Selasa, 21 September 2010

Asal Usul Sekitar Daerah Majalengka

28. ASAL MUSALNA DESA PADAREK

Desa padarek dalam cerita lamatatkala syam hidayah tullah menyebabkan agam islam didaerah updeling kersina cirebon kira-kira abad ke-18, beliau sangat banyak pengikutnya yang setia dalam rangka menyebar luaskan agama islam, menaklukan agama animesme, memberantas kemusrikan dan kemaksiatan, akibat dari itu dipelosok pedusunan, pedesaan banyak terjadi bentrokan fisik satu sama lain saling mempartahankan keyakinan dan paham masing-masing.

Di saat itu keadaan desa padarek sebagian besar tanahnya masih padang alang-alang, semak belukar. Kita ungkap para pengikut syarip hidayat tuloh sebagai pejuang penyebar agama islam, seperti eyang djugat wahana jaya karta, ibu ena, nyi rastapa,dan lain-lain. Sedang berjuang melawan musuh . Eyang djagat wahana meninggal, tertimpa batu handring yang di lepas musuh dari blok batu numpang. Batu handring itu mental pula kira-kira 300m, ke arah timur yang ada di pinggir kali Cisampara setelah bertahun-tahun batu itu di selimuti dan di tembus akar-akaran batang menjalar / istilah bahasa sunda areuy-areuyan maka di sebutlah julukan BATU KARUT. Bekas jatuh menimpa Djagat wahana jadi sebuah kolam sipatahunan sedangibu Ena, Nyi Rastapa yang memiliki selendang lekcan mempunyai kekuatan gaib meninggal di sebelah timur padarek.

Beberapa abad yang lalu sebuah peristiwa tersebut tak jauh dari batu karut dan kolam sipatahunan kurang lebih 400m ke arah utara, terdapat sebuah kampung tarikolot. Kian lama penghuninya kian bertambah, maka dusun itu dijadikan desa. Yang di pimpin oleh Demang Aslia setelah ia memerintah 11 tahun lamanya ia di ganti oleh Demang Arsaim. Keadaan ekonomi rakyat rusak atap bangunan pun masih alang-alang, sirap bamboo, sedang pakaian masih compang-camping maka sering terjadi pencurian terutama hewan besar, kerbau, sapi. Oleh karenanya kantor desa harus pindah ke blok babakan, karena sumber ekonomi masih sempit maka demang mengajak seluruh warga desa untuk membuka memperluas lahan pertanian, warga manyambut dengan gembira seraya mengucapkan PADAREK dari itulah nama desa PADAREK WALKHUALAM.

Sedikit demi sedikit lahan pertanian mewujud walaupun belum ada irigasi, seperti keadaan sekarang ini, namun telah bisa di manfaatkan dan hasilnya bisa di nikmati. Demang Arsaim memangku jabatan selama 9 tahun, ia sudah tua bangka, dan akhir tahun 1903 ia meninggal dunia. Kedemangan kini di jabat oleh Santana Wangsa, setelah ia memerintah beberapa tahun di desa itu kantor desa harus pindah lagi ke blok batu karut, yaitu yang lokasinya kini tempati. Wilayahnya meliputi : 1) Blok Desa 2) Tari Kolot 3) Cibulakan 4) Mananti 5) Pasirhanja 6) Suka Wangi 7) Cigobang meliputi Dayeuh panjang, Cipasung, Cicariang 8) Cisalak, dengan batas-batasnya. Sbb :
Utara : Desa Bantarujeg
Timur : Desa Kalapa Dua
Selatan : Desa Cibulan & Desa Lemah Putih
Barat : Desa Sada Wangi & Desa Kepuh
Desa padarek setelah negara merdeka :
Setelah negara merdeka timbulah kekacauan yang ingin mendirikan negara islam Indonesisa yaitu gerombolan D.I / TII yang dipimpin oleh S.M. Karto Suwiryo, Desa Padarek pun jadi sasaran penggarongan, pembakaran rumah, pembunuhan, penculikan, pada tanggal 11 Agustus 1959 padarek pun sebagai ibu kota di bakar hangus pemerintah desa tidak stabil, pendidikan kocar-kacir, di waktu malam tidur pundi rungkun-rungkun bamboo dsb.

Tahun 1981 desa padarek di mekarkan jadi 3 desa yaitu : 1) Desa Padarek 2) Desa Sukajadi 3) Desa Marga Jaya saat itu kades sedang di pangku oleh Radi LK.Batas-batas Desa kini berubah sebagai berikut :
Utara : Desa Sukajadi
Timur : Desa Kalapa Dua & Desa Sinar Galih
Selatan : Desa Marga Jaya
Barat : Desa Sukajadi
Meliputi 1) Blok desa 2) Tarikolot 3) Cigobang termasuk Dayeuh Panjang, Cipining Cicariang.
Susunan kepala desa lama dan setelah di mekarkan : 1) Demang Aslia 2) Demang Arsoim 3) Santana Wangsa & 4) Wangsa Atmaja 5) By. Bima 6) Lampu 7) Endo Hamola 8) Karta Winata pjs 9) Danuri 10)Al Hatob pjs 11) M. Hatob 12) M. Arkasim 13) Ojo Sujana 14) Radi L.K. 15) Dadang Haerudin pjs 16) Dadang Haerudin 17) Dadang Haerudin 18) Hapip R. K. pjs 19) Dadang Haerudin

Keterangan :
1) Luas wilayah : 436.005 Ha. Ketinggian tanah 489m dari permukaan laut, terdiri dari perbukitan, mata pencaharian penduduk, petani buruh tani, dagang, wiraswasta, dll.
2) Bekas batu bandring menimpa jadi kolam sipatahunan
3) Batu bandring kini di sebut batu karut masih wujud cerita ini di himpun dari sesepuh desa padarek lama, oleh Ginon Akroman sejak tahun 1986M.

