabatan di antara keluarga besar mereka.

Bahkan jika ternyata di antara mereka tidak memiliki
hubungan kekerabatan (darah), maka pembicaraan
dilanjutkan dengan mencari pertalian hubungan lain,
seperti melalui kenalan, tetangga, teman sekolah,
teman bekerja, dan lain-lain yang sama-sama dikenal
oleh mereka. Adapun tujuan pembicaraan tersebut adalah
untuk saling mendekatkan hubungan mereka. Tujuan
selanjutnya, bergantung pada situasi dan kondisi
pertalian hubungan atau pertemuan mereka.

Kapan lahirnya pancakaki dalam masyarakat Sunda?
Pertanyaan tersebut sulit dijawabnya, karena data
mengenai hal itu tidak ada. Namun, sebagai gambaran
dapatlah dilihat dari tradisi lisan (cerita mitologi,
cerita legenda, cerita pantun, dongeng) dan tradisi
tulisannya (prasasti, naskah). Ternyata dalam setiap
zaman perjalanan hidup orang Sunda didapatkan sumber
informasinya, baik lisan maupun tulisan.

Tradisi lisan Sunda tertua yang mengemukakan
keberadaan pancakaki kiranya adalah cerita
Sangkuriang. Cerita mitologi ini menggambarkan
kehidupan zaman prasejarah yang berlatarbelakang
kejadian alam terbentuknya tiga gunung di sebelah
utara Bandung, yaitu Gunung Tangkuban Parahu,
Bukittunggul, dan Burangrang serta sebuah Danau
Bandung Purba. Di dalam cerita ini sudah ada
pancakaki, yaitu ada tokoh ayah (raja yang sedang
berburu dan si Tumang), ibu (Celeng Wayungyang dan
Dayang Sumbi), dan anak (Dayang Sumbi dan
Sangkuriang). Di antara tokoh-tokoh tersebut terjalin
hubungan kekerabatan yang saling menghormati dan
mengasihi sesuai dengan kedudukan pancakakinya,
kecuali dalam kondisi tanpa sadar dan tak tahu.

Kekecualian dimaksud adalah Sangkuriang membunuh si
Tumang yang sesungguhnya ayah kandungnya sendiri serta
terjalinnya kisah asmara antara Dayang Sumbi dengan
Sangkuriang, walaupun pernikahan mereka tidak jadi
karena Dayang Sumbi kemudian tahu bahwa Sangkuriang
adalah anak kandungnya. Jelas, cerita ini bertemakan
tabu akan pernikahan sedarah langsung (tabu incest).

Adapun tradisi tulisan tertua adalah prasasti Tugu
(ditemukan di Tugu, sekitar perbatasan Bekasi-Jakarta)
yang ditulis pada batu dengan menggunakan aksara
Palawa dan bahasa Sansekerta dari zaman Kerajaan
Tarumanagara (abad ke-5 Masehi). Dalam prasasti ini
disebutkan tiga orang raja yang memiliki hubungan
kekerabatan langsung dan vertikal, yaitu Rajaresi,
Rajadiraja Guru, dan Purnawarman. Pancakaki-nya adalah
Purnawarman putra Rajadiraja Guru dan Rajadiraja Guru
putra Rajaresi. Jadi, ada tiga generasi berupa kakek,
ayah, dan anak yang secara bergantian memerintah
Kerajaan Tarumanagara.

Prasasti Batutulis pun yang ditulis pada batu dengan
aksara Jawa Kuna dan bahasa Sunda Kuna serta
dikeluarkan oleh Prabu Surawisesa, raja Sunda
(1521-1535), pada tahun 1533 dan berada di kota Bogor
sekarang mengungkapkan pancakaki raja-raja Sunda.
Bahwa Sri Baduga Maharaja, raja Sunda di Pakuan
Pajajaran, adalah putra Rahiyang Dewa Niskala, cucu
Rahiyang Niskala Wastukancana. Di sini pun tertera
tiga generasi raja Sunda yang hubungan kekerabatannya
langsung dan vertikal.

Daftar raja Sunda yang paling lengkap terdapat pada
naskah Carita Parahiyangan. Di dalam naskah ini dapat
dikatakan semua raja Sunda baik yang berkedudukan di
Galuh maupun yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran
didaftarkan secara kronologis sejak raja pertama
(sekitar abad ke-7-8) hingga raja terakhir (1579).
Bahwa raja Sunda pertama digantikan oleh raja Sunda
kedua yang digantikan lagi oleh raja Sunda ketiga dan
seterusnya hingga raja terakhir. Pergantian raja-raja
tersebut dilakukan oleh sesama anggota kerabat keraton
yang pancakaki-nya berdekatan dengan raja Sunda yang
digantikannya, seperti anak, adik, menantu.

