Kamis, 09 Oktober 2008

Sri Baduga

Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).

Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:

“Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira“.

Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Masa muda

Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.

Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):

“Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.

Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.

Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”.

Perang Bubat

Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya (”silih”nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).

Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah “seuweu” Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus “langsung” dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).

Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai “silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). “Silih” dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.

Keterangan lain tentang perang bubat

Keterangan tetang bubat yang dimuat harian Suara Merdeka adalah sebagai berikut:

“Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda itu terjadi di desa Bubat. Perang ini dipicu oleh ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat itu sebenarnya antara Kerajaan Sunda dan Majapahit sedang dibangun ikatan persaudaraan, yaitu dengan menjodohkan Dyah Pitaloka dengan Maharaja Hayamwuruk. Nah Rombongan Kerajaan Sunda ini di gempur oleh pasukan Mahapatih Gajah Mada yang menyebabkan semua pasukan Kerajaan Sunda yang ikut rombongan punah. Akibat perang Bubat inipula, maka hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayamwuruk menjadi renggang“.

Ada sebuah pustaka yang bisa dijadikan rujukan, Guguritan Sunda, yang Mengisahkan gejolak sosial dan pecahnya perang di Desa Bubat antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih Gajah Mada secara misterius. Alih bahasa oleh I Wayan Sutedja (sepertinya pustaka aslinya ditulis dalam Bahasa Bali, 1995. disimpan di Universitas Ohio.

Kebijakan Sri Baduga dan Kehidupan Sosial

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):

Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.

Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.

Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".

Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.

"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.

Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).

Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.

Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
komodo_tea
09-12-2008, 05:00 PM
Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.

Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.

Gelar "Sripaduka" ( Sri Baduga ) pada zaman Pajajaran Nagara disandang oleh 3 tokoh : 1. Wastukancana / Rd. Pitara Wangisuta / SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATA PURANA RATU HAJI DI PAKUAN PAJAJARAN SANG RATU KARANTEN ( KARA ANTEN ) RAKEYAN LAYARAN WANGI /SUNAN RUMENGGONG (RAMA HYANG AGUNG ) adik dari Dyah Pitaloka Citraresmi anak dari Rd. Kalagemet /Jayanagara II / Raja Sundayana di Galuh /Ratu Galuh di Panjalu / Maharaja Prabu Wangi dan merangkap Wali Nagari Hujung Galuh ( Majapahit-Pajajaran Wetan / Jawa Pawatan / Galuh - menjadi wali sang kakak Linggabuana/Jayanagara I/Maharaja Prabu Diwastu ayah dari Hayam Wuruk /Hyang Warok /Rd. Inu Kertapati /Susuk Tunggal /Prabumulih /Prabu Seda Keling /Sang Haliwungan /Pangeran Boros Ngora/Ra- Hyang Kancana )gugur pada "PERANG BUBAT" dalam pertempuran yang tidak "FAIR" atas "REKAYASA" Gajah Mada / Guan Eng Cu dan Nangganan /Ki Ageng Muntalarasa /Syekh BEN TONG!!!!,dengan cara dibokong dan di keroyok !!!

2. Mundinglayadikusumah / Rd. Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah/SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU GANTANGAN SANG SRI JAYA DEWATA /KEBO KENONGO /ARYA KUMETIR /RD.KUMETIR /KI AGENG PAMANAH RASA / SUNAN PAGULINGAN anak dari LINGGA HYANG / LINGGA WESI / HYANG BUNI SWARA /SRI SANGGRAMAWIJAYA TUGGAWARMAN /MAHAPATI ANAPAKEN ( MENAK PAKUAN )/ RD. H. PURWA ANDAYANINGRAT / SUNAN GIRI /HYANG TWAH / BATARA GURU NISKALAWASTU DI JAMPANG

3. MUNDINGWANGI/ SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATAPRANA SANG PRABU GURU RATU DEWATA anak dari Wastukancana.

Peristiwa-peristiwa di masa pemerintahannya

Carita Parahiyangan

Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :

"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".

(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).

Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.

Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.

Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]

Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.

Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.

Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).

Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran].

Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.

Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].

Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :

1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).

Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.

Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso d'Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau Samudra Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.

Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya -- Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).

Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).

Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.

Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.


Anu Lain

Siapa sebenarnya Prabu Siliwangi yang hingga sekarang oleh sebagian orang Sunda dianggap sebagai raja terbesar (dan juga terakhir) kerajaan Pajajaran itu?

Jika kita merujuk naskah Wangsakerta, dapat diketahui bahwa dalam naskah itu tidak ada seorang pun raja Sunda (termasuk Galuh dan Pajajaran) yang bernama PS (Prabu Siliwangi).. Naskah itu menyatakan bahwa Siliwangi adalah nama julukan yang diberikan kepada siapa pun raja yang berkuasa di Sunda Raya itu setelah raja yang gugur di Bubat.

Menurut naskah itu, raja yang gugur di Bubat dalam tahun 1357 bernama Linggabhuwana, sedangkan dalam berbagai sumber naskah lain dikenal dengan nama Prebu Maharaja (bukan Sri Baduga Maharaja!). Karena ia gugur dalam membela dan memertahankan martabat bangsa (Sunda), rakyat menjulukinya sebagai Prabu Wangi, artinya yang namanya harum karena keberaniannya memertahankan martabat itu. Se-telah itu, maka raja Sunda berikutnya, selalu dijuluki sebagai Prabu Siliwangi, yaitu raja yang menggantikan Prabu Wangi itu.

Jika berita naskah itu dapat dipercaya, atau dapat digunakan sekruang-kurang-nya untuk melacak siapa PS, berarti bahwa PS tidak hanya seorang. Berdasarkan berita itu yang menyatakan bahwa PS adalah julukan para pengganti Prabu Wangi, berarti sebenarnya ada delapan orang PS. Jika diurutkan, mereka adalah Niskala Wastukancana (1371-1475), Dewa Niskala (1475-1482), Sri Baduga Maharaja (1482-1521), Surawisesa (1521-1535), Ratu Dewatabuwana (1535-1543), Ratu Sakti (1543-1551), Nilakendra (1551-1567), dan Ragamulya Suryakancana (1567-1579).

Masalah akan muncul ketika umumnya orang Sunda menganggap bahwa PS adalah raja terbesar sekaligus terakhir kerajaan Pajajaran itu. Dari berbagai sumber, terutama juga sumber asing mengingat pada masa akhir kerajaan Pajajaran itu sudah muncul orang asing di Nusantara (terutama di Malaka), raja terbesar itu bukan raja terakhir.

Jika melihat lamanya berkuasa, jelas sekali bahwa seharusnya yang dianggap sebagai raja terbesar kerajaan Sunda adalah Niskala Wastukancana. Selain masa pe-merintahannya yang “cukup fantastis” selama 104 tahun (1372-1475), naskah Carita Parahyangan menyatakan,

“Ada seorang putra Prabu Wangi (Prebu Maharaja) bernama Prabu Niskala Wastukancana yang mendiang di Nusa Larang, di Bukit Wanakusuma. Ia memerintah selama 104 tahun karena sempurna mengamalkan agama, maka tercapailah keadaan yang serba sejahtera.

Tindakannya seperti orang dewasa walaupun usianya masih muda karena raja tunduk (kepada tuntunan) satmata (Bunisora), mengikuti (petunjuk) pengasuhnya, yaitu Hyang Bunisora yang mendiang di Geger Omas alias Batara Guru di Jampang. (Tokoh) itulah yang diikuti oleh penguasa tanahair.

Batara Guru di Jampang itulah pembuat makuta sanghyang pake ketika yang berhak (atas tahta=Wastukancana) dinobatkan menjadi raja. (Makuta itu) buatan (hasil) bertapa bakti kepada dewata. Yang ditiru pun adalah makuta Sanghyang Indra. Itulah (keadaan) makuta tersebut.

Demikianlah, semoga ada yang berhasrat meniru peri laku yang mendiang ke Nusa Larang, mau menuruti satmata. Tercapailah keadaan serba sejahtera karena (raja) mengikuti pengasuhnya.

Dengan demikian, sang rama (sesepuh desa) dapat leluasa mengemong (mem-bimbing) rakyat, sang resi dapat leluasa melakukan tugas sebagai pendeta meng-amalkan adat-istiadat warisan leluhur. Sang disri dapat leluasa mengatur pembagian wilayah, mengamalkan hukum Manu, membagikan hutan dan daerah sekitarnya. Yang kecil maupun yang besar tidak ada yang menggugat. Karena itulah sang tarahan dapat leluasa mengarungi perairan mengamalkan peraturan raja. Air, cahaya, angin, angkasa, sang bu ‘eter’ merasa betah berada dalam naungan sang pelindung dunia. (Wastukancana) menerapkan undang-undang kerajaan, menetap (?) di sanghyang linggawesi (nama ajaran atau Astana Gede?). Ia melakukan tapa dan puja tiada henti-hentinya.

Sang Wiku (Wastukancana) dengan leluasa melaksanakan undang-undang dewa, mengamalkan sanghyang watang ageung (ajaran yang disusun oleh Sang Kandiawan, ayahanda Wretikandayun). Dengan tenang ia melaksanakan manuraja-sunya (bertapa setelah turun tahta)”.

Dengan demikian, Niskala Wastukancana adalah Prabu Siliwangi I, sekaligus raja terbesar. Setelah meninggal, ia digantikan oleh kedua orang anaknya: Dewa Nis-kala berkuasa di Galuh yang beribukotakan Kawali, dan Prabu Susuktunggal berkuasa di Sunda (kemudian Pajajaran). Ternyata kedua penguasa itu tidak seiring sehaluan, bahkan Susuktunggal akhirnya mengancam akan memutuskaan segala hubungan dengan Galuh. Melalui “musyawarah” para pemuka dan petinggi kedua kerajaan, di-tempuh jalan tengah: Kedua raja itu turun tahta, lalu digantikan oleh Jayadewata yang anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal. Bersamaan dengan penobatan-nya itulah, nama kerajaan lebih dikenal sebagai kerajaan Pajajaran dengan ibu kota di Pakwan Pajajaran.

Anggapan bahwa PS (satu-satunya) adalah SBM atau Jayadewata, sebenarnya juga tidak terlalu salah, jika nama julukan itu dikaitkan dengan negara yang bernama Pajajaran. Artinya, SBM memang merupakan raja yang pertama berkuasa di Pajajaran (1482-1521) setelah sebelumnya negara itu hampir selalu disebut Sunda. Hanya saja, jika dianggap bahwa SBM adalah satu-satunya raja berjuluk PS, kemungkinan akan “bentrok” dengan tradisi yang mengatakan bahwa ia raja terbesar sekaligus ter-akhir itu. Dalam hampir semua carita pantun dikatakan upaya peluasan wilayah yang dilakukan oleh para anak PS. Jika catatan sejarah menyebutkan bahwa sejak akhir abad ke-15 itu Islam sudah mulai sedikit demi sedikit menyebar ke berbagai daerah yang semula mengakui kedaulatan Sunda (Pajajaran), apakah masih mungkin SBM mengirimkan anak-anaknya untuk meluaskan wilayah? Jika ia masih memunyai ke-sempatan itu, mengapa ia harus melakukan permitraan dengan Portugis yang sejak 1511 menguasai Malaka? Bukankah salah satu butir permitraan itu menyatakan bahwa Portugis akan membantu Sunda jika Sunda diserang (oleh pasukan Islam, tentunya!)? Pertanyaan-pertanyaan itu setidak-tidaknya menggiring kita untuk me-renungkan, apakah upaya peluasan itu masih mungkin dilakukan oleh seseorang yang justru tengah terancam oleh kekuatan lain. Sementara itu, anggapan bahwa SBM adalah raja terakhir, tentu saja sangat tidak benar. Bukankah Pajajaran baru runtuh tahun 1579, sementara SBM berhenti menjadi raja karena meninggal dalam tahun 1521?

Namun, bahwa SBM berjasa besar terhadap negaranya, Pajajaran, memang sesuatu yang tidak dapat disangkal. Prasasti Batutulis rupanya sengaja dibuat oleh Surawisesa dalam tahun 1533 untuk memeringati tahun kematian yang ke-12 SBM melalui sebuah upaca penyucian yang disebut sradha. Prasasti itu sekurang-kurang-nya menyebutkan lima karya SBM, yaitu membuat (1) parit (pertahanan) di Pakuan, (2) tanda peringatan berupa gunung-gunungan (bukit buatan?), (3) mengeraskan jalan dengan batu, (4) hutan (samida), dan (5) telaga Rena Mahawijaya. Selain itu, prasasti Kebantenan menyebutkan karyanya yang lain, yaitu menetapkan batas (6) tanah kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya, (7) pengukuhan status tanah ka-buyutan di Sunda Sembawa, dan (8) pembebasan pajak dalam hubungan pengelolaan kabuyutan dii Gunung Samaya, Jayagiri, dan Sunda Sembawa. Di samping itu ia juga (9) mengukuhkan batas dayeuh Jayagiri dan Sunda Sembawa yang sudah diputuskan oleh kakeknya, Niskala Wastukancana.