29. ASAL MUASALNA DESA PANONGAN

Pada tahun 1769 di dataran rendah sebelah Timur Sungai Cimanuk ada sebuah penduduk/dusun yang namanya dusun “Siwalan” Sebab disebut dusun Siwalan karena ditempat tersebut banyak tumbuh pohon siwalan. Di dusun itu dihuni oleh satu keluarga namanya aki dan Onclong kopik beserta pengikutnya yang namanya aki dan nini terbin.

Keluarga tersebut sehari-harinya sebagai petani. Waktu itu untuk sumber air minum, mandidan menyiram. Mereka membuat sumur dan menggali, berkat kesaktiannya keluarlah air yang banyak dan sumur tersebut diberi nama su ur sugara yang sampai kini dianggap keramat.

Lama kelamaan penduduk di dusun Siwalan bertambah banyak, pada tahun 1825 datanglah 2 utusan dari kesultanan Cirebon untuk memimpin pendukuhan tersebut. Mereka dalah Kibuyut Dokom dan kibuyut Ruda, sebab wilayah itu masih wilayah Cirebon, untuk tugas ke-2 orang tersebut kibuyut Ruda menjadi kuwu dan kibuyut Dokomnya lebe.
Namun kenyataannya kenyataanya Ki Ruda menjadi kuwu hanya berjalan kurang lebih 1 tahun, sebab perasaan dirinya belum mampu, begitu pula ki Dokom menjadi lebe kurang mampu, sebab ki Ruda keahliannya di kalebean atau kesra sedangkan ki Dokom di pemerintahan di oper alih ke ki Dokom menjadi kuwu dan ki Ruda menjadi lebe.
Berkat kepemimpinan kedua orang tersebut ngaheuyeuk dayeuh ngolah dusun dengan arif dan bijaksana keadaan subur makmur gemah ripah repeh rapih.
Sepuluh tahun kemudian kepemimpinan ki Dokom telah berlalu dan kibuyut Dokom mengundurkan diri lalu diganti oleh putra daerah asli dusun Siwalan, yaitu kibuyut Bangi. Begitu pula berkat kepemimpinan ki Bangi dalam keadaan subur gemah rapih repeh rapih.

Namun kira-kira pada tahun 1839-an ada sebuah tragedy perang yang katanya pada waktu itu disebut perang “babad bantar jati”pada wakti itu selaku senopan perang / pemanggil juritnya, yaitu ki Rangin/ ki Bagus Rangin perang dengan tentara Belanda yang dating dari arah Sumedang, yang pada waktu itu sebagai bupati kepala daerah Sumedang atau Pangeran yang terkenal arif dan bijaksana, walaupun dirinya orang Belanda tetapi sangat menyayangi rakyat kecil.

Namun pada perang tersebut para penduduk dusun Siwalan tidak ikut campur hanya mengintai saja. Orang Sunda bilang “Noong”. Melihat kejadian tersebut seusai perang para sesepuh desa Siwalan mengadakan rempungan / musyawarah untuk mengganti nama dusun Siwalan menjadi desa Panongan atau “Panoongan”, sebab pada perang tersebut diatas hanya mengintip atau noong dan hingga sekarang namanya desa Panongan.
Kira-kira pada tahun 1857 katanya kedatangan pula ke desa Panongan tersebut seorang pejuang yang bernama mbah buyut Guru Kusuma asal dari Jawa Timur, di salah seorang pejuang agama Islam dan pejuang Negara yang ikut perang dengan Pangeran Diponegoro. Dia datang ke desa Panongzn dengan cara menyamar dengan memakai karung kadut, sebab dia sedang dikejar-kejar oleh musuh. Lalu datangnya ke desa Panongan dirinya merasa aman dan dia menginap di keluarga kuwu Bangi.

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun mbah buyut Guru Kusuma di desa Panongan itu medirikan perguruan di bidang baca tulis Al-Qur’an atau dalam hal bela diri. Untuk menyebarluaskan ajaran agama Islam bersama sesepu dan penduduk desa Panongan.

Lalu oleh para penduduk mbah buyut Guru Kusuma diberi julukan buyut kadut, perguruan itu tempatnya di pinggir desa atau dayeuh. Dengan adanya perguruan itu yang dipimpin beliau Desa Panongan cukup meningkat di dalam ilmu keagamaan / hal bela diri. Jadi dengan adanya beliau membawa berkah untuk masyarakat Desa panongan da sekitarnya, buyut Jaka pun sampai sampai akhir hayatnya didesa panongan dan dimakamkan di blok pasir begitu pula kuwu Bangi.istirinya dimakamkan dberdampingan dengan kibuyut Jaka Kusuma sampai sekarang masih ada makamnyadan dianggap keramat oleh para penduduk setenpat dan sekitarnya juga oleh para ulamahingga kab. Majalengka dan sekitarnya. Dan begitu pula ki Ruda dan ki Buyut Dokom sampai akhir hayatnya di desa Panongan dan dimakamkan di sebelah timur solokan Cibeet, ki buyut Dokom di sebelah Barat makan ki Buyut Ruda.

Demikian sekilas pandang asal-usul Desa Panongan Kec. Jatitujuh Kab. Majalengka. Apabila dalam tulisan ini ada yang tidak pas dengan kenyataan mohon maaf sebesar-besarnya, tulisan ini didapat dari arsip desa yang ada dan disusun kembali oleh raksa bumi. Semoga ini menjadi gambaran bagi anak-cucu kita di kemudian hari.

