Kamis, 09 Oktober 2008

Sri Baduga

Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).

Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:

“Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira“.

Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Masa muda

Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.

Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):

“Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.

Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.

Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”.

Perang Bubat

Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya (”silih”nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).

Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah “seuweu” Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus “langsung” dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).

Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai “silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). “Silih” dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.

Keterangan lain tentang perang bubat

Keterangan tetang bubat yang dimuat harian Suara Merdeka adalah sebagai berikut:

“Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda itu terjadi di desa Bubat. Perang ini dipicu oleh ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat itu sebenarnya antara Kerajaan Sunda dan Majapahit sedang dibangun ikatan persaudaraan, yaitu dengan menjodohkan Dyah Pitaloka dengan Maharaja Hayamwuruk. Nah Rombongan Kerajaan Sunda ini di gempur oleh pasukan Mahapatih Gajah Mada yang menyebabkan semua pasukan Kerajaan Sunda yang ikut rombongan punah. Akibat perang Bubat inipula, maka hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayamwuruk menjadi renggang“.

Ada sebuah pustaka yang bisa dijadikan rujukan, Guguritan Sunda, yang Mengisahkan gejolak sosial dan pecahnya perang di Desa Bubat antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih Gajah Mada secara misterius. Alih bahasa oleh I Wayan Sutedja (sepertinya pustaka aslinya ditulis dalam Bahasa Bali, 1995. disimpan di Universitas Ohio.

Kebijakan Sri Baduga dan Kehidupan Sosial

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):

Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.

Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.

Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".

Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.

"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.

Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).

Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.

Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
komodo_tea
09-12-2008, 05:00 PM
Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.

Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.

Gelar "Sripaduka" ( Sri Baduga ) pada zaman Pajajaran Nagara disandang oleh 3 tokoh : 1. Wastukancana / Rd. Pitara Wangisuta / SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATA PURANA RATU HAJI DI PAKUAN PAJAJARAN SANG RATU KARANTEN ( KARA ANTEN ) RAKEYAN LAYARAN WANGI /SUNAN RUMENGGONG (RAMA HYANG AGUNG ) adik dari Dyah Pitaloka Citraresmi anak dari Rd. Kalagemet /Jayanagara II / Raja Sundayana di Galuh /Ratu Galuh di Panjalu / Maharaja Prabu Wangi dan merangkap Wali Nagari Hujung Galuh ( Majapahit-Pajajaran Wetan / Jawa Pawatan / Galuh - menjadi wali sang kakak Linggabuana/Jayanagara I/Maharaja Prabu Diwastu ayah dari Hayam Wuruk /Hyang Warok /Rd. Inu Kertapati /Susuk Tunggal /Prabumulih /Prabu Seda Keling /Sang Haliwungan /Pangeran Boros Ngora/Ra- Hyang Kancana )gugur pada "PERANG BUBAT" dalam pertempuran yang tidak "FAIR" atas "REKAYASA" Gajah Mada / Guan Eng Cu dan Nangganan /Ki Ageng Muntalarasa /Syekh BEN TONG!!!!,dengan cara dibokong dan di keroyok !!!

2. Mundinglayadikusumah / Rd. Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah/SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU GANTANGAN SANG SRI JAYA DEWATA /KEBO KENONGO /ARYA KUMETIR /RD.KUMETIR /KI AGENG PAMANAH RASA / SUNAN PAGULINGAN anak dari LINGGA HYANG / LINGGA WESI / HYANG BUNI SWARA /SRI SANGGRAMAWIJAYA TUGGAWARMAN /MAHAPATI ANAPAKEN ( MENAK PAKUAN )/ RD. H. PURWA ANDAYANINGRAT / SUNAN GIRI /HYANG TWAH / BATARA GURU NISKALAWASTU DI JAMPANG

3. MUNDINGWANGI/ SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATAPRANA SANG PRABU GURU RATU DEWATA anak dari Wastukancana.

Peristiwa-peristiwa di masa pemerintahannya

Carita Parahiyangan

Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :

"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".