Dalam pada itu, naskah Nagakertabhumi dari Pangeran Wangsakerta dkk. memberikan gambaran mengenai karya SBM selain yang telah dipaparkan itu. Karya yang lain itu adalah (10) membuat kabinihajian (keputren), kasatrian (asrama pra-jurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), dan pamingtonan (tempat per-tunjukan), (11) memerkuat angkatan perang, (12) mengatur pemungutan upeti dari para raja bawahan, dan (13) menyusun undang-undang kerajaan.

Berdasarkan apa yang dilakukannya itu, wajar jika SBM dianggap sebagai raja yang sangat memerhatikan kehidupan beragama, menjungjung dan menghormati le-luhurnya, memerhatikan kehidupan rakyat, dan mengutamakan sarana lalulintas. Walaupun, tentu saja, sesuai dengan jamannya, semua yang dikerjakan itu terutama yang baik langsung maupun tidak langsung ada sangkut hubungannya dengan ke-dudukannya sebagai raja. Dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh para peng-gantinya sejak Surawisesa (1521-1535) hingga Suryakancana (1567-1579), sangat wajar juga jika SBM dianggap sebagai sebagai raja yang terbesar. Keterbesaran itu meliputi masa pemreintahannya yang 39 tahun (1482-1521), jumlah karyanya yang melingga atau monumental, dan keteringatan masyarakat Sunda terhadap dirinya se-bagaimana tercermin dalam berbagai carita pantun dan tradisi lisan lainnya itu. Dengan demikian, sangat wajar juga jika kemudian masyarakat Sunda beranggapan bahwa SBM atau PS tidak meninggal, melainkan ngahiang ‘menjadi hiang’. Dalam kaitan itu, juga sangat wajar jika petilasan SBM terdapat di hampir seluruh Tatar Sunda, dan semuanya mengacu kepada tempat keramat atau kabuyutan. Menurut kepercayaan masyarakat itu, di berbagai tempat itulah PS dalam kesempatan tertentu dapat dihubungi. Situs Gunung Padang di daerah Cianjur, misalnya, diakui sebagai tempat yang pernah dijadikan persemadian oleh PS; tempat itu kini menjadi salah satu tempat favorit untuk para calon sinden dan dalang agar cita-cita menjadi sinden dan dalang itu tercapai.

Kesenian

Pada awal abad ke-16 orang Sunda sudah mengenal aneka jenis kesenian, Berdasarkan hasil inventarisasi Laboratorium Kesenian Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat tahun 1976 dan 1981; bahwa dalam masyarakat Sunda masih dijumpai 243 jenis seni pertunjukkan tergolong tradisional yang terdiri atas 18 rumpun kesenian, yaitu angklung, beladiri, celempungan, debus, gamelan, helaran, ibing, ketuk tilu, kacapian, macakal, mawalan, ngotrek, pantun, sandiwara, terbangan, topeng, sekar dan wayang (Enoch Atmadibrata dan kawan kawan, 1981).
Semua jenis kesenian tradisional tersebut dapat diklasifikasikan atas seni suara (vokal, instrumental), seni gerak dan seni teater.
Semua jenis kesenian tersebut masih dikenal hingga sekarang, hanya materinya sudah berlainan, karena banyak materi dari zaman itu sudah punah dan muncul materi produk baru. Terjadinya hal demikian, antara lain karena fungsi seni mengalami perubahan.
Seni Rupa
Seni rupa merupakan bidang seni yang paling menonjol karena sifatnya menyeluruh dan umum sekali, termasuk ke dalam seni rupa adalah :
1. Arsitektur.
Arsitektur tradisional Sunda menghasilkan bangunan yang banyak dibuat dari kayu. Ada 4 jenis bangunan yang memperlihatkan arsitektur tradisional Sunda yaitu bangunan-bangunan :
a. tempat tinggal;
b. tempat ibadah (mesjid).
c. tempat musyawarah (balai desa, pendopo kabupaten);
d. tempat menyimpan beras ( lumbung).
Dilihat dari bentuk atapnya, ada beberapa macam bentuk bangunan rumah tradisional Sunda, yaitu limasan, suhunan jolopong, dan julang ngapak. Kolong (panggung) merupakan ciri bangunan tradisional Sunda.

Seni Ukir
Seni ukir meninggalkan jejak pada bangunan, terutama keraton di Cirebon dan peralatan rumah tangga, seperti meja, kursi, hiasan dinding.
Ragam hias yang menjadi objek seni ukir umumnya berupa flora dan fauna, alam dan kaligrafi. Selain itu, wayang merupakan hasil karya ukir, baik wayang golek maupun wayang kulit.
3. Seni Lukis
Seni lukis Sunda antara lain terwujuddalam lukisan batik, lukis payung, lukis keramik/gerabah dan lukisan kaca yang mempunyai ciri mandiri.
Seni lukis batik yang menonjol dan hidup terus hingga kini berada di Garut, Tasikmalaya, Cirebon, dan Indramayu, lukisan batiknya memiliki kekhasan masing-masing.
Adapun lukisan kaca berkembang di daerah Cirebon hingga dewasa ini., objek lukisan umumnya berupa wayang, dan kaligrafi.

Seni Tari
Ada beberapa jenis tari yang perwujudannya dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan lokasi tempat hidupnya sehingga ada tari klasik, tari keurseus dan tari kreasi.
1. Tari Klasik
Yang termasuk ke dalam Tari Klasik adalah tari Lenyepan, tari Ponggawa, tari Gawil tarian tersebut termasuk ke dalam tarian Tayuban.
Tari klasik pada mulanya diselenggarakan oleh para bangsawan/menak pada acara hiburan, diiringi gamelan, pesinden dan ronggeng. Tarian ini hanya dibawakan oleh pria yang menggambarkan sikap jantan, luwes, tertib serta sopan sebagaimana para menak.
2. Tari Keurseus
Termasuk ke dalam Tari Keurseus adalah tari Kandagan, Topeng, Sekar Putri, Anjasmara, Ratu Graeni, Merak, Kupu-kupu, Satria, Ponggawa, Sulintang dan Srigati.
3. Tari Kreasi
Termasuk ke dalam tari kreasi diataranya berbagai tari Jaipongan, Ibing Dalung, Ronggeng Midang, Saktya Prahita, Paswa, Nyimas Gandasari dan tari-tari kreasi lainnya.
Seni Suara
Seni suara dibedakan menjadi dua yaitu : seni suara vokal dan seni suara instrumental.
1. Seni suara vokal.
Yang termasuk seni suara vokal adalah :
a. Tembang atau mamaos yang dinyanyikan oleh penembang dalam iringan musik kecapi suling, cianjuran dan celempungan;
b. Sinden yang dinyanyikan oleh pesinden dalam iringan musik kiliningan laras salendro dan pelog, laras degung, wayang golek, calung dan reog;
c. Sekar yang dinyanyikan oleh juru sekar, baik dalam anggana sekar (solo/sendirian) maupun rampak sekar (kelompok/group) dalam iringan musik laras degung;
d. Lagu-lagu pop dalam iringan musik, baik dalam pentatonis maupun diatonis

Seni Suara Instrumental.
Seni suara instrumen dalam seni Sunda disebut tatabeuhan (bunyi-bunyian), sedangkan gabungan bermacam-macam instrumen dalam satu unit tertentu yang membentuk ansambel disebut gamelan, contoh gamelan adalah ajeng, degung, goong renteng dan gamelan pelog/salendro.
Alat-alat bunyi tersebut semuanya untuk mengiringi lagu-lagu yang bernada pentatonis dan diatonis.
Nama alat-alat musik tradisional tersebut di antaranya bonang, saron, rebab, gambang, panerus, jenglong, goong, kendang, suling, kacapi, kecrek, calung, angklung, dogdog dan lain-lain.
Bahan yang dipergunakan ada yang terbuat dari logam, perunggu, bambu, kulit, kayu dan sebagainya.
Seni olah instrumen gamelan disebut juga karawitan. Seni karawitan dapat melatih kepekaan perasaan, mempertajam pendengaran adn memperhalus budi pekerti. Dalam kesenian karawitan sebagai pengiring dalam seni pedalangan, pengiring tarian, ilustrasi drama, sandiwara, film dan lain-lain.

Seni Sastera
Seni sastera ialah karya seni yang menggunakan kata-kata atau bahasa

Seni Teater
Seni teater yang di dalamnya terpadu beberapa macam seni, seperti seni vokal, musik, tari, sastra, lukis, rias, ukir.
Beberapa jenis seni teater dimaksud adalah :
Ronggeng Gunung di Ciamis;
Ubrug, topeng dan longser di Bandung;
Bangreng di Sumedang;
Banyet di Karawang.
Doger kontrak di Subang;
Selain itu masih terdapat jenis seni teater lainnya antara lain Sendra Tari, Gending Karesmen dan Sandiwara; bahkan sekarang seni teater ini sudah dikombinasikan/kolaborasikan dengan seni pertunjukan modern yang antara lain dikemas dalam bentuk opera.

Seni Wayang
Seni wayang merupakan jenis seni yang paling populer pada masyarakat Jawa Barat terutama dalam bentuk wayang golek; selain wayang golek masih terdapat seni lainnya yaitu wayang kulit, wayang cepak, wayang beber dan wayang orang.
Seni wayang dipergelarkan sejak abad ke 10. Pada jaman tersebut digubah oleh Empu Kanwa dengan judul Arjuna Wiwaha dengan yang berdasar pada babad Mahabarata.
Dalam Prasati Batu Tulis tahun 1533 disebutkan Panca Pandawa yang berarti keluarga Pandawa lima.



Ada juga yang mengatakan bahwa wayang berasal dari daerah Kuningan, yaitu dengan adanya Prasasti Parahyangan pada abad ke 16.
Ceritera wayang sendiri mengambil dari ceritera Ramayana dan Mahabarata
Ramayana :
Menceriterakan percintaan antaran Rama dan Shinta dimana walaupun Shinta sempat diculik oleh Rahwana namun karena kesetiaannya kepada Rama Shinta masih mempertahankan kehormatannya.
Mahabarata :
Menceriterakan problema dua keluarga Negara Amarta dan Astina yang merupakan satu turunan/leluhur. Tergambar pula peperangan antara kebaikan dan kebatilan yang diwakili oleh fihak Amarta disebut juga Pandawa dan fihak Astina disebut Kurawa.
Wayang golek mempunyai kekhasan sendiri. Setiap wujud atau bentuk wayang itu sendiri menggambarkan karakter yang tercermin dari seni ukir/pahat, warna, maupun pakaian yang dikenakannya.
Ada semacam ketentuan yang disebut pakem dimana pergelaran wayang golek tidak boleh pada ketentuan tersebut.
Pergelaran sendiri dibawakan oleh seorang Dalang. Namun kini ada juga permainan wayang golek yang dimainkan oleh beberapa dalang yang disebut wayang golek moderen dengan berbagai teknik efek suara, dan teknik panggung dan terciptalah suatu pergelaran yang menarik dimana penonton berimajinasi kepada suatu pergelaran yang sesungguhnya.
Pergelaran diiringi oleh gamelan yang berlaraskan salendro yang juga sebagai selingan nyanyian pesinden.
Wujud wayang golek sendiri merupakan suatu karya yang mempunyai bobot tersendiri, mulai dari awal seperti menatah, dilanjutkan dengan mengukir dan melukis serta mendandani mempunyai citra tersendiri bagi hasil karya seni.
Keunikan lain dari pergelaran wayang golek adalah dapat dinikmati dalam ruang 3 dimensi, kemahiran dalang memainkan wayang merupakan tontonan yang menakjubkan, warna, logat jenis suara dalang yang selalu berganti sesuai dengan suara wayang yang sedang dimainkannya dapat menyampaikan pesan dan kesan untuk berbagai keperluan.
Dalang lahir bukan saja karena mempelajari seni ini tetapi biasanya ditentukan oleh faktor bakat yang besar.

Pancakaki, Asal-usul dan Maknanya


DALAM "Mundinglaya Dikusumah" diceritakan bahwa
lengser (pembantu umum raja) Muaraberes ditugaskan
mencari honje, sejenis tanaman berkelopak seperti jahe
yang buahnya masam dan biasa dijadikan bumbu atau
bahan manisan. Ketika itu, permaisuri raja yang sedang
mengandung rupanya mengidam honje. Singkat kata,
lengser mendapatkannya. Tapi di tengah jalan ia
berpapasan dengan lengser Pajajaran, yang juga sedang
mencari honje untuk permaisuri Pajajaran yang sedang
mengandung pula. Apa daya, kala itu honje amat langka.