30. ASAL MUASALNA DESA PANYINGKIRAN

Dahulu kala kira-kira pada pertengahan abad 17. Ketika di Cirebon sudah menyebar agama Islam, begitu juga di daerah Jawa Barat lainnya. Ketika itu ada seseorang dari kerajaan Mataram yang bernama EMBAH GAMBIR yang diutus oleh RATU ANOM (seorang raja), untuk mencari seorang calon permaisuri yang cantik. Karena RATU ANOM belum mempunyai permaisuri.

Selama perjalannanya EMBAH GAMBIR didampingi oleh beberapa menteri dan para pengawal. Mereka berjalan kearah Barat dan sedikit ke Selatan. Namun setelah berhari-hari berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan lamanya, mereka mencari seorang wanita cantik, tapi tak kunjung mereka temukan. Sedangkan perjanjiannya mereka harus menemukan wanita cantik tersebut selama 1 minggu. Akhirnya mereka menyerah dan berhenti di sebuah tempat yang pada saat itu masih berupa hutan belantara.
Karena pembekalan sudah habis dan mereka tidak mungkin bepergian lagi. Akhirnyamenetaplah mereka di sana dengan harapan mereka dapat tinggal di sana seraya seraya menunggu dan mencari wanita cantik di tempat-tempat sekelilingnya.
Untuk makan, minum, mandi dan sebagainya digalilah sebuah sumur yang di atasnya ditutup oleh belahan kayu (Padung). Oleh karena itu, daerah tersebut diberi nama CIPADUNG dan sampai saat ini sumur itu masih ada.

Dibagian Selatan dibuatlah sebuah tempat untuk meliht (Tenjo, Sunda) dan meninjau tempat-tempat sekelilingnya.Hingga daerah tersebut diberi nama PANENJOAN. Di waktu sore hingga maghrib mereka berpindah ke tempat yang lebih tinggiuntuk melihat lembayung (Layung, Sunda). Hingga sekarang daerah tersebut dinamakan PANGLAYUNGAN.
Akhirnya dijadikanlah semua daerah tersebut tempat untuk mereka menetap selama-lamanya, untuk menghindar (Nyingkir) dari RATU ANOM dan kerajaan Mataramnya. Hal ini terjadi karena EMBAH GAMBIR tidak berhasil mencari calon permaisuri untuk RATU ANOM, karena kegagalannya itu mereka akan mendapat hukuman. Hingga daerah itu dijadikan sebuah desa yang bernama “PANYINGKIRIAN” yang berasal dari kata Nyingkir (menghindar).

Daerah itu dijadikan oleh EMBAH GAMBIR menjadi sebuah kerajaan (keration) atau kesatuan dan EMBAH GAMBIR sendiri yang menjad rajanya. Setelah beberapa lama EMBAH GAMBIR menjalankan pemerintahan.
Akhirnya wafatlah ia disana tempat tersebut kemudian dinamakan KEDATUAN berasal dari KERATUAN.

EMBAH GAMBIR semasa hidupnya putus asa untuk menemukan wanita cantik dan putus asa untuk kembali ke Mataram maka makam EMBAH GAMBIR disebut juga EMBAH PONDOK.
Demikian untuk tutur cerita tentang Riwayat PANYIGKIRAN. Kebenarannya Wallahu A’lam

31. ASAL USUL DESA PARAKAN

Parakan adalah sesuatu desa yang di mana dahulunya bernama Gunung Sari Trajutisna itu ada sebuah pemakaman yang disebut Buyut Trajutisna dan pemakaman itu sebenarnya bukanlah wujudnya manusia, yang dikubur berupa pekakas seperti pedang, keris, dan alat perkakas lainnya.

Pada zaman itu perkakas tersebut dianggapnya sebagai barang pekakas besar oleh masyarakat Parakan. Barang pusaka itu dianggapnya keramat, menurut orang tua, dahulu perkakas itu tidak boleh digali atau dirusak oleh siapa saja. Tetapi kepercayaan itu sekarang sudah hampir hilang karena kepercayaan menyembah dan menganggap keramat kepada benda atau kuburan itu dinamakan dinamisme. Buyut Trajutisna itu letaknya di Dukuh Kulon.

Pengambilan nama Dukuh Kulon itu mungkin karena letak perkampungan itu ada di sebelah barat atau kampung Dukuh Kulon letaknya yang palingS berat dari keseluruhan Desa Parakan.

Di Rajagaluh ada kerajaan yang diperintahkan oleh bangsa Walanda yang bernama Ratu Galuh dan agama yang dianutnya oleh mereka yaitu agama kafir. Mereka ingin masuk kepada agama Islam. Ratu Galuh mempunyai seorang putra laki-laki ia sedang sekali marak (sunda) yaitu mengambil ikan di sungai Cikamangi di Desa Trajutisna yaitu di antaranya Leuwi Sumar dan Leuwi Cadas.

Marak itu menimbulkan berbagai kerusakan-kerusakan seperti sawah yang dekat sungai itu menjadi rusak. Karena tanahnya diambil yang ada di pinggir sungai pun menjadi rusak. Bendung sungai Cikamangi apabila akan marak.

Nyi Rambut Kasih dalam hatinya merasa kesal melihat perbuatan mereka itu, kemudian ia mengambil tusuk kondenya itu, lalu diciptakanlah menjadi ikan yang besar yaitu ikan senggal yang warnanya putih. Setelah sungai itu airnya surut, maka ramai-ramailah mencari ikan, sedang ramainya mencari ikan kemudian senggal itu menghendaki agar putra galuh itu mati.