(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).

Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.

Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.

Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]

Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.

Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.

Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).

Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran].

Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.

Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].

Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :

1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).

Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.

Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso d'Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau Samudra Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.

Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya -- Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).

Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).

Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.

Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.


Anu Lain

Siapa sebenarnya Prabu Siliwangi yang hingga sekarang oleh sebagian orang Sunda dianggap sebagai raja terbesar (dan juga terakhir) kerajaan Pajajaran itu?

Jika kita merujuk naskah Wangsakerta, dapat diketahui bahwa dalam naskah itu tidak ada seorang pun raja Sunda (termasuk Galuh dan Pajajaran) yang bernama PS (Prabu Siliwangi).. Naskah itu menyatakan bahwa Siliwangi adalah nama julukan yang diberikan kepada siapa pun raja yang berkuasa di Sunda Raya itu setelah raja yang gugur di Bubat.

Menurut naskah itu, raja yang gugur di Bubat dalam tahun 1357 bernama Linggabhuwana, sedangkan dalam berbagai sumber naskah lain dikenal dengan nama Prebu Maharaja (bukan Sri Baduga Maharaja!). Karena ia gugur dalam membela dan memertahankan martabat bangsa (Sunda), rakyat menjulukinya sebagai Prabu Wangi, artinya yang namanya harum karena keberaniannya memertahankan martabat itu. Se-telah itu, maka raja Sunda berikutnya, selalu dijuluki sebagai Prabu Siliwangi, yaitu raja yang menggantikan Prabu Wangi itu.

Jika berita naskah itu dapat dipercaya, atau dapat digunakan sekruang-kurang-nya untuk melacak siapa PS, berarti bahwa PS tidak hanya seorang. Berdasarkan berita itu yang menyatakan bahwa PS adalah julukan para pengganti Prabu Wangi, berarti sebenarnya ada delapan orang PS. Jika diurutkan, mereka adalah Niskala Wastukancana (1371-1475), Dewa Niskala (1475-1482), Sri Baduga Maharaja (1482-1521), Surawisesa (1521-1535), Ratu Dewatabuwana (1535-1543), Ratu Sakti (1543-1551), Nilakendra (1551-1567), dan Ragamulya Suryakancana (1567-1579).

Masalah akan muncul ketika umumnya orang Sunda menganggap bahwa PS adalah raja terbesar sekaligus terakhir kerajaan Pajajaran itu. Dari berbagai sumber, terutama juga sumber asing mengingat pada masa akhir kerajaan Pajajaran itu sudah muncul orang asing di Nusantara (terutama di Malaka), raja terbesar itu bukan raja terakhir.

Jika melihat lamanya berkuasa, jelas sekali bahwa seharusnya yang dianggap sebagai raja terbesar kerajaan Sunda adalah Niskala Wastukancana. Selain masa pe-merintahannya yang “cukup fantastis” selama 104 tahun (1372-1475), naskah Carita Parahyangan menyatakan,

“Ada seorang putra Prabu Wangi (Prebu Maharaja) bernama Prabu Niskala Wastukancana yang mendiang di Nusa Larang, di Bukit Wanakusuma. Ia memerintah selama 104 tahun karena sempurna mengamalkan agama, maka tercapailah keadaan yang serba sejahtera.

Tindakannya seperti orang dewasa walaupun usianya masih muda karena raja tunduk (kepada tuntunan) satmata (Bunisora), mengikuti (petunjuk) pengasuhnya, yaitu Hyang Bunisora yang mendiang di Geger Omas alias Batara Guru di Jampang. (Tokoh) itulah yang diikuti oleh penguasa tanahair.

Batara Guru di Jampang itulah pembuat makuta sanghyang pake ketika yang berhak (atas tahta=Wastukancana) dinobatkan menjadi raja. (Makuta itu) buatan (hasil) bertapa bakti kepada dewata. Yang ditiru pun adalah makuta Sanghyang Indra. Itulah (keadaan) makuta tersebut.