Lengser Pajajaran tak kehabisan akal. Kepada lengser
Muaraberes ia berkata, "Tatkala kakekku kawin dengan
nenekku, kakekmu juga kawin dengan nenekmu; lalu
sama-sama punya anak: ayahku dan ayahmu. Bapakku kawin
dengan ibu, bapakmu kawin dengan ibumu. Lalu sama-sama
punya anak lagi, yaitu aku dan kamu. Jadi, kita ini
sama-sama anak ayah dan ibu. (Kita) masih bersaudara,
tetapi lain ayah lain ibu. Kamu harus memanggilku
kakak."

Jelas, di antara keduanya tidak ada hubungan
kekerabatan (darah). Hanya saja, pendekatan lengser
Pajajaran demikian memikat hati sehingga lengser
Muaraberes rela memberikan sebagian honje-nya.
Selamatlah lengser dan permaisuri kedua kerajaan itu.
Karena anak mereka berlainan jenis, yang pria dinamai
Mundinglaya Dikusumah dari Pajajaran sedang yang
wanita dinamai Nyi Dewi Asri dari Muaraberes. Akhirnya
kedua keturunan raja itu menikah dan naik tahta
menggantikan ayah mereka.

Apa yang dilakukan oleh lengser Pajajaran disebut
pancakaki. Menurut Kamus Basa Sunda karya R.
Satjadibrata (1954; 2005: 278), pancakaki bermakna
sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan
kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang
berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu
anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng
atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau
gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak
langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau
uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara
piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung
dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak
kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya.

Dalam Kamus Umum Basa Sunda (KUBS) susunan Tim Lembaga
Basa Sastra Sunda (1985: 352) pancakaki mengandung dua
makna. Pertama, hubungan seseorang dengan orang lain
yang sekeluarga atau yang masih bersaudara. Contohnya,
ibu, ayah, nenek, kakek, paman, bibi, anak, cucu,
buyut, keponakan, dsb. Kedua, menyelusuri hubungan
kekerabatan. Makna pertama sama dengan makna yang
dirumuskan oleh Satjadibrata, sedangkan makna kedua
merupakan makna tambahan dengan memasukkan perbuatan
menyelusuri hubungan kekerabatan, seperti dalam contoh
kalimat, "Cing urang pancakaki heula, perenah kumaha
saenyana Ujang jeung Emang tih?" (Mari kita menelusuri
dulu hubungan kekerabatan, bagaimana sesungguhnya
hubungan kekerabatan Ananda dan Paman?).

Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan
sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang
lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam
bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun
galur/garis keturunan, seperti A berputra B, B
berputra C, dst. beserta cabang-cabangnya, biasa
digambarkan dalam bentuk pohon. Sarsilah bermakna
daftar asal-usul, uraian keturunan (KUBS, 1985: 443,
447; lihat pula Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988:
794, 840).

Makna sajarah dan sarsilah tersebut sejajar dengan
makna asal katanya sajarotun dari perbendaharaan
bahasa Arab, yaitu pohon. Maksudnya gambaran garis
keturunan seseorang yang sekilas berbentuk pohon
dengan sejumlah cabang, ranting, dan daun. Di
lingkungan Keraton Yogyakarta masih terdapat contoh
gambaran garis keturunan raja-raja Jawa yang berbentuk
pohon. Dalam kosa kata bahasa Indonesia masih ada
istilah lain untuk yang bermakna sama, yaitu
genealogi. Istilah tersebut tentu berasal dari kosa
kata bahasa Belanda genealogie dan atau bahasa Inggris
genealogy.

Dari rumusan-rumusan di atas tampak adanya persamaan
dan perbedaan antara makna pancakaki dengan makna
sajarah dan sarsilah, juga genealogi. Pada satu pihak
persamaannya terletak pada semuanya bertalian dengan
masalah hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. Pada
pihak lain perbedaannya terletak pada penekanan
hubungan kekerabatan yang dilambangkan dengan
istilah-istilah tertentu bagi makna pancakaki.
Sedangkan makna sajarah, sarsilah, dan genealogi
terletak pada penekanan asal-usul (ke atas) dan
keturunan (ke bawah) serta gambaran hubungan
kekerabatan atau tali persaudaraan.

Hubungan seseorang dengan orang lain dalam lingkungan
kerabat atau keluarga dalam masyarakat Sunda menempati
kedudukan yang sangat penting. Hal itu bukan hanya
tercermin dari adanya istilah atau sebutan bagi setiap
tingkat hubungan itu yang langsung dan vertikal (bao,
buyut, aki, bapa, anak, incu) maupun yang tidak
langsung dan horisontal (dulur, dulur misan, besan),
melainkan juga berdampak kepada masalah ketertiban dan
kerukunan sosial. Bapa/indung, aki/nini, buyut, bao
menempati kedudukan lebih tinggi dalam struktur
hubungan kekerabatan (pancakaki) daripada anak, incu,
alo, suan. Begitu pula lanceuk (kakak) lebih tinggi
dari adi (adik), ua lebih tinggi dari paman/bibi.
Soalnya, hubungan kekerabatan seseorang dengan orang
lain akan menentukan kedudukan seseorang dalam
struktur kekerabatan keluarga besarnya, menentukan
bentuk hormat menghormati, harga menghargai,
kerjasama, dan saling menolong di antara sesamanya,
serta menentukan kemungkinan terjadi-tidaknya
pernikahan di antara anggota-anggotanya guna membentuk
keluarga inti baru.

Pancakaki dapat pula digunakan sebagai media
pendekatan oleh seseorang untuk mengatasi kesulitan
yang sedang dihadapinya. Dalam hubungan ini yang lebih
tinggi derajat pancakaki-nya hendaknya dihormati oleh
yang lebih rendah, melebihi dari yang sama dan lebih
rendah derajat pancakaki-nya.

Betapa pentingnya kedudukan pancakaki dalam masyarakat
Sunda, sampai-sampai pada zaman sekarang pun orang
Sunda masih biasa melakukan pancakaki dalam kehidupan
sehari-hari pada tiga jenis peristiwa berikut. (1)
Pertemuan antara orang Sunda yang sebelumnya sudah
saling mengenal atau pernah berkenalan. (2) Pertemuan
antara orang Sunda yang baru berkenalan. (3) Pertemuan
antara dua pihak orang Sunda dalam proses pernikahan
salah seorang anggotanya masing-masing. Dalam rangka
membina suasana akrab dalam pertemuan itu mereka
melakukan pembicaraan tentang pancakaki mereka
masing-masing yang menjurus ke arah terjalinnya
hubungan kekerabatan di antara keluarga besar mereka.

Bahkan jika ternyata di antara mereka tidak memiliki
hubungan kekerabatan (darah), maka pembicaraan
dilanjutkan dengan mencari pertalian hubungan lain,
seperti melalui kenalan, tetangga, teman sekolah,
teman bekerja, dan lain-lain yang sama-sama dikenal
oleh mereka. Adapun tujuan pembicaraan tersebut adalah
untuk saling mendekatkan hubungan mereka. Tujuan
selanjutnya, bergantung pada situasi dan kondisi
pertalian hubungan atau pertemuan mereka.

Kapan lahirnya pancakaki dalam masyarakat Sunda?
Pertanyaan tersebut sulit dijawabnya, karena data
mengenai hal itu tidak ada. Namun, sebagai gambaran
dapatlah dilihat dari tradisi lisan (cerita mitologi,
cerita legenda, cerita pantun, dongeng) dan tradisi
tulisannya (prasasti, naskah). Ternyata dalam setiap
zaman perjalanan hidup orang Sunda didapatkan sumber
informasinya, baik lisan maupun tulisan.

Tradisi lisan Sunda tertua yang mengemukakan
keberadaan pancakaki kiranya adalah cerita
Sangkuriang. Cerita mitologi ini menggambarkan
kehidupan zaman prasejarah yang berlatarbelakang
kejadian alam terbentuknya tiga gunung di sebelah
utara Bandung, yaitu Gunung Tangkuban Parahu,
Bukittunggul, dan Burangrang serta sebuah Danau
Bandung Purba. Di dalam cerita ini sudah ada
pancakaki, yaitu ada tokoh ayah (raja yang sedang
berburu dan si Tumang), ibu (Celeng Wayungyang dan
Dayang Sumbi), dan anak (Dayang Sumbi dan
Sangkuriang). Di antara tokoh-tokoh tersebut terjalin
hubungan kekerabatan yang saling menghormati dan
mengasihi sesuai dengan kedudukan pancakakinya,
kecuali dalam kondisi tanpa sadar dan tak tahu.

Kekecualian dimaksud adalah Sangkuriang membunuh si
Tumang yang sesungguhnya ayah kandungnya sendiri serta
terjalinnya kisah asmara antara Dayang Sumbi dengan
Sangkuriang, walaupun pernikahan mereka tidak jadi
karena Dayang Sumbi kemudian tahu bahwa Sangkuriang
adalah anak kandungnya. Jelas, cerita ini bertemakan
tabu akan pernikahan sedarah langsung (tabu incest).

Adapun tradisi tulisan tertua adalah prasasti Tugu
(ditemukan di Tugu, sekitar perbatasan Bekasi-Jakarta)
yang ditulis pada batu dengan menggunakan aksara
Palawa dan bahasa Sansekerta dari zaman Kerajaan
Tarumanagara (abad ke-5 Masehi). Dalam prasasti ini
disebutkan tiga orang raja yang memiliki hubungan
kekerabatan langsung dan vertikal, yaitu Rajaresi,
Rajadiraja Guru, dan Purnawarman. Pancakaki-nya adalah
Purnawarman putra Rajadiraja Guru dan Rajadiraja Guru
putra Rajaresi. Jadi, ada tiga generasi berupa kakek,
ayah, dan anak yang secara bergantian memerintah
Kerajaan Tarumanagara.

Prasasti Batutulis pun yang ditulis pada batu dengan
aksara Jawa Kuna dan bahasa Sunda Kuna serta
dikeluarkan oleh Prabu Surawisesa, raja Sunda
(1521-1535), pada tahun 1533 dan berada di kota Bogor
sekarang mengungkapkan pancakaki raja-raja Sunda.
Bahwa Sri Baduga Maharaja, raja Sunda di Pakuan
Pajajaran, adalah putra Rahiyang Dewa Niskala, cucu
Rahiyang Niskala Wastukancana. Di sini pun tertera
tiga generasi raja Sunda yang hubungan kekerabatannya
langsung dan vertikal.

Daftar raja Sunda yang paling lengkap terdapat pada
naskah Carita Parahiyangan. Di dalam naskah ini dapat
dikatakan semua raja Sunda baik yang berkedudukan di
Galuh maupun yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran
didaftarkan secara kronologis sejak raja pertama
(sekitar abad ke-7-8) hingga raja terakhir (1579).
Bahwa raja Sunda pertama digantikan oleh raja Sunda
kedua yang digantikan lagi oleh raja Sunda ketiga dan
seterusnya hingga raja terakhir. Pergantian raja-raja
tersebut dilakukan oleh sesama anggota kerabat keraton
yang pancakaki-nya berdekatan dengan raja Sunda yang
digantikannya, seperti anak, adik, menantu.

Muncullah konsep kultus dewa raja dan sistem
pergantian pemegang pemerintahan berdasarkan hubungan
kekerabatan (darah dan pernikahan). Mengemukanya hanya
daftar dan pancakaki raja-raja dalam tradisi lisan dan
tradisi tulisan Sunda kiranya berlatar belakang ajaran
agama dan kebudayaan Hindu dari India yang
menghantarkan kepada periode sejarah di Tatar Sunda
dan Nusantara pada umumnya serta memperkenalkan
stratifikasi sosial berdasarkan kasta (brahmana,
ksatria, waisya, sudra) yang berdampak pada profesi
masing-masing.

Runtuhnya Kerajaan Sunda diiringi oleh munculnya
Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, dan
kabupaten-kabupaten di wilayah Tatar Sunda yang telah
dipengaruhi oleh ajaran agama dan kebudayaan Islam
serta dipengaruhi pula oleh kebudayaan Jawa. Kiranya
seiring dengan merasuknya agama dan kebudayaan Islam
yang antara lain dipengaruhi oleh kuatnya tradisi
pancakaki di kalangan bangsa Arab yang menyebarkan
Islam ke mana-mana, termasuk ke Tatar Sunda dan
nusantara umumnya, masuklah tradisi sajarah dan
sarsilah dalam kehidupan masyarakat Sunda.

