Selasa, 07 Oktober 2008

Heritage of Java

Tari Tradisional Jawa

SERATUS tahun silam, negara kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk. Yang ada kelompok- kelompok etnis seperti Jawa, Bali, Minang, dan Melayu yang hidup terpisah-pisah di bawah kekuasaan penjajah Belanda. Sebelum penjajah hadir, penguasa pribumi-raja-raja, terutama Jawa dan Bali- melegitimasikan kekuasaan dan pengaruhnya dengan patronase dan penyelenggara berbagai pertunjukan sebagai bagian dari upacara negara, agama, atau kegiatan rekreasi dan hiburan semata.

Melalui upacara spektakuler seperti garebeg, sekaten, eka dasa rudra, dan galungan para raja menunjukkan kebesarannya. Melalui wacana konsep dewa-raja, ratu gung binathara, gelar kebesaran sayidin panata gama kalifatullah tanah Jawa, rakyat diyakinkan akan kekuasaan dan kebesaran penguasa. Masyarakat Jawa masa lalu terbagi dua kelompok para priyagung dan rakyat biasa (kawula alit). Posisi tak menguntungkan rakyat kecil ini secara tradisi harus diterima dengan patuh tanpa bertanya.

Masuknya penjajah Belanda memperburuk situasi hidup. Raja-raja, penguasa lokal yang didewakan rakyat, tak lagi berkuasa penuh tetapi harus tunduk dan melayani kepentingan penjajah Belanda. Awalnya, para penguasa pribumi secara sporadis melawan Belanda. Mereka berjuang sendiri-sendiri dengan kekuatan ekonomi, militer, teknologi, dan strategi yang tak memadai, karenanya banyak yang tergilas.

Tiga ratus tahun berjuang tanpa hasil, raja-raja Jawa dan Bali kemudian banyak yang pasrah dan memusatkan perhatiannya pada kegiatan gamelan, tari dan wayang, atau mistik. Wacana budaya pada saat ini adalah bertahan hidup. Kebesaran raja-raja Jawa sebenarnya tinggal nama, karena secara politik dan ekonomi mereka sangat bergantung kepada Pemerintah Hindia Belanda. Ada kalanya para raja justru membantu penjajah Belanda mengeksploitasi rakyatnya.

Patronase pertunjukan tari, wayang dan gamelan tetap, walau jumlahnya berkurang. Upacara-upacara besar yang diselenggarakan raja berubah fungsi dari sebuah ritual yang mengandung martabat menjadi hiburan atau klangenan yang lebih mementingkan gebyar wujud daripada esensi isi. Upacara garebeg misalnya, tak lagi diselenggarakan semata-mata untuk keselamatan dan kemakmuran Raja Jawa dan rakyatnya, tetapi juga (dan terutama) untuk Kanjeng Ratu Wilhelmina.

Memasuki abad ke-20, seiring dengan pergerakan nasional, terjadi demokratisasi dan komersialisasi. Seni pertunjukan yang semula dihayati sebagai ekpresi budaya perlahan-lahan berubah menjadi produk atau komoditas. Tontonan keraton yang semula merupakan klangenan kaum ningrat, diproduksi secara populer untuk rakyat biasa. Di Surakarta, Sunan Paku Buwono X membuka Taman Hiburan Sri Wedari dengan pertunjukan wayang orang yang main setiap malam. Masyarakat Surakarta dan sekitarnya (yang masih kuat berorientasi ke budaya istana), menyambut dengan gembira. Melalui pertunjukan wayang orang, mereka bisa mengidentifikasikan dirinya dengan kaum priyayi dan bisa mengagumi kebesaran masa silam. Raja dan rakyat memiliki perasaan yang sama dalam menghadapi penjajah Belanda.

Di Yogyakarta, dengan restu Sultan, perkumpulan tari Krida Beksa Wirama didirikan tahun 1918 dan sejak itu tarian keraton boleh diajarkan kepada rakyat banyak. Upaya meneguhkan legitimasi kekuasaan raja tetap dilakukan dengan patronase pertunjukan gamelan, tari, dan wayang. Selama memerintah (1921-39), Sultan Hamengku Buwono VIII mementaskan 11 lakon wayang orang. Beberapa di antaranya didukung oleh 300-400 seniman dan mengambil waktu 3-4 hari, dari jam 06:00 sampai 23:00.