Demikianlah, semoga ada yang berhasrat meniru peri laku yang mendiang ke Nusa Larang, mau menuruti satmata. Tercapailah keadaan serba sejahtera karena (raja) mengikuti pengasuhnya.

Dengan demikian, sang rama (sesepuh desa) dapat leluasa mengemong (mem-bimbing) rakyat, sang resi dapat leluasa melakukan tugas sebagai pendeta meng-amalkan adat-istiadat warisan leluhur. Sang disri dapat leluasa mengatur pembagian wilayah, mengamalkan hukum Manu, membagikan hutan dan daerah sekitarnya. Yang kecil maupun yang besar tidak ada yang menggugat. Karena itulah sang tarahan dapat leluasa mengarungi perairan mengamalkan peraturan raja. Air, cahaya, angin, angkasa, sang bu ‘eter’ merasa betah berada dalam naungan sang pelindung dunia. (Wastukancana) menerapkan undang-undang kerajaan, menetap (?) di sanghyang linggawesi (nama ajaran atau Astana Gede?). Ia melakukan tapa dan puja tiada henti-hentinya.

Sang Wiku (Wastukancana) dengan leluasa melaksanakan undang-undang dewa, mengamalkan sanghyang watang ageung (ajaran yang disusun oleh Sang Kandiawan, ayahanda Wretikandayun). Dengan tenang ia melaksanakan manuraja-sunya (bertapa setelah turun tahta)”.

Dengan demikian, Niskala Wastukancana adalah Prabu Siliwangi I, sekaligus raja terbesar. Setelah meninggal, ia digantikan oleh kedua orang anaknya: Dewa Nis-kala berkuasa di Galuh yang beribukotakan Kawali, dan Prabu Susuktunggal berkuasa di Sunda (kemudian Pajajaran). Ternyata kedua penguasa itu tidak seiring sehaluan, bahkan Susuktunggal akhirnya mengancam akan memutuskaan segala hubungan dengan Galuh. Melalui “musyawarah” para pemuka dan petinggi kedua kerajaan, di-tempuh jalan tengah: Kedua raja itu turun tahta, lalu digantikan oleh Jayadewata yang anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal. Bersamaan dengan penobatan-nya itulah, nama kerajaan lebih dikenal sebagai kerajaan Pajajaran dengan ibu kota di Pakwan Pajajaran.

Anggapan bahwa PS (satu-satunya) adalah SBM atau Jayadewata, sebenarnya juga tidak terlalu salah, jika nama julukan itu dikaitkan dengan negara yang bernama Pajajaran. Artinya, SBM memang merupakan raja yang pertama berkuasa di Pajajaran (1482-1521) setelah sebelumnya negara itu hampir selalu disebut Sunda. Hanya saja, jika dianggap bahwa SBM adalah satu-satunya raja berjuluk PS, kemungkinan akan “bentrok” dengan tradisi yang mengatakan bahwa ia raja terbesar sekaligus ter-akhir itu. Dalam hampir semua carita pantun dikatakan upaya peluasan wilayah yang dilakukan oleh para anak PS. Jika catatan sejarah menyebutkan bahwa sejak akhir abad ke-15 itu Islam sudah mulai sedikit demi sedikit menyebar ke berbagai daerah yang semula mengakui kedaulatan Sunda (Pajajaran), apakah masih mungkin SBM mengirimkan anak-anaknya untuk meluaskan wilayah? Jika ia masih memunyai ke-sempatan itu, mengapa ia harus melakukan permitraan dengan Portugis yang sejak 1511 menguasai Malaka? Bukankah salah satu butir permitraan itu menyatakan bahwa Portugis akan membantu Sunda jika Sunda diserang (oleh pasukan Islam, tentunya!)? Pertanyaan-pertanyaan itu setidak-tidaknya menggiring kita untuk me-renungkan, apakah upaya peluasan itu masih mungkin dilakukan oleh seseorang yang justru tengah terancam oleh kekuatan lain. Sementara itu, anggapan bahwa SBM adalah raja terakhir, tentu saja sangat tidak benar. Bukankah Pajajaran baru runtuh tahun 1579, sementara SBM berhenti menjadi raja karena meninggal dalam tahun 1521?