Ada data baru yang memperlihatkan terjadinya masa
peralihan sistem pancakaki antara tradisi zaman kuna
(Kerajaan Tarumanagara dan Sunda) dengan tradisi zaman
baru (kesultanan dan kabupaten). Data tersebut tertera
pada naskah lontar dengan aksara Sunda Kuna (unsur
tradisi kuna), tetapi menggunakan bahasa Jawa,
munculnya tokoh Prabu Siliwangi sebagai awal
pancakaki, berisi pancakaki yang sebagian besar
tokohnya tidak menduduki jabatan raja atau penguasa
daerah, serta munculnya gelar dan nama tokoh muslim
dan Jawa (unsur tradisi baru). Data ini tertera pada
naskah lontar Sunda yang kini menjadi koleksi
Perpustakaan Nasional di Jakarta dengan nomor kode
Kropak 421. Dalam naskah ini disebutkan 85 nama tokoh
yang berasal dari 22 generasi hubungan kekerabatan
(darah). Contoh gelar dan nama Islam dan Jawa antara
lain Sunan Parung, Ki Mas Yudamardawa, Nyi Mas
Palembang, Ngabehi Mangunyuda, Raden Abdul, Pangeran
Demang, Dipati Darma, Ki Ariya Danupati, Kiyahi
Wihataka.

Pancakaki para Sultan Cirebon dan Sultan Banten
berpangkal pada dua leluhur. Pada satu pihak
(berdasarkan garis ibu) berpangkal pada Prabu
Siliwangi yang disebutkan sebagai raja Pajajaran
terakhir; ada yang berlanjut sampai Prabu Seda
(leluhur kelima Prabu Siliwangi). Pada pihak lain
(berdasarkan garis ayah) berpangkal pada Sultan Mesir
atau Sultan Banisrail di tanah Arab dan selanjutnya
sampai Nabi Muhammad, penerima dan pembawa agama
Islam, bahkan ada yang sampai Nabi Adam, manusia dan
nabi pertama menurut ajaran Islam. Pancakaki demikian
tertera pada naskah-naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari, Babad Cirebon, "Sajarah Banten". Munculnya dua
pangkal pancakaki tersebut kiranya dilatarbelakangi
oleh maksud pengarangnya untuk merangkul dua kelompok
masyarakat yang hidup pada masyarakat Sunda masa itu,
yaitu kelompok masyarakat penganut atau yang
berorientasi kepada raja-raja Sunda dan kelompok
masyarakat penganut atau yang berorientasi kepada
agama Islam. Dengan demikian, pancakaki tersebut
memiliki fungsi politis.

Kabupaten-kabupaten mengeluarkan pula dokumen tertulis
berupa naskah-naskah yang berisi pancakaki di
lingkungan keluarga para bupati yang memerintah di
kabupaten yang bersangkutan, bahkan dari Kabupaten
Sumedang dan Kabupaten Bandung didapatkan naskah yang
judulnya menggunakan kata pancakaki, yaitu Kitab
Pancakaki dari Sumedang dan Kitab Pancakaki Masalah
Karuhun Kabih (Kitab Pancakaki Masalah Semua Leluhur)
dari Bandung. Pancakaki yang berasal dari Kabupaten
Bandung, Batulayang, Parakanmuncang, dan Cianjur
berpangkal pada tokoh Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran
termasyhur dan terakhir, misalnya pada naskah Sajarah
Bandung dan Babad Cikundul. Yang berasal dari
Kabupaten Galuh (Ciamis) dan Kabupaten Sumedang
pancakaki-nya berpangkal pada Ratu Galuh, misalnya
pada Wawacan Sajarah Galuh dan Kitab Pancakaki.
Pancakaki dari Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya)
berpangkal pada Sultan Pajang dari Pengging (Jawa),
yaitu terdapat pada naskah Sajarah Sukapura. Pangkal
pancakaki tersebut dimaksudkan pengarangnya untuk
mempertinggi derajat dan martabat para bupati serta
melegitimasikan bupati yang bersangkutan dalam
menduduki jabatannya.

Makin kemudian (sejak abad ke-19) pancakaki dalam
naskah-naskah dari kabupaten-kabupaten di wilayah
Priangan makin lengkap. Sejak itu dalam pancakaki itu
bukan hanya dikemukakan identitas (nama) bupati
beserta putranya yang menggantikan jabatan ayahnya
sebagai bupati, melainkan disebutkan pula identitas
(nama) semua putra bupati beserta ibunya masing-masing
serta masalah ketika terjadi pergantian pemegang
pemerintahan. Sejauh pengetahuan penulis, pancakaki
paling lengkap terdapat pada keluarga besar bupati
(menak) Sumedang dan Bandung. Di samping didapatkan
naskahnya sebanyak beberapa buah, juga ada bagan
pancakaki-nya secara keseluruhan dan tiap-tiap cabang
keluarga seorang bupati atau tokoh tertentu. Hal ini
dimungkinkan karena pancakaki memainkan peranan
penting dalam proses pengangkatan/penggantian bupati
dan pejabat-pejabat pemerintahan lainnya (sistem
feodal). Secara tersurat dikemukakan tujuan dan fungsi
naskah pancakaki pada masa lalu tertera dalam naskah
Sajarah Sukapura karya tulis Raden Kanduruan
Kartinagara. Bahwa "...membuat pancakaki ini, untuk
dipakai mengingatkan, para anak-cucu, agar jangan
putus hubungan kekeluargaan, karena biasanya yang muda
tak peduli, menghapalkan keturunan/leluhur. Tetapi
kalau sudah ada dalam bentuk tertulis, disimpan di
dalam laci, kendatipun tidak hafal, pasti tak akan
sia-sia, sebab sudah ada dalam bentuk tertulis itu,
asalkan mau membaca, pasti ketemu.

Demikianlah, dapat disimpulkan bahwa pancakaki
menempati kedudukan penting dalam kehidupan masyarakat
Sunda. Pancakaki memiliki fungsi individual dan sosial
yang bervariasi pada setiap zaman, seperti untuk
memperoleh legitimasi kekuasaan, mempertinggi derajat
dan martabat seseorang, memperoleh dan mempertahankan
jabatan dalam pemerintahan, dan melakukan pendekatan
dalam hubungan keluarga, pernikahan, dan sosial budaya
lainnya. Pancakaki mencerminkan gambaran bahwa tata
kehidupan orang Sunda berdasarkan kepada asas
kekeluargaan yang ingin menempatkan setiap anggota
keluarganya dalam hubungan pancakaki. Dengan hubungan
yang jelas tempatnya dalam struktur kekerabatan
mereka, di samping akan terbentuk dan terbina suasana
rukun dan damai, juga terbentuk dan terbina suasana
tertib dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka akan
menempatkan diri pada kedudukan hubungan pancakaki
masing-masing serta menghormati dan menghargai
sesamanya sesuai dengan tingkat hubungan
pancakaki-nya.***

Penulis, GuruBesar Universitas Padjadjaran dan Ketua
Pengurus Pusat Studi Sunda

Mundinglaya DIkusimah

Rangkuman

Prabu Silihwangi memiliki dua orang istri yaitu Nyimas Tejamantri dan Nyimas Padmawati yang menjadi permaisuri. Dari Nyimas Tejamantri, Prabu Silihwangi mendapat seorang anak yaitu pangeran Guru Gantangan. Sedangkan dari permaisuri Nyimas Padmawati, raja memperoleh anak yang diberi nama Mundinglaya. Beda umur antara pangeran Guru Gantangan dan pangeran Mundinglaya sangat jauh. Saat pangeran Guru Gantangan ditunjuk jadi bupati di Kutabarang dan sudah menikah, Mundinglaya masih anak-anak.

Karena tidak mempunyai anak, pangeran Guru Gantangan memungut anak dan diberi nama Sunten Jaya. Guru Gantangan juga tertarik untuk merawat Mundinglaya sebagai anaknya. Saat pangeran Guru Gantangan meminta Mundinglaya dari permaisuri Nyimas Padmawati, permaisuri memberikannya karena mengetahui bahwa pangeran Guru Gantangan sangat menyayangi pangeran Mundinglaya.

Saat pangeran Mundinglaya dewasa, pangeran Guru Gantangan lebih menyayangi pangeran Mundinglaya daripada pangeran Sunten Jaya. Hal ini disebabkan perbedaan karakter yang sangat jauh antara pangeran Mundinglaya dan pangeran Sunten Jaya. Pangeran Mundinglaya selain rupawan juga baik budi pekertinya sedangkan keponakannya sifatnya angkuh dan manja. Hal ini sangat membuat iri pangeran Sunten Jaya. Terlebih lagi ibunya juga sangat menyayangi pangeran Mundinglaya.

Hanya saja perhatian istri pangeran Guru Gantangan kepada pangeran Mundinglaya sangat berlebihan sehingga membuat pangeran Guru Gantangan cemburu. Akhirnya pangeran Mundinglaya dijebloskan kedalam penjara oleh saudara tirinya itu dengan alasan bahwa pangeran Mundinglaya mengganggu kehormatan wanita. Keputusan ini menjadikan mayarakat dan bangsawan Pajajaran terpecah dua, ada yang menyetujui dan ada yang menentang keputusan tersebut sehingga mengancam ketentraman kerajaan kearah permusuhan antar saudara.

Pada saat yang gawat ini, terjadi sesuatu yang aneh. Pada suatu malam, permaisuri Nyimas Padmawati bermimpi aneh. Dalam tidurnya, permaisuri melihat tujuh guriang, yaitu mahluk yang tinggal di puncak gunung. Diantara mereka ada yang membawa jimat yang disebut Layang Salaka Domas. Permaisuri mendengar perkataan guriang yang membawa jimat tersebut: “Pajajaran akan tenteram hanya jika seorang kesatria dapat mengambilnya dari Jabaning Langit.”

Segera setelah bangun pada pagi harinya, permaisuri menceritakan mimpi itu kepada raja. Prabu silihwangi sangat tertarik oleh mimpi permaisuri dan segera meminta seluruh rakyat juga bangsawan, termasuk pangeran Guru Gantangan dan pangeran Sunten Jaya, untuk berkumpul di depan halaman istana untuk membahas mimpinya permaisuri. Setelah seluruhnya berkumpul, raja berkata: “Adakah seorang kesatria yang berani pergi ke Jabaning Langit untuk mengambil jimat Layang salaka domas?”

Senyap! Tidak ada suara yang terdengar. Pangeran Sunten Jaya pun tidak mengeluarkan suaranya. Dia takut akan barhadapan dengan Jonggrang Kalapitung, seorang raksasa berbahaya yang selalu menghalangi jalan ke puncak gunung. Setelah beberapa saat, patih Lengser angkat bicara: “Paduka,” dia berkata, “setiap orang telah mendengarkan apa yang disampaikan paduka, kecuali masih ada satu orang yang belum mendengarkannya. Dia berada dalam penjara. Paduka belum menanyainya. Dia adalah pangeran Mundinglaya.” Mendengar ini, raja memerintahkan agar pangeran Mundinglaya dibawa menghadap. Patih Lengser kemudian meminta izin pangeran guru Gantangan untuk melepaskan pangeran Mundinglaya.

Saat pangeran Mundinglaya sudah berada di hadapannya, raja berkata: “Mundinglaya, maukah ananda mengambil jimat layang salaka domas, yang diperlukan untuk mencegah negara dari kehancuran akibat malapetaka?” Karena layang salaka domas penting bagi keselamatan negara, ananda akan pergi mencarinya, ayahanda,” kata pangeran Mundinglaya.

Prabu Silihwangi sangat senang mendengar jawaban ini. Demikian juga masyarakat dan para bangsawan. Bagi pangeran Mundinglaya, tugas ini juga berarti kebebasan jika dia berhasil mendapatkan layang salaka domas. Sementara bagi pangeran Sunten Jaya ini berarti menyingkirkan musuhnya, karena dia yakin bahwa pamannya akan dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. “Kakek,” kata pangeran Sunten Jaya, “dia adalah seorang tahanan, jika kakek membiarkannya pergi sekarang, tidak akan ada jaminan bahwa dia akan kembali.”

“Apa yang cucunda usulkan, Sunten Jaya?”

“Jika dia tidak kembali setelah sebulan, penjarakan kanjeng ibu Padmawati dalam istana.” Masyarakat dan bangsawan kaget mendengar permintaan ini. Prabu Silihwangi berbalik kepada pangeran Mundinglaya: “Bagaimana menurutmu?”

”Ananda akan kembali dalam sebulan dan setuju dengan usulan Sunten Jaya.”

Dalam beberap minggu, pangeran Mundinglaya diajari oleh patih Lengser ilmu perang dan cara menggunakan berbagai senjata sebagai bersiapan untuk menghadapi rintangan yang akan ditemui selama perjalanan ke Jabaning Langit. Kemudian pangeran Mundinglaya meninggalkan Pajajaran. Karena dia tidak pernah keluar dari ibukota tersebut, pangeran Mundinglaya tidak mengetahui jalan ke Jabaning Langit. Dengan berserah diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa, sang pangeran pergi melewati berbagai hutan lebat untuk menemukan Jabaning Langit dan bertemu dengan para guriang.