Di Bali, hadirnya Belanda mendorong seniman tari dan gamelan untuk menciptakan karya-karya sekuler yang setiap saat dapat dimainkan untuk hiburan wisatawan. Gamelan kebyar yang spektakuler dan cemerlang muncul pada awal abad ke-20 dan dengan cepat menyebar dari Bali Utara ke seluruh wilayah Bali. Merespon gamelan kebyar yang tengah digemari, seniman tari desa dari Tabanan, I Mario, menciptakan karya-karya unggul yang sekarang dikenal sebagai tari Kebyar Terompong dan Jago Tarung. Sementara interaksi seniman tari Bali dengan pelukis Jerman Walter Spier, membuahkan tarian Kecak sekular yang kemudian dikenal dengan Monkey Dance.

Hadirnya Pemerintah Hindia Belanda di satu pihak menyengsarakan rakyat, di lain pihak memungkinkan seniman Jawa dan Bali memperkenalkan keseniannya kepada bangsa lain. Rombongan kesenian (gamelan) Jawa pertama ke luar negeri diberangkatkan tahun 1893, ketika pemerintah Hindia Belanda memromosikan hasil perkebunan (teh dan kopi) Jawa ke ekspo kolonial di Chicago, Amerika Serikat. Tak aneh, jika sampai sekarang masyarakat Amerika dan Eropa menyebut kopi dengan istilah “Java”.

Dari Bali, rombongan ke luar negeri bersejarah dikirim ke Exposisi Paris pada tahun 1926, di antaranya menampilkan tari Barong-Rangda yang disaksikan oleh tokoh pembaharu teater Perancis kenamaan Antonin Artaud. Terpukau menyaksikan pertarungan Barong-Rangda, Artaud menulis kesan-kesan dan visinya tentang teater baru dalam buku Theatre and Its Double yang berpengaruh luas dalam perkembangan teater dunia.

Orieantalisme

Pertemuan dengan kelompok tari modern pertama dari Amerika Serikat terjadi tahun 1925 ketika rombongan Ruth St Denis (dengan Martha Graham sebagai salah seorang penari) mengadakan pertunjukan di Jakarta. Bisa dimengerti jika pada pertemuan pertama ini interaksi terjadi berat sebelah, seniman-seniman tradisi kita lebih banyak memasok. Sementara Ruth St Denis mendapat ilham menciptakan beberapa karya Orientalis seperti Batik Vendor, Javanese Dancer, dan Balinese Dancer.

Orientalisme (Edward Said, 1989) adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh masyarakat terpelajar Eropa-Amerika sebagai alat untuk menginterpretasikan wilayah dan budaya non-Barat (Oriental) seperti Mesir, Timur Tengah, Asia Selatan/India, Cina, Jepang, Korea, Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dalam konsep Orientalisme, masyarakat dan budaya Timur dianggap tidak mampu bersuara mewakili dirinya sendiri. Bahasa budaya, adat kebiasaan, dan sejarahnya dianggap misterius dan tidak terorganisir, dan oleh karena itu terserah bagi Barat untuk melengkapi konteks guna menginterpretasi dan mengkodifikasikannya. Selama beratus tahun masa kolonialisme, hermeneutika, cara memandang dan menilai orang dan budaya Timur yang salah tersebut diterapkan.

Sekalipun demikian dari perempat pertama abad ke-20, pantas dicatat nama seorang seniman Jawa-Yogyakarta yang kemudian menetap di negeri Belanda, RM Jodjana, yang menciptakan karya-karya tari modern yang cukup dipuji di forum dunia. “(Jodjana) dapat membuat wajahnya seperti topeng, menyiratkan ketenangan jiwa yang menunjukkan kemampuannya dalam mengontrol segala bentuk emosi” (The Saturday Review). Dari komentar di atas, tampak sekali kualitas gerak dan ekspresi tari Jawa masih kuat mewarnai pertunjukkan RM Jodjana.