Namun, bahwa SBM berjasa besar terhadap negaranya, Pajajaran, memang sesuatu yang tidak dapat disangkal. Prasasti Batutulis rupanya sengaja dibuat oleh Surawisesa dalam tahun 1533 untuk memeringati tahun kematian yang ke-12 SBM melalui sebuah upaca penyucian yang disebut sradha. Prasasti itu sekurang-kurang-nya menyebutkan lima karya SBM, yaitu membuat (1) parit (pertahanan) di Pakuan, (2) tanda peringatan berupa gunung-gunungan (bukit buatan?), (3) mengeraskan jalan dengan batu, (4) hutan (samida), dan (5) telaga Rena Mahawijaya. Selain itu, prasasti Kebantenan menyebutkan karyanya yang lain, yaitu menetapkan batas (6) tanah kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya, (7) pengukuhan status tanah ka-buyutan di Sunda Sembawa, dan (8) pembebasan pajak dalam hubungan pengelolaan kabuyutan dii Gunung Samaya, Jayagiri, dan Sunda Sembawa. Di samping itu ia juga (9) mengukuhkan batas dayeuh Jayagiri dan Sunda Sembawa yang sudah diputuskan oleh kakeknya, Niskala Wastukancana.

Dalam pada itu, naskah Nagakertabhumi dari Pangeran Wangsakerta dkk. memberikan gambaran mengenai karya SBM selain yang telah dipaparkan itu. Karya yang lain itu adalah (10) membuat kabinihajian (keputren), kasatrian (asrama pra-jurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), dan pamingtonan (tempat per-tunjukan), (11) memerkuat angkatan perang, (12) mengatur pemungutan upeti dari para raja bawahan, dan (13) menyusun undang-undang kerajaan.

Berdasarkan apa yang dilakukannya itu, wajar jika SBM dianggap sebagai raja yang sangat memerhatikan kehidupan beragama, menjungjung dan menghormati le-luhurnya, memerhatikan kehidupan rakyat, dan mengutamakan sarana lalulintas. Walaupun, tentu saja, sesuai dengan jamannya, semua yang dikerjakan itu terutama yang baik langsung maupun tidak langsung ada sangkut hubungannya dengan ke-dudukannya sebagai raja. Dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh para peng-gantinya sejak Surawisesa (1521-1535) hingga Suryakancana (1567-1579), sangat wajar juga jika SBM dianggap sebagai sebagai raja yang terbesar. Keterbesaran itu meliputi masa pemreintahannya yang 39 tahun (1482-1521), jumlah karyanya yang melingga atau monumental, dan keteringatan masyarakat Sunda terhadap dirinya se-bagaimana tercermin dalam berbagai carita pantun dan tradisi lisan lainnya itu. Dengan demikian, sangat wajar juga jika kemudian masyarakat Sunda beranggapan bahwa SBM atau PS tidak meninggal, melainkan ngahiang ‘menjadi hiang’. Dalam kaitan itu, juga sangat wajar jika petilasan SBM terdapat di hampir seluruh Tatar Sunda, dan semuanya mengacu kepada tempat keramat atau kabuyutan. Menurut kepercayaan masyarakat itu, di berbagai tempat itulah PS dalam kesempatan tertentu dapat dihubungi. Situs Gunung Padang di daerah Cianjur, misalnya, diakui sebagai tempat yang pernah dijadikan persemadian oleh PS; tempat itu kini menjadi salah satu tempat favorit untuk para calon sinden dan dalang agar cita-cita menjadi sinden dan dalang itu tercapai.

Tidak ada komentar:

Sabilulungan dalam bahasa sunda artinya gotong royong. Makna sabilulungan yaitu seiya sekata, seayun, selangkah, sepengertian, sepamahama...