Dalam perjalanan, pangeran Mundinglaya melewati kerajaan kecil Muara Beres (atau Tanjung Barat) yang merupakan bawahan dari Pajajaran. Disana pangeran Mundinglaya bertemu dan jatuh hati dengan putri kerajaan yang bernama Dewi Kania atau Dewi Kinawati. Mereka saling berjanji akan bertemu lagi setelah pangeran Mundinglaya berhasil menjalankan tugas dari Prabu silihwangi untuk memperoleh jimat layang salaka domas.

Pangeran Mundinglaya meneruskan perjalanannya. Tiba-tiba di tengah perjalanan dia dicegat oleh raksasa Janggrang Kalapitung yang berdiri di depannya. “Mengapa kamu memasuki wilayahku? Apakah kamu menyerahkan diri sebagai santapanku?”

“Coba saja kalau bisa!” jawab pangeran Mundinglaya dengan tenang. Jonggrang Kalapitung menubruknya tapi pangeran Mundinglaya berkelit.

Berkali-kali si raksasa menyerang pangeran Mundinlaya, tapi lagi dan lagi jatuh ke tanah sampai akhirnya kehabisan nafas. Dengan kerisnya, pangeran Mundinglaya mengancam musuhnya:

“Katakan dimana Jabaning Langit?”

“Di dalam dirimu.” Berpikiran bahwa si raksasa berbohong, pangeran Mundinglaya menekankan keris lebih dalam ke leher si raksasa. “Jangan berbohong! Di manakah Jabaning Langit?”

“Di dalam hatimu.” Setelah itu, pangeran Mundinglaya melepaskan raksasa tersebut, sambil berkata: “Aku membebaskanmu, tapi jangan ganggu rakyat Pajajaran lagi.” Jonggrang Kalapitung menuruti dan berterima kasih kepada pangeran Mundinglaya dan meninggalkan Pajajaran selamanya.

Ketika dia pergi, pangeran Mundinglaya menemukan suatu tempat untuk beristirahat dan berdoa meminta tolong kepada tuhan yang Maha Esa untuk diberikan jalan. Suatu hari dia merasakan seolah-olah terangkat dari tempatnya dan terbang ke suatu tempat yang sangat terang. Di sana dia diterima oleh tujuh guriang, mahluk-mahluk supranatural yang menjaga Layang Salaka Domas.

Mereka bertanya kepada pangeran Mundinglaya mengapa berani datang ke Jabaning Langit. “Tujuanku datang ke sini adalah untuk mengambil Layang Salaka Domas yang diperlukan oleh negaraku sebagai obat untuk mencegah permusuhan antar saudara. Akan banyak orang menderita dan mati memperebutkan yang tidak jelas.” “Kami menghargaimu, pangeran Mundinglaya, tapi kami tidak dapat memberimu Layang Salaka Domas karena ini bukan untuk manusia. Bagaimana kalau pemberian lain sebagai hadiah untukmu? Misalnya seorang putri cantik atau kesejahteraan, atau kami dapat menjadikanmu manusia tersuci di dunia?”

“Aku tidak memerlukan semua itu, jika rakyat Pajajaran terlibat dalam perang.”

“Kalau begitu, kamu harus merebutnya setelah mengalahkan kami.” Maka terjadilah perkelahian. Karena para guriang sangat kuat, pangeran Mundinglaya terjatuh dan meninggal. Segera setelah itu, muncul mahluk supranatural lainnya, yaitu Nyi Pohaci yang menampakkan diri dan menghidupkan kembali pangeran Mundinglaya. Pangeran Munding Laya bersiap kembali untuk bertempur dengan para guriang.

“Tida perlu ada lagi pertempuran, karena engkau telah menunjukkan sifatmu yang sebenarnya,” kata salah satu dari tujuh guriang, “jujur, tidak tamak. Engkau mempunyai hak untuk membawa Layang Salaka Domas.” Dan dia kemudian memberikannya kepada pangeran Mundinglaya. Pangeran Mundinglaya sangat bergembira dan mengucapkan terima kasih. Dia juga berterima kasih kepada Nyi Pohaci atas bantuannya. Dengan dipandu oleh tujuh guriang yang kemudian menyebut diri mereka sebagai Gumarang Tunggal, pangeran Mundinglaya pergi pulang ke Pajajaran.

Di Pajajaran, pangeran sunten Jaya mengganggu ketentraman permaisuri. Kepada Prabu Silihwangi, pangeran Sunten Jaya mengatakan bahwa permaisuri sebenarnya tidak bermimpi, bahwa dia berdusta untuk membebaskan putranya dari penjara. Dengan demikian, dia membujuk Prabu Silihwangi untuk menghukum mati permaisuri.

Pangeran Sunten Jaya bahkan lebih jauh berniat untuk mengganggu ketentraman Dewi Kinawati di Muara Beres dengan menceritakan bahwa pangeran Mundinglaya telah dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. Tentara digelar untuk mendatangi kerajaan itu. Pada saat yang gawat tersebut, pangeran Mundinglaya beserta ajudannya telah sampai ke Pajajaran. Mereka senang dan berteriak kegirangan. Pangeran Sunten Jaya dan pengikutnya diusir.

Setelah itu. Prabu Silihwangi menobatkan pangeran Mundinglaya sebagai raja Pajajaran menggantikannya dengan gelar Mundinglaya Dikusumah.

Tidak lama setelah itu, Mundinglaya Dikusumah menikahi Dewi Kinawati dan menjadikannya sebagai permaisuri dan Pajajaran menjadi negara yang adil makmur dan aman.

Selasa, 07 Oktober 2008

Perjalanan Komunitas Tionghoa di Tatar Sunda

Sejak kapan orang China datang ke Tatar Sunda? Hingga sekarang belum ada sumber sejarah pasti yang menyebutkan titimangsa kedatangan orang China ke Nusantara, termasuk Tatar Sunda, atau wilayah yang sekarang meliputi Provinsi Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, dan sebagian Jawa Tengah.

Namun, adanya temuan keramik China dari masa Dinasti Han (225 SM-150 M) oleh Orsoy de Flines di Banten pada tahun 1936 menjadi salah satu bukti bahwa orang-orang China diduga kuat sudah datang ke Tatar Sunda pada abad pertama Masehi. Sebuah berita China memastikan bahwa pada tahun 414 seorang biksu China bernama Fa-Hsien dalam perjalanan pulang dari ziarah di India terdampar di pantai utara Pulau Jawa karena perahunya diterjang badai.

Kontak lebih intensif terjadi pada abad-abad selanjutnya sebagaimana diberitakan sumber dari Dinasti Soui, yang antara lain menyebutkan, pada tahun 528 dan 535 datang utusan dari To-lo-mo yang terletak di sebelah selatan. Sementara itu, sumber dari masa Dinasti Tang juga menyebutkan, tahun 666 dan 669 datang utusan dari To-lo-mo.

Rupanya To-lo-mo adalah lafal China untuk Taruma (Kerajaan Tarumanegara). Jelas bahwa Kerajaan Tarumanegara sudah mengadakan hubungan diplomatik dengan kerajaan di Tiongkok.

Berdasarkan bukti arkeologis, Kerajaan Tarumanegara eksis di Tatar Sunda sejak awal abad ke-5 hingga abad ke-7 Masehi. Kunjungan diplomatik dari Tatar Sunda ke Tiongkok secara implisit menunjukkan bahwa perkenalan orang China dengan Tatar Sunda sudah semakin akrab. Secara lebih jelas sumber masa Dinasti Sung II (960-1279 M) menyebutkan adanya hubungan dagang dan diplomatik antara China dan Jawa.

Dalam perkembangan selanjutnya diketahui bahwa di kota-kota pelabuhan, seperti Tuban dan Gresik, para pedagang China ini membentuk komunitas baru, bahkan melakukan perkawinan dengan wanita pribumi. Tidak mengherankan pula bila ada elite politik pribumi dari Kerajaan Majapahit yang menikahi wanita China.

Beberapa penguasa dan wali penyebar agama Islam di Jawa dipercaya sebagai keturunan China. Misalnya, pendiri Kerajaan Demak, Raden Patah, dikenal dengan sebutan Jinbun. Sunan Ampel dan Sunan Bonang konon berdarah China. Adapun para bupati di kota-kota perdagangan muara sungai, seperti Pekalongan, Batang, Tegal, Tuban, Lasem, Sidayu, dan Pasuruan, memiliki hubungan keturunan dengan China. Bahkan banyak syahbandarnya berasal dari kalangan mereka.

Salah seorang istri Sunan Gunung Jati, penyebar agama Islam di Jawa Barat, adalah wanita China bernama Putri Ong Tien. Perdagangan antara Kerajaan Sunda dan China juga diberitakan dalam Suma Oriental yang ditulis Tome Pires (1513-1515). Sumber ini menyebutkan, mata uang Tiongkok berlaku di pelabuhan Kerajaan Sunda, antara lain di Banten dan (Sunda) Kalapa. Pembantaian VOC

Tahun 1602, dalam mengelola perdagangannya VOC membutuhkan pedagang China sebagai penyedia komoditas dagang. VOC berusaha menarik pedagang China dari Banten ke Batavia. Namun, ketika Batavia mengalami kelesuan dagang pada 1632-1648, banyak orang China meninggalkan kota itu dan kembali ke Banten atau Mataram.

Untuk menarik simpati agar mereka mau kembali ke Batavia, pada Agustus 1648 VOC menghapuskan kewajiban membayar pajak kepala bagi orang China. Maka, berbondong-bondong orang China kembali ke Batavia.

Pada tahun 1739, jumlah penduduk yang berdiam di dalam Kota Batavia hampir 30.000 jiwa, dan di daerah pinggirannya tidak kurang dari 50.000 jiwa. Jumlah orang China sekitar 15.000 orang atau 17 persen dari total penduduk.

Dalam perkembangannya, VOC mengalami kemunduran perdagangan dan defisit keuangan. Di tengah situasi yang tidak menguntungkan itu imigran China terus mengalir. Mereka yang tidak tertampung di kota membanjiri kawasan di sekitar Batavia. Banyak yang tidak mendapatkan pekerjaan terpaksa bergabung dengan gerombolan penjahat. Kesempatan itu oleh pejabat VOC digunakan sebagai alasan mengeluarkan surat izin bermukim (permissiebriefjes) bagi orang-orang China.

Dalam pelaksanaannya timbul berbagai penyimpangan, pemerasan, dan korupsi yang menimbulkan kegelisahan pada masyarakat China di Batavia dan sekitarnya. Keresahan meluas ketika VOC melakukan emigrasi paksa bagi orang-orang China yang tidak memiliki pekerjaan dan surat izin tinggal ke Ceylon atau Tanjung Pengharapan Baik di Afrika Selatan. Ribuan orang China ditangkap. Ada desas-desus bahwa orang-orang China yang diangkut dengan kapal VOC dari Batavia dilempar ke laut. Hal ini membuat orang China di Batavia dan sekitarnya geger.

Akhir September 1740, terjadi bentrokan yang menewaskan 50 tentara VOC. VOC melakukan balasan dan pembersihan. Pada 9-13 Oktober 1740 terjadi kerusuhan yang mengorbankan sekitar 10.000 orang China. VOC semakin ketat terhadap orang-orang China. Berdasarkan Wijkenstelsel Tahun 1854, orang China diharuskan tinggal di perkampungan khusus yang disebut pecinan.

Mereka dikenakan passenstelsel, yaitu jika akan keluar dari kawasan itu harus memiliki pas jalan. Banyak orang China dari sekitar Batavia masuk ke pedalaman, yaitu daerah Priangan.

Sejak tahun 1872, Pemerintah Hindia Belanda memberikan izin bagi orang-orang China untuk tinggal di wilayah Priangan. Sejak saat itu perkampungan pecinan dapat dijumpai di berbagai kota/kabupaten di Karesidenan Priangan, seperti Cianjur, Bandung, Sumedang, Sukapura (nantinya disebut Tasikmalaya), Limbangan, dan Galuh (kini disebut Ciamis). Mata pencarian mereka umumnya berdagang. Orang China di Priangan umumnya bisa berbahasa Sunda.

Pemerintah Hindia Belanda juga mengangkat seorang wijkmeester yang mengurus administrasi komunitas China. Segregasi ini bukan hanya untuk yang hidup, yang meninggal pun dikubur di pemakaman khusus untuk orang China. Di Bandung ada Kompleks Cikadut, sedangkan di Garut ada Gugunungan, Desa Margawati. Kampung Pecinan

Berdasarkan Regerings Reglement (Peraturan Pemerintahan) 1854, dalam stratifikasi sosial masyarakat kolonial, orang Eropa menempati strata paling atas. Di bawahnya ada golongan Timur Asing (China, Arab, dan India), dan paling bawah masyarakat pribumi. Jadi, jelas orang-orang China menempati strata lebih tinggi daripada pribumi.