32. SEJARAH TENJOLAYAR

Berdasarkan cerita rakyat (legenda) Desa Tenjolayar mempunyai rangkaian sejarah dengan beberapa desa lain di sekitarnya, seperti Desa Manjeti dan Cigasong. Daerah ini diperkirakan zaman dahulu merupakan bagian dari kawasan yang dekat dengan Laut Jawa.

Menurut keterangan Aki Emen (sesepuh), zaman dahulu ada dua orang Kiyai bersaudara asal Cirebon bernama Embah Karsijah dan Embah Kawung Poek. Kedua orang ini tidak rukun dalam kehidupannya, apalagi Kawung Poek mempunyai sifat tamak akan kekuasaan. Berdasarkan kejadian tersebut, Embah Karsijah minta tolong kepada Embah Karim saudara mereka. Sehingga persengketaan dapat diselesaikan oleh Kiyai Karim dengan keputusan, bahwa daerah kekuasaan dibagi menjadi dua, yaitu:
1.Daerah sebelah timur (sekarang Desa Tenjolayar) dikuasai oleh Embah Karsijah.
2.Sebagian besar wilayah Cigasong dikuasai oleh Embah Kawung Poek.
Berdirinya Desa Tenjolayar sekira tahun 1905 atas ajuan tokoh masyarakat kepada Kanjeng Dalem (bupati Majalengka saat itu). Agar tempat ini menjadi sebuah desa, Kanjeng Dalem meminta agar terlebih dahulu didirikan Sekolah ngadapang (Sunda, tengkurap di atas lantai/tanah). Di lokasi sekolah ngadapang tersebut sekarang berdiri Sekolah Dasar Negeri Tenjolayar 1.

Asal kata Tenjolayar sendiri terdiri dari dua suku kata yakni Tenjo yang berarti melihat dan Layar yang berarti layar perahu. Menurut keterangan masyarakat kata Tenjolayar berarti melihat layar, arti ini dapat dibuktikan dengan adanya suatu tempat di Tenjolayar yang bernama Pesanggrahan. Konon tempat tersebut adalah tempat istirahat Ratu Majalengka. Dari tempat ini kita dapat melihat ke arah pantai Cirebon.
Putra Galuh yang sedang akan mengambil ikan senggal tadi, tetapi dengan jilat ikan senggal menyambar tenggorokan Putra Galuh. Setelah menyambar tenggorokan putra galuh ikan senggal itu menghilang. Putra Galuh itu kemudian di bawa langsung ke Rajagaluh. Setelah sampai di Keraton Rajagaluh beberapa waktu kemudian Putra Galuh meninggal dunia.

Sebelum azalnya tiba mengucapkan yang berbunyi “Apabila orang Trajutisna kawin dengan orang Rajagaluh maka di antara mereka tidak umurnya atau tidak jodohnya.” Kemudian setelah kejadian itu Desa Trajutisna dinamakan desanya menjadi Desa Parakan.

LEGENDA KELURAHAN CIKASARUNG
KECAMATAN MAJALENGKA KABUPATEN MAJALENGKA

Di sebelah utara kota Majalengka, sekitar kurang lebih 2,5 Km dari pusat kota Kabupaten setelah melewati Pasir Melati dan Sungai Cideres ada sebuah kelurahan bernama Cikasarung. Kelurahan Cikasarung termasuk dalam wilayah Kecamatan Majalengka dan merupakan perbatasan sebelah utara dengan Kecamatan Dawuan. Jumlah penduduk Kelurahan Cikasarung saat ini 2885 jiwa dengan mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Sebagai sebuah Desa/Kelurahan, Cikasarung bersifat homogen, hal ini menjadikan interaksi antar warganya begitu akrab-bersahabat penuh rasa kekeluargaan.

Lajimnya sebuah kawasan pemukiman di daerah Pasundan penggunaan kata ‘ci’ yang diambil dari kata cai yang berarti air mengandung makna bahwa tempat tersebut subur dengan terdapatnya sumber-sumber air yang melimpah yang ditenggarai dengan adanya satu atau ada beberapa sungai di tempat tersebut.

Di Kelurahan Cikasarung ada sungai yang mana dari nama sungai tersebut lah nama Cikasarung diambil. Sungai Cikasarung berhuli di sebelah Tenggara Kelurahan mengalir sampai Desa karangsambung Kecamatan Kadipaten dan bermuara di Sungai Cilutung.

Di antara nama-nama desa / kelurahan yang berada di Kabupaten Majalengka bahkan di Jawa Barat sekalipun, mungkin nama Cikasarunglah yang terasa asing dan mungkin juga unik di telinga orang-orang yang mendengarnya. Hal tersebut bisa dilihat dari ekspresi orang-orang yang selalu tersenyum ketika nama Cikasarung disebut. Rata-rata mereka beranggapan nama itu diambil dari kata ‘sarung’ dengan mengartikannya ‘cai dina sarung’ (air di dalam kain sarung). Atau ada juga yang menghubungkannya dengan cerita rakyat Lutung Kasarung. Namun menurut sesepuh nama Desa Cikasarung itu diambil dari nama sungai yang mengalir melingkari blok desa. Nama Cikasarung sendiri diambil dari dua kata yaitu: cai dan kasarung.