Di Jawa dan Bali pertunjukan tari erat terkait dengan gamelan dan wayang. Empat tahun sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1941, di Keraton Yogyakarta lahir tari baru, yaitu beksan golek Menak yang menurut tradisi diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, lebih tepatnya, barangkali, oleh seniman-seniman keraton Yogya di bawah petunjuk dan patronase Sri Sultan. Tampak bahwa orientasi nilai masyarakat Jawa tradisional kepada kelompok sangat kuat. Orientasi ini menuntut kepatuhan dan penghargaan kepada yang lebih tua dan berkuasa. Di dalam penciptaan seni, orientasi kolektif-daerah dan tuntutan perfeksi-teknik lebih menonjol dari pada kreativitas. Yang juga harus diingat bahwa penciptaan genre baru di dalam konteks tradisi, sering dilakukan dengan memanfaatkan elemen-elemen seni pertunjukkan yang sudah ada, seperti tampak dalam wayang golek menak karya Sultan HB IX yang bertolak dari wayang (golek Menak), gamelan, dan tari klasik Jawa gaya Yogyakarta.

Menjelang kemerdekaan, semasa angkatan Pujangga Baru, intelektual dan seniman Indonesia menghadapi dilema, apakah akan mengembangkan budaya Indonesia mengikuti model Barat yang menekankan pentingnya individualisme dan kreativitas, atau model Timur yang memfokus wacana kepada kesadaran kelompok dan perfeksi teknik. Berbeda dengan modernisasi seni sastra, musik dan seni rupa yang mengacu pada model Barat, modernisasi tari dilakukan bertolak dari tradisi lokal. Balet, misalnya, di Indonesia tidak pernah diterima sebagai dasar pengembangan tari secara nasional.

Setelah Indonesia Merdeka

Wacana budaya pada awal kemerdekaan Indonesia adalah menggalang persatuan dan kesatuan bangsa. Kepribadian nasional menjadi isu penting untuk mempersatukan rakyat Indonesia yang berlatar budaya berbeda-beda. Kebudayaan dan kesenian nasional penting tetap konservasi warisan budaya dan identitas daerah juga perlu. Dilema ini selalu menyertai perkembangan tari Indonesia.

Lima tahun setelah proklamasi Kemerdekaan (1950), pemerintah mendirikan Konservatori Karawitan (Kokar yang kemudian menjadi SMKI) yang pertama di Surakarta, Jawa Tengah. Sekolah menengah kesenian serupa menyusul didirikan di Denpasar, Bandung, Padangpanjang, Makassar, dan Surabaya. Sekolah-sekolah ini mengajarkan berbagai bentuk seni tari, musik, pedalangan, dan teater daerah dari wilayah di mana sekolah-sekolah tersebut didirikan. Dari nama yang dipilih, “konservatori”, menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terfokus pada konservasi seni tradisi.

Tahun 1955, rombongan tari modern dari Amerika Serikat (Martha Graham) mengadakan pertunjukan di Jakarta. Dua tahun setelah kunjungan Martha Graham, tiga seniman tari muda Indonesia-Bagong Kussudiardja, Wisnu Wardhana, dan Setiarti Kailola-berangkat ke AS untuk mengikuti festival tari musim panas di Connecticut College dan belajar tari modern dari Martha Graham di New York. Setiarti dari Jakarta, berlatar belakang ballet, tetapi Bagong dan Wisnu keduanya penari klasik Jawa-Yogyakarta yang andal. Dari ketiganya yang bertahan dan terus berkarya adalah Bagong Kussudiardja. Salah satu sebabnya, Bagong piawai memadukan bahan-bahan tradisi dari Jawa, Sunda, Bali, tiga di antara banyak puncak-puncak kesenian daerah. Karya-karya epik Bagong (Diponegoro, Jayakarta, Gadjah Mada) yang memadu elemen-elemen budaya daerah dan bersemangat nasionalis serasi dengan wacana budaya pemerintah yang mencari kesenian nasional yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Karya-karya Bagong saat ini dikenal masyarakat luas sebagai tari Indonesia “kreasi baru”.

Tahun 1961, Departemen Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata (PDPTP) mengambil prakarsa mengadakan pertunjukan kolosal Sendratari Ramayana Prambanan (SRP). Yang menarik, Bagong sempat belajar dengan Martha Graham dan juga seorang pelukis modern, maka karya Bagong lebih memiliki orientasi individual dan kreativitas. Sementara RT Kusumokesowo, mantan abdidalem keraton Surakarta dan pengajar tari klasik Jawa di Kokar Surakarta, dalam berkarya menekankan orientasi kelompok dan lebih menuntut perfeksi teknik sesuai kaidah tradisi.