Ini kelak menjadi salah satu penyebab orang China "berbeda". Apalagi, mereka tinggal di kompleks terpisah, yaitu pecinan, yang biasanya berada di dekat pasar. Di Bandung, pecinan terletak di dekat Pasar Baru, sementara di Garut ada di daerah Ciwalen.

Dalam perekonomian Jawa Barat, orang-orang China menempati kedudukan sebagai pedagang perantara pribumi dengan Eropa. Para pedagang China tidak hanya diam di kota, tetapi juga berkeliling ke desa-desa menjual barang dengan cara kredit. Kadang mereka juga meminjamkan uang dengan bunga sangat tinggi. Mereka dikenal dengan nama "China Mindring".

Banyak menak di Priangan yang terjebak utang kepada orang-orang China yang menawarkan barang-barang mahal seperti perhiasan. Gaya hidup kaum menak yang konsumtif menjadi sasaran empuk "China Mindring".

Pada awal kemerdekaan, orang-orang China yang ikut berjuang masuk ke dalam pemerintahan. Beberapa menjadi menteri dalam Kabinet Republik Indonesia I. Mereka bebas menjadi pegawai negeri dan tentara. Pada perkembangannya, pembatasan juga dilakukan dalam ekspresi kebudayaan.

Namun, pada masa reformasi, peranan orang China lebih terakomodasi. Ekspresi budaya China tidak lagi dihalangi. Pertunjukan barongsai kini marak di mana-mana. Hari raya Imlek pun disambut sebagaimana hari besar agama lainnya. Ucapan "Gong Xi Fa Cai" berkibar di mana-mana. Tidak perlu ada lagi dikotomi antara bangsa Indonesia pituin dan bangsa Indonesia mukimin.(sumber : www.kompas.co.id)

Miss Tjitjih, Pengabdian Seorang Gadis Sumedang

Nyi Tjitjih awalnya hanyalah seorang pemain sandiwara Sunda biasa di Sumedang. Perannya di atas panggung juga terbilang biasa saja dengan peran sebagai penyanyi atau seorang putri raja di waktu lain. Namun, kisah perjalanan hidup Nyi Tjitjih perlahan berubah setelah bertemu dengan Aboe Bakar Bafaqih. Ketika itu, Bafaqih, seorang Arab kelahiran Bangil (Jawa Timur), bersama rombongan stambulnya sedang melakukan pertunjukan keliling di Jawa Barat.
Di daerah Sumedang, Bafaqih bertemu dengan Nyi Tjitjih yang sedang bermain dengan Tonil Sunda. Bafaqih langsung tertarik mengajaknya masuk ke dalam perkumpulan sandiwara bentukannya, Opera Valencia. Ajakan Bafaqih tersebut disambut baik Nyi Tjitjih. Mulai saat itu Nyi Tjitjih menjadi bagian dari Opera Valencia. Ketika bergabung dengan Opera Valencia, Nyi Tjitjih baru berusia 18 tahun. Dalam perkumpulan ini baru terlihat bakat Nyi Tjitjih yang terpendam. Selain wajahnya yang cantik, gadis ini juga mempunyai suara merdu, kemampuan akting, dan kelincahan dalam menari. Dari hari ke hari kemampuan Nyi Tjitjih berkembang sehingga ia menjadi primadona dalam perkumpulan tersebut.
Pada 1928, perkumpulan Opera Valencia sampai di Batavia. Pada tahun yang sama, Bafaqih menyunting Nyi Tjitjih menjadi istri keduanya. Ketika itu usia Tjitjih baru menginjak 20 tahun. Selanjutnya, Nyi Tjitjih diubah namanya menjadi Miss Tjitjih dan nama tersebut dipakai sebagai nama perkumpulan pimpinan Bafaqih ini.
Nama lengkap perkumpulan itu adalah Miss Tjitjih Toneel Gezelschap. Maka, praktis tahun 1928 ditetapkan sebagai kelahiran perkumpulan sandiwara Miss Tjitjih.Sang primadona
Sudah menjadi suatu hal yang lazim, pada masa itu nama sang primadona perkumpulan dijadikan sebagai nama perkumpulannya. Ini merupakan bagian dari “senjata” utama untuk meraih perhatian publik dan maksud dagang/komersial. Hal ini disebut dengan “sistem bintang”. Sistem bintang mulai dijadikan tren pada dunia teater sejak awal tahun 1920-an.
Sebelumnya, perkumpulan sandiwara Orion pimpinan Tio Tek Djien Jr yang dibentuk di Batavia tahun 1925 mengganti namanya menjadi perkumpulan sandiwara Miss Riboet Orion, mengikuti nama seorang primadona yang juga istri Tio, Riboet. Ketika itu, saingan Miss Tjitjih untuk meraih perhatian publik di antaranya Miss Dja, seorang primadona dari perkumpulan Dardanella, dan Miss Riboet dari perkumpulan Miss Riboet Orion.
Perubahan nama itu ternyata juga diikuti dengan perubahan bahasa pengantar pertunjukan. Perkumpulan Miss Tjitjih yang sebelumnya menggunakan bahasa Melayu beralih ke bahasa Sunda. Keputusan ini diambil atas ide dari Miss Tjitjih sendiri yang ingin melestarikan budaya tanah kelahirannya dan berdasarkan realita bahwa publik pendukung Miss Tjitjih adalah masyarakat Jabar.
Namun, keputusan ini bukan tanpa risiko. Pemakaian bahasa Sunda dalam dialog di atas panggung membuat ruang gerak perkumpulan ini semakin sempit. Mereka terpaku pada daerah-daerah Jabar dan Batavia saja.
Perkumpulan Miss Tjitjih yang sejak 1928 menetap di Batavia tetap mengadakan pertunjukan keliling ke daerah Jabar. Dalam perjalanan keliling ini, alat transportasi yang mereka gunakan adalah gerobak yang ditarik sapi. Jika perjalanannya terlampau jauh, mereka menggunakan kereta api.
Lakon-lakon yang sering dibawa di atas panggung adalah lakon-lakon yang dekat dengan alam pikiran mayoritas masyarakat Hindia Belanda. Cerita-cerita rakyat seperti Sangkoeriang, Tjioeng Wanara, dan Loetoeng Kasaroeng aktif dimainkan di atas pentas. Biasanya mereka bermain dengan improvisasi.
Pada 1931, rombongan sandiwara Miss Tjitjih diundang untuk mengadakan pertunjukan di Istana Bogor. Tampaknya perkumpulan ini kian masyhur sehingga pihak istana pun meminta mereka pentas. Di antara penontonnya tentu saja ada gubernur jenderal. Selain itu, mereka juga mempunyai jadwal tetap untuk mengadakan pertunjukan di Pasar Gambir Batavia hingga pasar ini tutup pada 1936.
Nama Miss Tjitjih kian berkibar di hati pencinta panggung. Bahkan, berbagai pendopo kabupaten yang saat itu menjadi ajang pergaulan para menak, seperti di Kabupaten Cianjur, Garut, Lebak, serta Keraton Kasepuhan Cirebon, menjadi tempat-tempat yang dikunjungi Miss Tjitjih untuk memperlihatkan kebolehannya. Jika Miss Tjitjih sedang berada di atas panggung, penonton seolah-olah tersihir oleh kebolehannya.

Usia 28 tahun
Tahun 1936 tampaknya menjadi tahun terakhir Tjitjih bisa berlenggak-lenggok di atas panggung. Pada tahun itu, Tjitjih mengembuskan napas terakhirnya. Sebelum mengembuskan napas terakhir, Nyi Tjitjih masih sempat bermain dengan rombongannya di Cikampek (Jabar) dengan mementaskan lakon Gagak Solo karangan Tio Tek Djien Jr.
Dalam lakon tersebut Nyi Tjitjih berperan sebagai Tandak yang diputuskan cintanya oleh putra mahkota. Tjitjih yang selalu berperan sepenuh hati di atas panggung mendadak terjatuh pada saat layar turun. Penonton yang menyaksikan pertunjukan itu mengira bahwa apa yang mereka tonton adalah bagian dari akting Tjitjih. Pertunjukan di Cikampek ini terhenti di tengah jalan. Nyi Tjitjih memang telah mengidap penyakit sejak lama.
Walaupun kondisinya sedang tidak menguntungkan, dia tetap memaksakan untuk bermain. Nyi Tjitjih meninggal dunia setelah dibawa ke tanah kelahirannya, Sumedang. Tjitjih meninggal pada usia 28 tahun. Sepeninggal Nyi Tjitjih, Bafaqih tetap konsisten melanjutkan napas perkumpulan sandiwara Miss Tjitjih. Sang primadona meninggal dunia setelah sebagian hidupnya dihabiskan untuk mengabdikan diri pada sandiwara Sunda.
Pengabdian gadis Sumedang itu tidak sia-sia. Hingga kini nama Miss Tjitjih tetap berdiri di tengah-tengah publik yang mendukungnya. Sudah selayaknya kehidupan sandiwara Sunda ini mendapat perhatian lebih dari pemerintah, dan kita tidak begitu saja melupakan perkumpulan yang sudah 80 tahun berdiri ini. Semoga.

Heritage of Java

Tari Tradisional Jawa

SERATUS tahun silam, negara kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk. Yang ada kelompok- kelompok etnis seperti Jawa, Bali, Minang, dan Melayu yang hidup terpisah-pisah di bawah kekuasaan penjajah Belanda. Sebelum penjajah hadir, penguasa pribumi-raja-raja, terutama Jawa dan Bali- melegitimasikan kekuasaan dan pengaruhnya dengan patronase dan penyelenggara berbagai pertunjukan sebagai bagian dari upacara negara, agama, atau kegiatan rekreasi dan hiburan semata.

Melalui upacara spektakuler seperti garebeg, sekaten, eka dasa rudra, dan galungan para raja menunjukkan kebesarannya. Melalui wacana konsep dewa-raja, ratu gung binathara, gelar kebesaran sayidin panata gama kalifatullah tanah Jawa, rakyat diyakinkan akan kekuasaan dan kebesaran penguasa. Masyarakat Jawa masa lalu terbagi dua kelompok para priyagung dan rakyat biasa (kawula alit). Posisi tak menguntungkan rakyat kecil ini secara tradisi harus diterima dengan patuh tanpa bertanya.

Masuknya penjajah Belanda memperburuk situasi hidup. Raja-raja, penguasa lokal yang didewakan rakyat, tak lagi berkuasa penuh tetapi harus tunduk dan melayani kepentingan penjajah Belanda. Awalnya, para penguasa pribumi secara sporadis melawan Belanda. Mereka berjuang sendiri-sendiri dengan kekuatan ekonomi, militer, teknologi, dan strategi yang tak memadai, karenanya banyak yang tergilas.

Tiga ratus tahun berjuang tanpa hasil, raja-raja Jawa dan Bali kemudian banyak yang pasrah dan memusatkan perhatiannya pada kegiatan gamelan, tari dan wayang, atau mistik. Wacana budaya pada saat ini adalah bertahan hidup. Kebesaran raja-raja Jawa sebenarnya tinggal nama, karena secara politik dan ekonomi mereka sangat bergantung kepada Pemerintah Hindia Belanda. Ada kalanya para raja justru membantu penjajah Belanda mengeksploitasi rakyatnya.

Patronase pertunjukan tari, wayang dan gamelan tetap, walau jumlahnya berkurang. Upacara-upacara besar yang diselenggarakan raja berubah fungsi dari sebuah ritual yang mengandung martabat menjadi hiburan atau klangenan yang lebih mementingkan gebyar wujud daripada esensi isi. Upacara garebeg misalnya, tak lagi diselenggarakan semata-mata untuk keselamatan dan kemakmuran Raja Jawa dan rakyatnya, tetapi juga (dan terutama) untuk Kanjeng Ratu Wilhelmina.

Memasuki abad ke-20, seiring dengan pergerakan nasional, terjadi demokratisasi dan komersialisasi. Seni pertunjukan yang semula dihayati sebagai ekpresi budaya perlahan-lahan berubah menjadi produk atau komoditas. Tontonan keraton yang semula merupakan klangenan kaum ningrat, diproduksi secara populer untuk rakyat biasa. Di Surakarta, Sunan Paku Buwono X membuka Taman Hiburan Sri Wedari dengan pertunjukan wayang orang yang main setiap malam. Masyarakat Surakarta dan sekitarnya (yang masih kuat berorientasi ke budaya istana), menyambut dengan gembira. Melalui pertunjukan wayang orang, mereka bisa mengidentifikasikan dirinya dengan kaum priyayi dan bisa mengagumi kebesaran masa silam. Raja dan rakyat memiliki perasaan yang sama dalam menghadapi penjajah Belanda.