Menurut para sesepuh desa, asal muasal keberadaan Kelurahan Cikasarung tidak bisa dilepaskan dengan Sejarah Kerajaan Islam Mataram di Jawa Tengah. Pada masa Mataram diperintah oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, Mataram berniat merebut Jayakarta yang pada waktu itu bernama Batavia dari tangan penjajah Belanda. Untuk menyukseskan penyerangan tersebut diperlukan perencanaan yang matang dan jitu. Melihat jarak Mataram- Batavia yang begitu jauh maka sang Sultan memperhitungkan bahwa masalah logistik atau bahan pangan akan menjadi kendala terbesar yang akan dihadapi oleh pasukan Mataram. Untuk mengatsi hal tersebut Sultan memutuskan untuk mengirim secara rahasia para prajurit yang mempunyai keahlian bercocok tanam guna membuka lahan-lahan pertanian di sepanjang jalur yang akan di lewati yaitu di sekitar jalur pantai Utara Jawa Barat sekarang ini. Tugas pokok prajurit-prajurit tersebut adalah membuat lumbung-lumbung padi untuk mensuplai kebutuhan logistik pasukan.

Diceritakan lima orang prajurit mataram sampai ke sebuah tempat di kawasan Kelurahan Cikasarung saat ini. Di tempat tersebut hanya terdapat beberapa keluarga petani yang sederhana dengan seseorang yang dianggap sebagai sesepuh mereka, tepatnya tempat itu masih berupa babakan bukan kampung apalagi desa. Seperti layaknya orang pedesaan warga Babakan itu menyambut kedatangan kelima tamu tak dikenal itu dengan ramah, mereka berkumpul di rumah sesepuh bercengkrama penuh keakraban.
“ Jadi apa maksud ki sanak berlima datang ke sini ?” Tanya sesepuh setelah orang-orang pulang ke rumahnya masing-masing, saat suasana mulai tenang.
“ Sebab saya lihat dari sikap dan penampilan ki sanak bukan para pengembara sembarangan yang kesasar tanpa arah dan tujuan,” lanjutnya lagi.
Kelima prajurit itu saling pandang satu sama lainnya, kemudian keempat orang dari mereka menggunakan kepala kepada seseorang yang menjadi juru bicara, rupanya orang itu adalah pemimpin diantara mereka berlima.
“ melihat keramahan dan keikhlasan hati menyambut kami berempat, baiklah saya akan menerangkan siapa kami sebenarnya. Kami yakin Aki cukup bijak untuk menyimpan rahasia ini.” Lantas pimpinan itu mencerikan semuanya.
“ Begitulah Ki ceritanya.” Ucap pimpinan prajurit itu.
“ O, begitu. Jadi raden-raden ini prajurit Mataram.”
“ Jangan panggil kami raden, toh kami hanya prajurit biasa dan lagipula kami sampai ke Babakan ini bisa juga disebut nyasar karena tujuan kami sebenarnya adalah jalur Pantai Utara Jawa.
“ Baiklah kalau begitu saya pribadi sangat mendukung perjuangan Sultan untuk merebut Batavia. Sebagai bentuk dukungan, saya akan mengganjar kalian dengan lahan sebelah Timur babakan ini untuk digarap menjadi lading atau sawah.”
“ Ooh … terima kasih sekali, Ki.” Jawab mereka berlima serempak.
“ Orang-orang Babakan ini penuh rasa welas asih ini memang Babakan Asih !” Seru pimpinan prajurit kegirangan.

Sejak saat itu Babakan tersebut disebut blok Babakan Asih karena orang-orang di Babakan itu mempunyai sifat welas asih yang tinggi. Sedangkan kelima prajurit Mataram disebut sebagai Balaganjar diambil dari kata Balad dan Ganjar yang artinya : Orang-orang atau kelompok yang diganjar – diberi anugrah, dan tempat mukim merekapun disebut blok Balaganjar.

Setelah itu kelima prajurit Mataram yang memang ahli dalam bertani menggarap lahan yang diberikan oleh sesepuh Babakan Asih. Kendala pertama yang mereka temui susahnya mencari sumber air untuk mengairi lahan mereka, karena letak lahan pertanian yang akan mereka garap lebih tinggi dari Sungai Cideres deet yang berada di sebelah utaranya. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari sumber air di bukit sebelah selatan. Hamper seharian penuh mereka mencarinya, menjelang waktu Ashar mereka menemukan rembesan-rembesan air yang keluar dari rumpun-rumpun honje yang terletak di tebing pasir ynag agak landai. Setelah di korek-korek rembesan-rembesan air itu semakin membesar.
“ Air! Air!” seru mereka kegirangan.
“ Airnya deras sekali, dan jernih.”
“ Cepat bikin pancuran! Biar nanti besok kita buatkan parit-parit untuk aliran airnya.” Perintah sang pemimpin.

Usai sudah pencarian sumber air dan pembuatan saluran irigasi. Dengan tangan dingin kelima petani prajurit itu lahan pertanian Balaganjar yang tadinya hanya lading, semak-semak dan ilalang telah berubah menjadi pesawahan yang subur, dan orang-orang Babakan Asih juga mulai bercocok tanam di lahan tersebut.

Sumber mata air sampai sekarang masih mengalir deras bahkan di musim kemarau sekalipun. Penduduk Dusun Dukuh Pasir – bagian dari Blok Balaganjar sekarang ini – banyak memanfaatkan mata air tersebut untuk mandi mencuci selain untuk mengairi sawah mereka. Penduduk Kelurahan Cikasarung menyebut mata air tersebut dengan sebutan Cihanja mungkin diambil dari kata honje.