Muncullah konsep kultus dewa raja dan sistem
pergantian pemegang pemerintahan berdasarkan hubungan
kekerabatan (darah dan pernikahan). Mengemukanya hanya
daftar dan pancakaki raja-raja dalam tradisi lisan dan
tradisi tulisan Sunda kiranya berlatar belakang ajaran
agama dan kebudayaan Hindu dari India yang
menghantarkan kepada periode sejarah di Tatar Sunda
dan Nusantara pada umumnya serta memperkenalkan
stratifikasi sosial berdasarkan kasta (brahmana,
ksatria, waisya, sudra) yang berdampak pada profesi
masing-masing.

Runtuhnya Kerajaan Sunda diiringi oleh munculnya
Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, dan
kabupaten-kabupaten di wilayah Tatar Sunda yang telah
dipengaruhi oleh ajaran agama dan kebudayaan Islam
serta dipengaruhi pula oleh kebudayaan Jawa. Kiranya
seiring dengan merasuknya agama dan kebudayaan Islam
yang antara lain dipengaruhi oleh kuatnya tradisi
pancakaki di kalangan bangsa Arab yang menyebarkan
Islam ke mana-mana, termasuk ke Tatar Sunda dan
nusantara umumnya, masuklah tradisi sajarah dan
sarsilah dalam kehidupan masyarakat Sunda.

Ada data baru yang memperlihatkan terjadinya masa
peralihan sistem pancakaki antara tradisi zaman kuna
(Kerajaan Tarumanagara dan Sunda) dengan tradisi zaman
baru (kesultanan dan kabupaten). Data tersebut tertera
pada naskah lontar dengan aksara Sunda Kuna (unsur
tradisi kuna), tetapi menggunakan bahasa Jawa,
munculnya tokoh Prabu Siliwangi sebagai awal
pancakaki, berisi pancakaki yang sebagian besar
tokohnya tidak menduduki jabatan raja atau penguasa
daerah, serta munculnya gelar dan nama tokoh muslim
dan Jawa (unsur tradisi baru). Data ini tertera pada
naskah lontar Sunda yang kini menjadi koleksi
Perpustakaan Nasional di Jakarta dengan nomor kode
Kropak 421. Dalam naskah ini disebutkan 85 nama tokoh
yang berasal dari 22 generasi hubungan kekerabatan
(darah). Contoh gelar dan nama Islam dan Jawa antara
lain Sunan Parung, Ki Mas Yudamardawa, Nyi Mas
Palembang, Ngabehi Mangunyuda, Raden Abdul, Pangeran
Demang, Dipati Darma, Ki Ariya Danupati, Kiyahi
Wihataka.

Pancakaki para Sultan Cirebon dan Sultan Banten
berpangkal pada dua leluhur. Pada satu pihak
(berdasarkan garis ibu) berpangkal pada Prabu
Siliwangi yang disebutkan sebagai raja Pajajaran
terakhir; ada yang berlanjut sampai Prabu Seda
(leluhur kelima Prabu Siliwangi). Pada pihak lain
(berdasarkan garis ayah) berpangkal pada Sultan Mesir
atau Sultan Banisrail di tanah Arab dan selanjutnya
sampai Nabi Muhammad, penerima dan pembawa agama
Islam, bahkan ada yang sampai Nabi Adam, manusia dan
nabi pertama menurut ajaran Islam. Pancakaki demikian
tertera pada naskah-naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari, Babad Cirebon, "Sajarah Banten". Munculnya dua
pangkal pancakaki tersebut kiranya dilatarbelakangi
oleh maksud pengarangnya untuk merangkul dua kelompok
masyarakat yang hidup pada masyarakat Sunda masa itu,
yaitu kelompok masyarakat penganut atau yang
berorientasi kepada raja-raja Sunda dan kelompok
masyarakat penganut atau yang berorientasi kepada
agama Islam. Dengan demikian, pancakaki tersebut
memiliki fungsi politis.