Di Yogyakarta, dengan restu Sultan, perkumpulan tari Krida Beksa Wirama didirikan tahun 1918 dan sejak itu tarian keraton boleh diajarkan kepada rakyat banyak. Upaya meneguhkan legitimasi kekuasaan raja tetap dilakukan dengan patronase pertunjukan gamelan, tari, dan wayang. Selama memerintah (1921-39), Sultan Hamengku Buwono VIII mementaskan 11 lakon wayang orang. Beberapa di antaranya didukung oleh 300-400 seniman dan mengambil waktu 3-4 hari, dari jam 06:00 sampai 23:00.

Di Bali, hadirnya Belanda mendorong seniman tari dan gamelan untuk menciptakan karya-karya sekuler yang setiap saat dapat dimainkan untuk hiburan wisatawan. Gamelan kebyar yang spektakuler dan cemerlang muncul pada awal abad ke-20 dan dengan cepat menyebar dari Bali Utara ke seluruh wilayah Bali. Merespon gamelan kebyar yang tengah digemari, seniman tari desa dari Tabanan, I Mario, menciptakan karya-karya unggul yang sekarang dikenal sebagai tari Kebyar Terompong dan Jago Tarung. Sementara interaksi seniman tari Bali dengan pelukis Jerman Walter Spier, membuahkan tarian Kecak sekular yang kemudian dikenal dengan Monkey Dance.

Hadirnya Pemerintah Hindia Belanda di satu pihak menyengsarakan rakyat, di lain pihak memungkinkan seniman Jawa dan Bali memperkenalkan keseniannya kepada bangsa lain. Rombongan kesenian (gamelan) Jawa pertama ke luar negeri diberangkatkan tahun 1893, ketika pemerintah Hindia Belanda memromosikan hasil perkebunan (teh dan kopi) Jawa ke ekspo kolonial di Chicago, Amerika Serikat. Tak aneh, jika sampai sekarang masyarakat Amerika dan Eropa menyebut kopi dengan istilah “Java”.

Dari Bali, rombongan ke luar negeri bersejarah dikirim ke Exposisi Paris pada tahun 1926, di antaranya menampilkan tari Barong-Rangda yang disaksikan oleh tokoh pembaharu teater Perancis kenamaan Antonin Artaud. Terpukau menyaksikan pertarungan Barong-Rangda, Artaud menulis kesan-kesan dan visinya tentang teater baru dalam buku Theatre and Its Double yang berpengaruh luas dalam perkembangan teater dunia.

Orieantalisme

Pertemuan dengan kelompok tari modern pertama dari Amerika Serikat terjadi tahun 1925 ketika rombongan Ruth St Denis (dengan Martha Graham sebagai salah seorang penari) mengadakan pertunjukan di Jakarta. Bisa dimengerti jika pada pertemuan pertama ini interaksi terjadi berat sebelah, seniman-seniman tradisi kita lebih banyak memasok. Sementara Ruth St Denis mendapat ilham menciptakan beberapa karya Orientalis seperti Batik Vendor, Javanese Dancer, dan Balinese Dancer.

Orientalisme (Edward Said, 1989) adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh masyarakat terpelajar Eropa-Amerika sebagai alat untuk menginterpretasikan wilayah dan budaya non-Barat (Oriental) seperti Mesir, Timur Tengah, Asia Selatan/India, Cina, Jepang, Korea, Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dalam konsep Orientalisme, masyarakat dan budaya Timur dianggap tidak mampu bersuara mewakili dirinya sendiri. Bahasa budaya, adat kebiasaan, dan sejarahnya dianggap misterius dan tidak terorganisir, dan oleh karena itu terserah bagi Barat untuk melengkapi konteks guna menginterpretasi dan mengkodifikasikannya. Selama beratus tahun masa kolonialisme, hermeneutika, cara memandang dan menilai orang dan budaya Timur yang salah tersebut diterapkan.

Sekalipun demikian dari perempat pertama abad ke-20, pantas dicatat nama seorang seniman Jawa-Yogyakarta yang kemudian menetap di negeri Belanda, RM Jodjana, yang menciptakan karya-karya tari modern yang cukup dipuji di forum dunia. “(Jodjana) dapat membuat wajahnya seperti topeng, menyiratkan ketenangan jiwa yang menunjukkan kemampuannya dalam mengontrol segala bentuk emosi” (The Saturday Review). Dari komentar di atas, tampak sekali kualitas gerak dan ekspresi tari Jawa masih kuat mewarnai pertunjukkan RM Jodjana.

Di Jawa dan Bali pertunjukan tari erat terkait dengan gamelan dan wayang. Empat tahun sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1941, di Keraton Yogyakarta lahir tari baru, yaitu beksan golek Menak yang menurut tradisi diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, lebih tepatnya, barangkali, oleh seniman-seniman keraton Yogya di bawah petunjuk dan patronase Sri Sultan. Tampak bahwa orientasi nilai masyarakat Jawa tradisional kepada kelompok sangat kuat. Orientasi ini menuntut kepatuhan dan penghargaan kepada yang lebih tua dan berkuasa. Di dalam penciptaan seni, orientasi kolektif-daerah dan tuntutan perfeksi-teknik lebih menonjol dari pada kreativitas. Yang juga harus diingat bahwa penciptaan genre baru di dalam konteks tradisi, sering dilakukan dengan memanfaatkan elemen-elemen seni pertunjukkan yang sudah ada, seperti tampak dalam wayang golek menak karya Sultan HB IX yang bertolak dari wayang (golek Menak), gamelan, dan tari klasik Jawa gaya Yogyakarta.

Menjelang kemerdekaan, semasa angkatan Pujangga Baru, intelektual dan seniman Indonesia menghadapi dilema, apakah akan mengembangkan budaya Indonesia mengikuti model Barat yang menekankan pentingnya individualisme dan kreativitas, atau model Timur yang memfokus wacana kepada kesadaran kelompok dan perfeksi teknik. Berbeda dengan modernisasi seni sastra, musik dan seni rupa yang mengacu pada model Barat, modernisasi tari dilakukan bertolak dari tradisi lokal. Balet, misalnya, di Indonesia tidak pernah diterima sebagai dasar pengembangan tari secara nasional.

Setelah Indonesia Merdeka

Wacana budaya pada awal kemerdekaan Indonesia adalah menggalang persatuan dan kesatuan bangsa. Kepribadian nasional menjadi isu penting untuk mempersatukan rakyat Indonesia yang berlatar budaya berbeda-beda. Kebudayaan dan kesenian nasional penting tetap konservasi warisan budaya dan identitas daerah juga perlu. Dilema ini selalu menyertai perkembangan tari Indonesia.

Lima tahun setelah proklamasi Kemerdekaan (1950), pemerintah mendirikan Konservatori Karawitan (Kokar yang kemudian menjadi SMKI) yang pertama di Surakarta, Jawa Tengah. Sekolah menengah kesenian serupa menyusul didirikan di Denpasar, Bandung, Padangpanjang, Makassar, dan Surabaya. Sekolah-sekolah ini mengajarkan berbagai bentuk seni tari, musik, pedalangan, dan teater daerah dari wilayah di mana sekolah-sekolah tersebut didirikan. Dari nama yang dipilih, “konservatori”, menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terfokus pada konservasi seni tradisi.

Tahun 1955, rombongan tari modern dari Amerika Serikat (Martha Graham) mengadakan pertunjukan di Jakarta. Dua tahun setelah kunjungan Martha Graham, tiga seniman tari muda Indonesia-Bagong Kussudiardja, Wisnu Wardhana, dan Setiarti Kailola-berangkat ke AS untuk mengikuti festival tari musim panas di Connecticut College dan belajar tari modern dari Martha Graham di New York. Setiarti dari Jakarta, berlatar belakang ballet, tetapi Bagong dan Wisnu keduanya penari klasik Jawa-Yogyakarta yang andal. Dari ketiganya yang bertahan dan terus berkarya adalah Bagong Kussudiardja. Salah satu sebabnya, Bagong piawai memadukan bahan-bahan tradisi dari Jawa, Sunda, Bali, tiga di antara banyak puncak-puncak kesenian daerah. Karya-karya epik Bagong (Diponegoro, Jayakarta, Gadjah Mada) yang memadu elemen-elemen budaya daerah dan bersemangat nasionalis serasi dengan wacana budaya pemerintah yang mencari kesenian nasional yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Karya-karya Bagong saat ini dikenal masyarakat luas sebagai tari Indonesia “kreasi baru”.

Tahun 1961, Departemen Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata (PDPTP) mengambil prakarsa mengadakan pertunjukan kolosal Sendratari Ramayana Prambanan (SRP). Yang menarik, Bagong sempat belajar dengan Martha Graham dan juga seorang pelukis modern, maka karya Bagong lebih memiliki orientasi individual dan kreativitas. Sementara RT Kusumokesowo, mantan abdidalem keraton Surakarta dan pengajar tari klasik Jawa di Kokar Surakarta, dalam berkarya menekankan orientasi kelompok dan lebih menuntut perfeksi teknik sesuai kaidah tradisi.

Berusaha memadukan gaya tari Surakarta, Yogyakarta, dan tari daerah lainnya, format kerja RT Kusumokesowo memang lebih luas. Tetapi cara kerja kreatif dalam Ramayana Prambanan lebih dekat dengan cara kerja tradisi keraton. Sebagai penata tari, RT Kusumokesowo dibantu oleh KRT Wasitodipuro (dari Paku Alaman) dan RL Martopangrawit dari Surakarta di bidang karawitan. Untuk menangani drama atau pengadeganan didampingi oleh RM Ng Bambang Soemodarmoko. Perlu dicatat, pemrakarsa Sendratari Ramayana Prambanan adalah Letjen Djatikusumo yang juga Menteri PDPTP dan salah seorang putra Sunan PB X. Penari, pemain gamelan, penyanyi koor adalah siswa-siswa Kokar (Solo), KONRI (Yogya), serta murid-murid privat para empu tersebut. Penari massal dilatih dari anak-anak muda sekitar Prambanan. Dipentaskan rutin setiap malam purnama selama lima bulan setahun dan enam kali/lakon setiap bulannya, SRP menjadi tempat belajar yang menarik bagi penari-penari muda yang kemudian menjadi tokoh penari, penata tari, dan pemikir tari Indonesia seperti Sardono W Kusumo, Retno Maruti, Sal Murgiyanto, dan Sulistyo S Tirtokusumo.

Genre baru “sendratari” diterima dengan baik oleh masyarakat dan menjadi sajian seni wisata yang populer. Dalam tempo dekat sendratari tersebar ke Jawa Timur (Wilwatikta di Pandaan) dan Denpasar, Bali. Bagong Kussudiardja juga menggarap beberapa karyanya dalam bentuk sendratari atau dramatari tanpa dialog. Orientasi cerita masih sangat kuat, saya kira karena pengaruh wayang orang dan wayang kulit. Demikian pula di Bali, genre sendratari menambah perbendaharaan dramatari daerah yang sudah ada. Seperti di Jawa, sendratari di Bali diciptakan bersama oleh sebuah tim yang terdiri dari pengajar, asisten, dan siswa-siswa Kokar Bali di bawah arahan seniman I Wayan Beratha. Pola koreografinya mirip dengan SRP. Kecuali cerita wayang Ramayana yang sangat populer sebagai sajian wisata ditampilkan pula kisah sejarah dan cerita rakyat. Sendratari Bali diiringi gending dan gamelan Bali, dengan gerak, rias, dan kostum yang dikembangkan dari perbendaharaan tradisi yang ada. Bentuk sendratari begitu populer sehingga menjadi acara utama dalam Pekan Kesenian Bali yang berlangsung setiap tahun. Penciptaannya ditangani secara khusus oleh tim artistik gabungan dari Kokar (SMKI) dan ASTI (STSI) Bali. Hasilnya dipentaskan di panggung Werdhi Budaya, Taman Budaya, Denpasar, Bali.

Tahun 1963, pemerintah membuka perguruan tinggi seni tari yang pertama yaitu Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) di Yogyakarta yang kemudian disusul dengan sekolah tinggi serupa di Denpasar, Bandung, Surakarta, Padangpanjang, dan Surabaya. Pada waktu yang bersamaan beberapa pengajar dari sekolah-sekolah tinggi tersebut dikirim belajar (dan mengajar) ke luar negeri sebagian besar ke Amerika Serikat untuk memperluas wawasan dan pendidikan. Akibatnya, kecuali melestarikan berbagai bentuk seni pertunjukan tradisi, di perguruan tinggi seni penulisan, penelitian, dan penciptaan karya baru juga dipacu. Bahan-bahan seni tradisi yang ada ditafsirkan kembali secara kreatif.