Berusaha memadukan gaya tari Surakarta, Yogyakarta, dan tari daerah lainnya, format kerja RT Kusumokesowo memang lebih luas. Tetapi cara kerja kreatif dalam Ramayana Prambanan lebih dekat dengan cara kerja tradisi keraton. Sebagai penata tari, RT Kusumokesowo dibantu oleh KRT Wasitodipuro (dari Paku Alaman) dan RL Martopangrawit dari Surakarta di bidang karawitan. Untuk menangani drama atau pengadeganan didampingi oleh RM Ng Bambang Soemodarmoko. Perlu dicatat, pemrakarsa Sendratari Ramayana Prambanan adalah Letjen Djatikusumo yang juga Menteri PDPTP dan salah seorang putra Sunan PB X. Penari, pemain gamelan, penyanyi koor adalah siswa-siswa Kokar (Solo), KONRI (Yogya), serta murid-murid privat para empu tersebut. Penari massal dilatih dari anak-anak muda sekitar Prambanan. Dipentaskan rutin setiap malam purnama selama lima bulan setahun dan enam kali/lakon setiap bulannya, SRP menjadi tempat belajar yang menarik bagi penari-penari muda yang kemudian menjadi tokoh penari, penata tari, dan pemikir tari Indonesia seperti Sardono W Kusumo, Retno Maruti, Sal Murgiyanto, dan Sulistyo S Tirtokusumo.

Genre baru “sendratari” diterima dengan baik oleh masyarakat dan menjadi sajian seni wisata yang populer. Dalam tempo dekat sendratari tersebar ke Jawa Timur (Wilwatikta di Pandaan) dan Denpasar, Bali. Bagong Kussudiardja juga menggarap beberapa karyanya dalam bentuk sendratari atau dramatari tanpa dialog. Orientasi cerita masih sangat kuat, saya kira karena pengaruh wayang orang dan wayang kulit. Demikian pula di Bali, genre sendratari menambah perbendaharaan dramatari daerah yang sudah ada. Seperti di Jawa, sendratari di Bali diciptakan bersama oleh sebuah tim yang terdiri dari pengajar, asisten, dan siswa-siswa Kokar Bali di bawah arahan seniman I Wayan Beratha. Pola koreografinya mirip dengan SRP. Kecuali cerita wayang Ramayana yang sangat populer sebagai sajian wisata ditampilkan pula kisah sejarah dan cerita rakyat. Sendratari Bali diiringi gending dan gamelan Bali, dengan gerak, rias, dan kostum yang dikembangkan dari perbendaharaan tradisi yang ada. Bentuk sendratari begitu populer sehingga menjadi acara utama dalam Pekan Kesenian Bali yang berlangsung setiap tahun. Penciptaannya ditangani secara khusus oleh tim artistik gabungan dari Kokar (SMKI) dan ASTI (STSI) Bali. Hasilnya dipentaskan di panggung Werdhi Budaya, Taman Budaya, Denpasar, Bali.

Tahun 1963, pemerintah membuka perguruan tinggi seni tari yang pertama yaitu Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) di Yogyakarta yang kemudian disusul dengan sekolah tinggi serupa di Denpasar, Bandung, Surakarta, Padangpanjang, dan Surabaya. Pada waktu yang bersamaan beberapa pengajar dari sekolah-sekolah tinggi tersebut dikirim belajar (dan mengajar) ke luar negeri sebagian besar ke Amerika Serikat untuk memperluas wawasan dan pendidikan. Akibatnya, kecuali melestarikan berbagai bentuk seni pertunjukan tradisi, di perguruan tinggi seni penulisan, penelitian, dan penciptaan karya baru juga dipacu. Bahan-bahan seni tradisi yang ada ditafsirkan kembali secara kreatif.

Revitalisasi tari

Di Surakarta pada paruh kedua dekade 1960-an pemerintah Orde Baru mendirikan Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) yang bertugas menggali dan merevitalisasi berbagai bentuk seni tradisi: repertoar tari klasik, gending-gending ageng, naskah-naskah lakon, pengetahuan dan praktik pedalangan, dsb. Untuk kurun waktu yang cukup lama (1968-1983), STSI dan PKJT dipimpin oleh Drs Sedyono (Gendon) Humardhani, yang memiliki pengalaman dan wawasan kesenian yang luas. Maka yang terjadi kemudian bukan saja penggalian dan pelestarian berbagai bentuk seni pertunjukan lama, tetapi juga revitalisasi seni tradisi dan penciptaan karya-karya baru dengan bahan tradisi tetapi berorientasi masa kini. Namun hasil karya lulusan STSI baru minimal 10 tahun kemudian tampak.