Keberhasilan lima prajurit Mataram semakin membuat penduduk Babakan Asih menaruh hormat dan kagum pada mereka. Mereka sering diajak berembuk dalam segala hal yang menyangkut kepentingan bersama. Rasa hormat dan kagum penduduk Babakan Asih diungkapkan dengan pemberian nama-nama kepada kelima prajurit Mataram tersebut seperti : Ki Ganjar sebutan untuk pimpinan kelima prajurit itu, dan untuk prajurit yang mempunyai sifat cakap dan pintar mereka menyebut Ki Jaksa, dan untuk prajurit yang mempunyai keahlian bercocok tanam palawija mereka menyebutnya Ki Bogor, untuk prajurit yang ahli dalam pengobatan mereka menyebutnya Aki Dukun, sedangkan prajurit yang ahli bangunan Ki Putul, nama tersebut lalu diabadikan oleh warga Kelurahan Cikasarung menjadi sebuah tempat / buyut.

Dengan kedatangan kelima prajurit Mataram tersebut taraf kehidupan Penduduk Babakan Asih ada peningkatan dari sebelumnya, hal itu bisa terlihat dari hasil panen yang melimpah dikarenakan semakin luasnya lahan pertanian yang digarap. Mereka selalu bisa menyimpan hasil panen tiap musimnya, sisa dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Untuk memenuhi kebutuhan mereka menjual hasil pertaniannya ke pasar yang letaknya kurang lebih 15 Km di wilayah Kadipaten sekarang ini dengan cara dipikul melewati hutan belantara. Mereka pergi ke pasar setiap seminggu sekali di hari yang biasa mereka sebut sebagai poe pasar. Dan dari pasar ini pula mereka mendapatkan informasi keadaan di luar Babakan tempat tinggal mereka.
Suatu hari bada isya, sesepuh mengundang kelima prajurit Mataram kerumahnya.
“ Ada apa Ki? Sepertinya penting sekali Aki mengundang kami malam-malam begini.” Tanya Ki Ganjar.
“ Ki Ganjar saya mendengar berita dari tukang kain di pasar bahwa Belanda telah mengetahui rencana Sultan untuk menyerang Batavia dan merekapun telah mengetahui Strategi Sultan yang mengirim prajuritnya untuk membuka lahan pertanian, sekarang ini mereka sedang mencari para prajurit yang menyamar jadi petani. Mereka telah banyak menangkapi dan membakar lumbung-lumbung padi di sekitar Pesisir Pantai Utara Jawa. Saya khawatir keberadaan kalian berlima diketahui oleh mereka, karena itu sebaiknya kalian bersembunyi atau pergi dari Babakan ini.” Jawab sesepuh menjelaskan maksud mengapa dia mengundang kelima prajurit itu secara diam-diam.
“ Kenapa kami harus pergi Ki, bukankah jika tentara Belanda datang kami bisa mengaku sebagai orang Babakan ini?” Tanya Ki Ganjar lagi.
“ Penduduk Babakan Asih sedikit, jadi kalau ada orang asing di sini mudah dikenali, lagi pula logat bicara kalian beda sekali dengan kami, sepintas saja orang bisa bahwa kalian dari Jawa.”
“ Tapi tidak mungkin kan kalau kami saat ini harus kembali ke Mataram tugas kami belum selesai.” Ucap Ki Ganjar.
“ Saya tidak mengusulkan kalian untuk kembali ke Mataram tapi untuk bersembunyi sampai keadaan benar-benar aman.”
“ Bagaimana ini saudara-saudara?” Tanya Ki Ganjar kepada keempat temannya.
“ sebagai prajurit Mataram rasanya tidak pantas kita lari atau bersembunyi dari musuh, bukankah kita juga berbekal senjata?” Jawab Ki Putul.
‘ saya sependapat dengan Ki Putul, kita lawan mereka! Biar harus meregang nyawa kita mati dalam keadaan terhormat. Kita ini sejatinya adalah seorang prajurit ingat itu! Kita bukan hanya petani kita prajurit!” Ki Bogor menimpali dengan berapi-api.
“ Saya rasa itu kurang tepat.” Sanggah Ki Jaksa.
“ Mengapa?!” Tanya Ki Putul dan Ki Bogor hampir berbarengan.
“ Berikan kami alasannya!” Pinta Ki Bogor dengan nada bicara yang sedikit emosional.
“ Karena jika kita melawan, orang-orang Babakan Asih akan kena getahnya.” Ujar Ki Jaksa dengan nada yang datar dan ekspresi.
“ Ya benar, kita tidak mungkin melibatkan apalagi mengorbankan mereka semua. Mereka petani asli tidak seperti kita.” Ki Dukun menambahkan.
“ Lagi pula kita kalah dalam hal kelengkapan senjata dan jumlah prajurit juga kemampuan bertempur, pasti kita kalah total. Keberanian harus tetap ada, tetapi harus memakai akal jangan sampai kita mati konyol.”
“ Apa?! Ki Jaksa menganggap bahwa mati sebagai prajurit di medan perang sebagai sebuah tindakan konyol?” jelas sekali terlihat kekesalan dalam raut muka Ki Bogor.
“ Bukan begitu maksud saya Ki…”
“ Lalu apa?” potongnya cepat.
“ Sudah, sudah yang harus kita utamakan sekarang adalah keselamatan penduduk Babakan Asih, sekaligus tugas kita juga bisa dijalankan. Lagi pula Sultan menugaskan kita bukan untuk berperang tapi menyiapkan lumbung-lumbung padi untuk logistik pasukan di saat nanti menyerang ke Batavia.” Sela Ki Ganjar menengahi .
“ Tapi Ki ganjar, Belanda sudah mengetahui hal tersebut.” Ujar sesepuh mengingatkan.
“ kita harus mencari jalan keluarnya.” Ucap Ki Ganjar. Semua orang terdiam, termenung berpikir keras mencari jalan keluar yang terbaik. Suasanapun hening dan tegang desah daun-daun bambu yang diterpa angina malam semakin membuat malam mencekam.
“ Begini saja.” Ki Ganjar memecahkan kebekuan.
“ Sultan menugaskan kita dan kita tidak boleh menyimpang dari tugas utama sebelum ada perintah lain.”
“ Iya saya tahu tapi maksudnya bagaimana ini?” Tanya sesepuh.
“ maksud saya begini kami berlima akan pindah dari Balaganjar. Kami akan membuka lahan baru secara sembunyi-sembunyi yang jauh dari pemukiman penduduk, jangan sampai ada seorang penduduk yang mengetahuinya dan kami akan membuka lahan secara berpencar supaya tidak mudah dilacak Belanda.” Ki Ganjar menghentikan ucapannya sedangkan kelima orang lainnya terlihat mengangguk angguk sebagai tanda mengerti dan setuju dengan pendapat Ki Ganjar.
“ Saya memerlukan bantuan Aki.” Sambung Ki Ganjar.
“ Apa yang bisa saya bantu?” balas Ki Sesepuh.
“ Besok kami akan pergi ke Bukit sebelah selatan mudah-mudahan di sana di temukan tempat yang cocok.”
“ Lalu apa tugas saya?” Tanya sesepuh.
“Besok pagi-pagi Aki kumpulkan seluruh penduduk yang ada di Babakan Asih kami akan bilang kepada mereka bahwa kami akan berpamitan dengan begitu semua orang akan mengira bahwa kami telah pulangke kampung halaman. Setelah itu Aki berpura-pura mengantar kami, kita berjalan berputar agar mereka tidak tahu bahwa tujuan kita adalah bukit di sebelah Selatan.”
“ Ya… ya saya mengerti.” Ucap sesepuh.
“ Jadi jika suatu hari ada Belanda datang kemari mencari orang-orang Mataram tidak akan ada orang yang tahu. Hal ini baik sekali untuk keamanan orang-orang di sini. Bukankah hanya Aki seorang yang tahu bahwa kami prajurit Mataram?” Tanya Ki Ganjar.
“ Saya jamin itu, Ki.” Ucap sesepuh meyakinkan Ki Ganjar.
“ Dan sekarang, mungpung hari telah malam, tolong KI Putul dan Ki Bogor membereskan persenjataan perang kita, kalian harus membawanya jauh dari sini untuk disembunyikan kalau perlu dikubur saja biar aman. Sedangkan saya dengan Ki Jaksa dan Ki Dukun akan berkemas barang-barang.”
“ Baik, Ki” jawab Ki Putul dan Ki Bogor.
“ Saya rasa pertemuan ini telah selesai, kami mohonn pamit untuk berkemas dan bersiap-siap.” Ki Ganjar pamit kepada sesepuh.