Revitalisasi tari

Di Surakarta pada paruh kedua dekade 1960-an pemerintah Orde Baru mendirikan Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) yang bertugas menggali dan merevitalisasi berbagai bentuk seni tradisi: repertoar tari klasik, gending-gending ageng, naskah-naskah lakon, pengetahuan dan praktik pedalangan, dsb. Untuk kurun waktu yang cukup lama (1968-1983), STSI dan PKJT dipimpin oleh Drs Sedyono (Gendon) Humardhani, yang memiliki pengalaman dan wawasan kesenian yang luas. Maka yang terjadi kemudian bukan saja penggalian dan pelestarian berbagai bentuk seni pertunjukan lama, tetapi juga revitalisasi seni tradisi dan penciptaan karya-karya baru dengan bahan tradisi tetapi berorientasi masa kini. Namun hasil karya lulusan STSI baru minimal 10 tahun kemudian tampak.

Setelah Bagong, dua tokoh tari yang muncul pada awal pemerintahan Orde Baru adalah Sardono W Kusumo dan Retno Maruti, keduanya murid RT Kusumokesowo dan penari Ramayana Prambanan. Bersama Bagong, tahun 1964 keduanya terpilih sebagai penari dalam misi kesenian pemerintah ke New York World Fair. Selama di New York, Sardono sempat belajar dengan penata tari Jean Erdmand. Kembali dari New York setahun kemudian, Sardono dan Maruti menetap di Jakarta dan aktif berkarya di Pusat Kesenian Jakarta “Taman Ismail Marzuki” (TIM) yang dibuka Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin tahun 1968. Sebuah tonggak penting bagi perkembangan seni tari, wayang, dan gamelan terjadi di Jakarta.

Di TIM Sardono mengadakan sebuah workshop yang diikuti oleh penari-penari andal dari berbagai daerah yang tinggal di Jakarta: Retno Maruti, S. Kardjono, Sentot Sudiharto (Jawa), I Wayan Diya (Bali), Huriah Adam (Minangkabau), Yulianti Parani, dan Farida Oetoyo (ballet). Dalam workshop ini, Sardono tidak mengajarkan teknik gerak melainkan membiarkan setiap penari memakai teknik gerak tari yang dikuasainya. Sardono melatih sensitivitas dan mengeksplorasi gerak secara kreatif melalui improvisasi. Sardono ingin memodernisasikan tari tradisi dengan menginterpretasikannya kembali secara kreatif. Metoda kreatif inilah yang kemudian dilanjutkan Sardono dalam proses penciptaannya bersama penari-penari Jawa yang menghasilkan Samgita I-XII, dan kemudian dilaksanakan di Bali (Cak Rina dan Dongeng dari Dirah), dan pedalaman Kalimantan Timur (Hutan Plastik, Hutan yang Merintih) dan karya-karya kontemporer lainnya.

Kecuali itu, atas prakarsa ketua DKJ, D Djajakusuma, anggota wayang orang Panca Murti (Jakarta) yang bubar, ditampung di TIM dalam wayang orang Jaya Budaya yang dimotori antara lain oleh Sardono W Kusumo, S Kardjono, dan Retno Maruti. Dan ketika para pemain penari Panca Murti bergabung dalam WO Bharata, Retno Maruti mendirikan kelompok tarinya Padneswara. Sementara Maruti setia kepada bentuk dan nilai keindahan tradisi Jawa, Sardono menjelajah berbagai budaya daerah dan menciptakannya kembali dengan interpretasi pribadi. Selesai mengikuti workshop, para peserta workshop kembali menekuni dan merevitalisasi tradisinya masing-masing, tetapi dengan sikap dan semangat baru.

Tahun 1978-87 Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan Festival Penata Tari Muda yang bukan saja diikuti penata tari dari Jawa (Ben Suharto) dan Bali (I Wayan Dibia) tetapi juga dari Sumatera, Sulawesi dan daerah lain seperti Gusmiati Suid, Tom Ibnu, Deddy Luthan, Wiwiek Sipala, Nurdin Daud, dan Marzuki Hasan. Sebuah tonggak penting yang lain.

Dua forum tari penting dalam dekade terakhir abad ke-20 adalah Indonesian Dance Festival (IDF) yang diselenggarakan bersama oleh Institut Kesenian Jakarta, Yayasan Kesenian Jakarta, dan Dewan Kesenian Jakarta, IDF telah memunculkan penata-penata tari muda seperti Boi G. Sakti, Sukarji Sriman, Mugiyono, Ketut Rina, M Miroto, dan Eko Supriyanto. Kedua, forum Art Summit Indonesia (1995 dan 1998) yang bukan hanya menampilkan karya-karya tari kontemporer Indonesia (Sardono W Kusumo, Gusmiati Suid, Bagong Kussudiardja) tetapi juga karya musik mutakhir yang bertolak dari gamelan (R Supanggah, Suka Hardjana) yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Senin, 06 Oktober 2008

Biografi Pahlawan Sunda

Biografi Pahlawan Sunda

DI Indonesia penulisan biografi tokoh baru berkembang pesat sejak tahun 1970-an. Meski penulisan biografi sudah ada sejak awal abad XX, namun kuantitasnya masih rendah. Selain dari biografi juga terdapat memoar (kenang-kenangan tokoh mengenai peristiwa tertentu) atau sumbangsih tulisan terhadap seorang tokoh. Penulis biografi yang paling produktif adalah Ramadhan K.H, yang umumnya memperlihatkan perjuangan dan pengorbanan sang tokoh dalam menentang penjajah Belanda.

Nina Lubis (orang Sunda yang bersuami Batak) mengikuti jejak Ramadhan KH. Ia telah menulis dan menyunting beberapa biografi tokoh Sunda. Sebelumnya dalam karya akademis di UGM, Yogyakarta, ia menyusun tema serupa. Untuk tesis S-2, Nina menulis Konflik Elite Birokrasi, Biografi Bupati R.A.A Martanagara. Martanagara adalah menak (bangsawan) Sunda yang berasal dari Sumedang dan menjadi Bupati Bandung awal abad XX. Sebagai disertasi (1997) Nina Lubis menulis "Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942".

Pada tahun 2002 Nina menjadi editor buku Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah, Otobiografi R Iwa Kusuma Sumantri. Iwa seorang menak Sunda asal Ciamis yang pernah menjadi Menteri Pertahanan. Ialah yang mengusulkan agar teks pernyataan yang diucapkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dinamai "Proklamasi", sebelumnya Sukarno menyebutnya sebagai "Maklumat".

Oto, Sanusi dan Gatot
KETIGA tokoh yang dibicarakan di sini tergolong menak. Oto Iskandar di Nata adalah pejuang kemerdekaan yang lahir di Bandung 31 Maret 1897. Ia memimpin Pagoejoeban Pasoendan sejak tahun 1929 sampai 1942. Organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan (mendirikan banyak sekolah), budaya, ekonomi (Bank dan koperasi) dan hukum (lembaga bantuan hukum dan rehabilitasi mantan narapidana). Tahun 1931 sampai 1941 ia anggota Volksraad, yang menjadi embrio dari dewan perwakilan rakyat di kemudian hari.

Tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia) dan duduk pada PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Oto Iskandar di Nata ikut merancang UUD 1945. Dalam sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945, Oto mengusulkan agar Sukarno dipilih sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden. Anggota sidang menyetujui usul tersebut secara aklamasi.

Setelah Indonesia merdeka, Oto diangkat menjadi Menteri Negara yang mengurus masalah keamanan. Dalam kedudukan itulah ia hilang pada akhir tahun 1945. Bisa dikatakan Oto Iskandar di Nata adalah "orang hilang" pertama dalam sejarah Republik Indonesia.

Baru 14 tahun kemudian (1959), terungkap bahwa ia dibunuh seorang polisi bernama Mujitaba. Pembunuhan itu dilakukan di pantai Mauk,Tangerang. Sang pelaku dihukum 15 tahun penjara. Namun di dalam pengadilan tidak terungkap siapa yang menyuruh Mujitaba.

Prijana Abdurrasyid (kini Prof.Dr) yang menjadi jaksa dalam persidangan itu meminta tambahan waktu sidang untuk mengungkap dalang dibalik pembunuhan itu. Tapi usulannya tak terkabul, sehingga hanya pelaku lapangan yang tertangkap dan dihukum, namun aktor intelektualnya tak tersentuh.

Untuk menghormati jasa Oto, Pemerintah Jawa Barat membangun sebuah taman makam pahlawan di Taman Pasir, Lembang. Pada batu nisan tertulis Otoiskandardinata, lahir 31-3-1887, wafat 19-12-1945. Sebenarnya, tak ada jasad Oto, tak ada jenasah Oto Iskandar di Nata di situ. Yang ada hanya sejumput pasir dari pantai Mauk, terbungkus kain putih.

Sanusi Hardjadinata lahir di desa Cinta kabupaten Garut tahun 1914. Ia terlahir dengan nama Samaun. Namun karena namanya sama dengan seorang tokoh komunis, ia mengganti namanya dengan Sanusi. Semasa revolusi ia menjadi Wakil Residen Priangan. Dalam kedudukannya ini aktif dalam kegiatan PNI (Partai Nasional Indonesia). Juli 1951, Sanusi menjadi Gubernur Jawa Barat. Ia dengan serius mempersiapkan KAA (Konferensi Asia Afrika) di Bandung tahun 1955.

Pada 1957, Sanusi merintis pendirian Universitas Negeri Padjadjaran. Pada tahun ini pula Sanusi masuk kabinet Juanda sebagai Menteri Dalam Negeri. Pada masa selanjutnya ia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Mesir tahun 1960-1964. Sepulang dari Kairo, ia diangkat pula menjadi Rektor Unpad.

Pada masa pemerintahan Soeharto, Sanusi dipercaya menjadi Menteri Utama bidang Industri dan Pembangunan (1966) dan kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1967). Setelah pensiun ia menjadi anggota DPA dan pernah pula menjabat Ketua Umum PDI. Bulan Oktober 1980 ia mundur sebagai Ketua Umum PDI lantaran friksi internal partai.

Berhenti dari pengurus partai, Sanusi tak melepaskan diri dari dunia politik. Ia tetap kritis dengan menjadi penandatangan petisi 61 yang dipepori oleh H.R. Dharsono tahun 1981. Tanggal 12 Desember 1995 ia wafat.

Gatot Mangkupraja (1898-1968) adalah tokoh yang dekat dengan Bung Karno. Ketika PNI didirikan tahun 1927 Sukarno menjadi Ketua dan Gatot menjadi sekretaris pembantu Soekarno. Pada 1929 hingga 1931, ia ditangkap dan diadili bersama Bung Karno, di Bandung. Keluar dari penjara, Gatot membuka toko obat dan menjalankan bisnis.

Pada jaman Jepang, Gatot tidak setuju dengan adanya milisi yang dianggapnya malapetaka bagi rakyat. Namun ia menganjurkan berdirinya barisan sukarela yang kemudian dikenal sebagai Peta (Pembela Tanah Air). Bahkan surat permohonan pembentukan barisan itu dibuatnya dengan tinta darah.

Tanggal 22 Oktober 1945 Gatot ditangkap tentara Sekutu ditahan di pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Baru tahun 1947 ia dibebaskan. Setelah itu ia aktif dalam Gerakan Pembela Panca Sila dan tahun 1962 menjadi anggota MPRS. Ia diberhentikan Soeharto sebagai anggota MPRS tahun 1966 karena dianggap pendukung Bung Karno.

Dinamika hubungan Sunda-Jawa
Hubungan budaya dan manusia Sunda-Jawa yang "bermusuh dan berkawan" sudah berlangsung sejak dahulu kala (longue dur�e). Ini cukup terpantul dalam biografi elit Sunda. Oto beristrikan putri asal Jawa dan Sanusi adalah keturunan Jawa Mataram. Surat terakhir yang dikirimkan oleh Oto kepada istrinya ditulis dalam bahasa Sunda. Gatot sejak muda sudah menjadi pengagum dan sekretaris Bung Karno.

Dari seratusan pahlawan nasional sekarang ini mayoritas berasal dari etnis Jawa. Dari etnis Sunda sudah ada beberapa orang seperti Dewi Sartika. Tokoh yang disebut di atas, Oto Iskandar di Nata, sudah diangkat sebagai pahlawan, demikian pula dengan Iwa Kusuma Sumantri yang ditetapkan tahun lalu. Sementara itu Gatot Mangkoepradja dan Sanusi Hardjadinata masih dalam pengusulan.

Studi yang dilakukan Nina Lubis dapat membuka perspektif baru dalam usaha lebih memahami karakteristik elit politik Indonesia khususnya elit Sunda. Bahkan lebih dari itu, dengan dukungan teori dari Norbert Elias, Lucien Febvre dan Marc Bloch misalnya kajian ini dapat diarahkan kepada riset mendalam tentang mentalitas Sunda dalam perspektif longue dur�e.

Dr Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI
[Buku, GATRA, Edisi 42 Beredar Jumat 29 Agustus 2003]

Sabilulungan dalam bahasa sunda artinya gotong royong. Makna sabilulungan yaitu seiya sekata, seayun, selangkah, sepengertian, sepamahama...