Setelah Bagong, dua tokoh tari yang muncul pada awal pemerintahan Orde Baru adalah Sardono W Kusumo dan Retno Maruti, keduanya murid RT Kusumokesowo dan penari Ramayana Prambanan. Bersama Bagong, tahun 1964 keduanya terpilih sebagai penari dalam misi kesenian pemerintah ke New York World Fair. Selama di New York, Sardono sempat belajar dengan penata tari Jean Erdmand. Kembali dari New York setahun kemudian, Sardono dan Maruti menetap di Jakarta dan aktif berkarya di Pusat Kesenian Jakarta “Taman Ismail Marzuki” (TIM) yang dibuka Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin tahun 1968. Sebuah tonggak penting bagi perkembangan seni tari, wayang, dan gamelan terjadi di Jakarta.

Di TIM Sardono mengadakan sebuah workshop yang diikuti oleh penari-penari andal dari berbagai daerah yang tinggal di Jakarta: Retno Maruti, S. Kardjono, Sentot Sudiharto (Jawa), I Wayan Diya (Bali), Huriah Adam (Minangkabau), Yulianti Parani, dan Farida Oetoyo (ballet). Dalam workshop ini, Sardono tidak mengajarkan teknik gerak melainkan membiarkan setiap penari memakai teknik gerak tari yang dikuasainya. Sardono melatih sensitivitas dan mengeksplorasi gerak secara kreatif melalui improvisasi. Sardono ingin memodernisasikan tari tradisi dengan menginterpretasikannya kembali secara kreatif. Metoda kreatif inilah yang kemudian dilanjutkan Sardono dalam proses penciptaannya bersama penari-penari Jawa yang menghasilkan Samgita I-XII, dan kemudian dilaksanakan di Bali (Cak Rina dan Dongeng dari Dirah), dan pedalaman Kalimantan Timur (Hutan Plastik, Hutan yang Merintih) dan karya-karya kontemporer lainnya.

Kecuali itu, atas prakarsa ketua DKJ, D Djajakusuma, anggota wayang orang Panca Murti (Jakarta) yang bubar, ditampung di TIM dalam wayang orang Jaya Budaya yang dimotori antara lain oleh Sardono W Kusumo, S Kardjono, dan Retno Maruti. Dan ketika para pemain penari Panca Murti bergabung dalam WO Bharata, Retno Maruti mendirikan kelompok tarinya Padneswara. Sementara Maruti setia kepada bentuk dan nilai keindahan tradisi Jawa, Sardono menjelajah berbagai budaya daerah dan menciptakannya kembali dengan interpretasi pribadi. Selesai mengikuti workshop, para peserta workshop kembali menekuni dan merevitalisasi tradisinya masing-masing, tetapi dengan sikap dan semangat baru.

Tahun 1978-87 Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan Festival Penata Tari Muda yang bukan saja diikuti penata tari dari Jawa (Ben Suharto) dan Bali (I Wayan Dibia) tetapi juga dari Sumatera, Sulawesi dan daerah lain seperti Gusmiati Suid, Tom Ibnu, Deddy Luthan, Wiwiek Sipala, Nurdin Daud, dan Marzuki Hasan. Sebuah tonggak penting yang lain.

Dua forum tari penting dalam dekade terakhir abad ke-20 adalah Indonesian Dance Festival (IDF) yang diselenggarakan bersama oleh Institut Kesenian Jakarta, Yayasan Kesenian Jakarta, dan Dewan Kesenian Jakarta, IDF telah memunculkan penata-penata tari muda seperti Boi G. Sakti, Sukarji Sriman, Mugiyono, Ketut Rina, M Miroto, dan Eko Supriyanto. Kedua, forum Art Summit Indonesia (1995 dan 1998) yang bukan hanya menampilkan karya-karya tari kontemporer Indonesia (Sardono W Kusumo, Gusmiati Suid, Bagong Kussudiardja) tetapi juga karya musik mutakhir yang bertolak dari gamelan (R Supanggah, Suka Hardjana) yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Sabilulungan dalam bahasa sunda artinya gotong royong. Makna sabilulungan yaitu seiya sekata, seayun, selangkah, sepengertian, sepamahama...