Malam itu juga Ki Ganjar dan teman-temannya sibuk berkemas. Ki Putul dan Ki Bogor terlihat menyelinap keluar rumah menuju sebuah bukit di sebelah timur dengan membawa peralatan perang yang mereka punyai semisal keris, pedang, tameng, panah, dan tombak. Mereka mengubur benda-benda tersebut di puncak Bukit sebelah timut Balaganjar.
Esok harinya setelah berpamitan kepada penduduk Babakan Asih kelima prajurit Mataram di temani sesepuhh Babakan mendaki bukit di sebelah selatan Balaganjar. Mereka menelusuri setiap tempat mencari lahan yang cocok untuk membuka lahan pertanian yang baru. Ternyata bukit itu cukup luas malahan lebih luas dari luas Balaganjar ditambah Babakan Asih.
“ tempat ini cukup subur pepohonannya tumbuh dengan bagus, daerah ini sangat cocok untuk pesawahan.” Ujar Ki Ganjar.
“ Ya, sangat sayang sekali kalau hanya ditanami singkong atau ganyong.” Ki Bogor menambahkan lalu ia berjongkok mengambil segenggam tanah dikepal-kepalnya dan di ciumnya.
“ Tapi untuk dijadikan pesawahan kita membutuhkan pengairan yang baik.” Jelas Ki ganjar.
“ Mudah-mudahan kita menemukan sumber air disini” kata Ki Jaksa.
“ Saya yakin di sini ada sumber air yang cukup, karena kesuburan sebuah tanah tidak dapat dipisahkan dari keberadaan sebuah air, mereka adalah sepasang sejoli.” Ki Bogor menjelaskan sambil berkelakar.
“ Ah … Ki Bogor bisa saja.” Ujar sesepuh menepuk bahu Ki Bogor, mereka berenam terkekeh ringan.
“ Kita sudah menemukan tanah yang cocok, tugas kita sekarang adalah menemukan sumber air.” Ucap Ki ganjar.

Mereka berenam melanjutkan perjalanan, mereka berjalan terus kearah Tenggara dari tempat mereka berkumpul meneliti tanah. Kurang lebih setengah jam lamanya pencarian akhirnya mereka menemukan sebuah mata air yang cukup besar. Air menyembur dari dalam tanah membentuk kubang seluas kira-kira dua belas meter persegi, dari kubangan tersebut air mengalir menganak sungai kearah barat. Kelima prajurit ditemani sesepuh menelusuri aliran sungai tersebut sambil membersihkan aliran sungai dari semak-semak, sampah dan endapan-endapan lumpur atau gundukan tanah yang menghalangi kelancaran aliran air sungai. Terlihat mereka bekerja begitu bersemangat sambil bernyanyi ringan sekenanya diselingi dengan gurauan-gurauan, samapi disuatu tempat aliran sungai. Itu terlihat aneh. Semestinya aliran besar mengalir searah dengan sungai lajimnya kea rah barat, akan tetapi ini malah sebaliknya sebagia besar aliran air itu berbelok kesebelah utara dan hanya sebagian kecil yang mengalir kearah barat, itula yantg merupaka suatu keanehan.
“Cai kasarung! “ seru sesepuh
“ Heran?”
“ Heran?” seru kelima prajurit mataram.
“Saya baru tahu bahwa du bukit ini ada cai kasarung. Harusnya sungai ini mengalir kearah barat, ini malah belok kea rah utara sedangkan air yang mengalir kea rah Barat justru sedikit ( cai leutik ), Sesepuh terdengar berguman ia tak bisa menyembunyikan keharanannya. Ternyata aliran air tidak terus mengalir mengalir ke Utara tapi melingkar kea rah Timur berlawanan dengan aliran sungai induknya ( cai kasarung ).