Kabupaten-kabupaten mengeluarkan pula dokumen tertulis
berupa naskah-naskah yang berisi pancakaki di
lingkungan keluarga para bupati yang memerintah di
kabupaten yang bersangkutan, bahkan dari Kabupaten
Sumedang dan Kabupaten Bandung didapatkan naskah yang
judulnya menggunakan kata pancakaki, yaitu Kitab
Pancakaki dari Sumedang dan Kitab Pancakaki Masalah
Karuhun Kabih (Kitab Pancakaki Masalah Semua Leluhur)
dari Bandung. Pancakaki yang berasal dari Kabupaten
Bandung, Batulayang, Parakanmuncang, dan Cianjur
berpangkal pada tokoh Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran
termasyhur dan terakhir, misalnya pada naskah Sajarah
Bandung dan Babad Cikundul. Yang berasal dari
Kabupaten Galuh (Ciamis) dan Kabupaten Sumedang
pancakaki-nya berpangkal pada Ratu Galuh, misalnya
pada Wawacan Sajarah Galuh dan Kitab Pancakaki.
Pancakaki dari Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya)
berpangkal pada Sultan Pajang dari Pengging (Jawa),
yaitu terdapat pada naskah Sajarah Sukapura. Pangkal
pancakaki tersebut dimaksudkan pengarangnya untuk
mempertinggi derajat dan martabat para bupati serta
melegitimasikan bupati yang bersangkutan dalam
menduduki jabatannya.

Makin kemudian (sejak abad ke-19) pancakaki dalam
naskah-naskah dari kabupaten-kabupaten di wilayah
Priangan makin lengkap. Sejak itu dalam pancakaki itu
bukan hanya dikemukakan identitas (nama) bupati
beserta putranya yang menggantikan jabatan ayahnya
sebagai bupati, melainkan disebutkan pula identitas
(nama) semua putra bupati beserta ibunya masing-masing
serta masalah ketika terjadi pergantian pemegang
pemerintahan. Sejauh pengetahuan penulis, pancakaki
paling lengkap terdapat pada keluarga besar bupati
(menak) Sumedang dan Bandung. Di samping didapatkan
naskahnya sebanyak beberapa buah, juga ada bagan
pancakaki-nya secara keseluruhan dan tiap-tiap cabang
keluarga seorang bupati atau tokoh tertentu. Hal ini
dimungkinkan karena pancakaki memainkan peranan
penting dalam proses pengangkatan/penggantian bupati
dan pejabat-pejabat pemerintahan lainnya (sistem
feodal). Secara tersurat dikemukakan tujuan dan fungsi
naskah pancakaki pada masa lalu tertera dalam naskah
Sajarah Sukapura karya tulis Raden Kanduruan
Kartinagara. Bahwa "...membuat pancakaki ini, untuk
dipakai mengingatkan, para anak-cucu, agar jangan
putus hubungan kekeluargaan, karena biasanya yang muda
tak peduli, menghapalkan keturunan/leluhur. Tetapi
kalau sudah ada dalam bentuk tertulis, disimpan di
dalam laci, kendatipun tidak hafal, pasti tak akan
sia-sia, sebab sudah ada dalam bentuk tertulis itu,
asalkan mau membaca, pasti ketemu.

Demikianlah, dapat disimpulkan bahwa pancakaki
menempati kedudukan penting dalam kehidupan masyarakat
Sunda. Pancakaki memiliki fungsi individual dan sosial
yang bervariasi pada setiap zaman, seperti untuk
memperoleh legitimasi kekuasaan, mempertinggi derajat
dan martabat seseorang, memperoleh dan mempertahankan
jabatan dalam pemerintahan, dan melakukan pendekatan
dalam hubungan keluarga, pernikahan, dan sosial budaya
lainnya. Pancakaki mencerminkan gambaran bahwa tata
kehidupan orang Sunda berdasarkan kepada asas
kekeluargaan yang ingin menempatkan setiap anggota
keluarganya dalam hubungan pancakaki. Dengan hubungan
yang jelas tempatnya dalam struktur kekerabatan
mereka, di samping akan terbentuk dan terbina suasana
rukun dan damai, juga terbentuk dan terbina suasana
tertib dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka akan
menempatkan diri pada kedudukan hubungan pancakaki
masing-masing serta menghormati dan menghargai
sesamanya sesuai dengan tingkat hubungan
pancakaki-nya.***

Penulis, GuruBesar Universitas Padjadjaran dan Ketua
Pengurus Pusat Studi Sunda

Tidak ada komentar:

Sabilulungan dalam bahasa sunda artinya gotong royong. Makna sabilulungan yaitu seiya sekata, seayun, selangkah, sepengertian, sepamahama...