Sejak saat itu sungai itu disebut lebak Cikasarung sedangkan aliran sungai yang berbelok ke kanan lalu melingkar ke arah Timur disebut lebak eran – di ambil dari kata heran dan aliran sungai yang terus mengalir ke arah Barat disebut lebak cileutik.

Akhirnya ki Ganjar memutuskan bahwa ia akan membuka pesawahan di tempat pertama kali mereka meneliti tanah sedangkan ia akan menetap di sebrang ( peuntas ) sebelah Utara sawah garapannya tepatnya dipuncak bukit sebelah selatan Balaganjar.
Dengan tujuan agar ia dapat memantau kedatangan Belanda bila sewaktu – waktu ke Balaganjar. Di tempat Kiganjar memebuka pesawahan itulah berdiri balai Kelurahan Cikasarung sekarang ini sedangkan sawah yang digarap di seberangnya disebut swah peuntas.

Ki Jaksa membuat saung tempat tinggalnya di pinggiran Sungai Cikasarung agak ke hulu sebelah teenggara sawah garapan Ki Ganjar dengan tugas menjaga mata air kelak yang menjadi sumber air sungai Cikasarung. Sampai sekarang sawah garapannya itu disebut Sawah Jaksa.

Ki Putul berdiam tepat di belokan sungai Cikasarung, Eran dan Cileutik, ia bertugas mengolah tanah merah(beureum) di sekitarnya. Dan sawah garapannya disebut Sawah Keusik dan Sawah Beurem.

Sedangkan Ki Dukun ditugaskan untuk membuka huma-sawah tadah hujan agar jauh dari aliran sungai yaitu sebelah barat sawah peuntas. Di tempat tersebut Ki Dukun mulai ngabeubeura (membuka ladang) itulah terdapat sawah Bebera dan Bebera Kiai sekarang ini. Selain itu menemukan sungai kecil yang berhulu di rumpun bambu Tamiang, maka daerah itu dinamakan Lebak Tamiang. Adapun tempat ia membangun saung tempat tinggalnya disebut leuweung Aki Dukun, tepatnya saung itu didirikan cukup jauh dari ladang pertama yang ia buka sebelumnya.

Lain lagi dengan Ki Bogor ditempatkan diujung Barat Kelurahan Cikasarung saat ini lebih jauh dari Ki Dukun. Ki Bogor ditugaskan untuk membuka perkebunan di hutan tersebut seperti kebun singkong, talas, ganyong dan buah-buahan. Di samping berhuma hanya Ki Dukun selain itu Ki Bogor pun bertugas untuk menjaga dan memelihara pepohonan seperti jati, kihujan, jengjing, kihiang dan lain-lainnya yang berada di hutan tersebut. Di sebelah utara, ditempat tinggalnya ia menemukan sebuah mata air, Ki bogor pun membendungnnya sehingga menjadi sebuah sumur disebutlah mata air itu dengan sebutan sumur bendung, namun karena latahnya lidah orang-orang saat ini penduduk cikasarung menyebutnya sumur bandung dan Ki Bogor juga menemukan mata air yang keluar dari semak-semak pohon dadap maka diberi nama lah daerah sekitarnya dengan sebutan Cidadap.

Keahlian kelima prajurit mataram itu dalam hal bertani memang sangat mengagumkan sampai sekarang tempat-tempat tersebut menjadi lahan-lahan pertanian yang produktif di Kelurahan Cikasarung terutama sawah jaksa, sawah pentas, sawah kesik dan sawah balaganjar. Sedangkan daerah lingkungan sungai Cikasarung dengan sungai eran menjadi pusat Kelurahan Cikasarung.

Namun akhir dari keberadaan kelima prajurit mataram tersebut tidak diketahui dengan jelas ada yang beranggapan bahwa mereka ngahiang menghilang begitu saja tanpa bekas dikarenakan kesaktian mereka yang sangat tinggi ada juga yang beranggapan bahwa mereka pergi ke Batavia bergabung dengan pasukan mataram untuk berperang melawan penjajah Belanda. Untuk menghormati jasa-jasa mereka penduduk terus memelihara peninggalan-peninggalan mereka berupa sawah, ladang dan kebun dengan cara menggarapnya dengan baik, juga memelihara mata air-mata air dan saluran irigasi yang mereka buat. Umumnya masyarakat pedesaan mereka pun membuat peti patilasan-patilasan yang disebut buyut di atas saung-saung tempat ke lima prajurit Mataram tersebut menetap, seperti: Buyut Ganjar, Buyut Jaksa, Buyut Putul, Buyut Aki Dukun dan Buyut Bogor. Adapun tempat dikuburnya senjata-senjata pusaka mereka disebut buyut kramat dan tempat tinggal orang yang diberi tugas untuk menjaga setiap (saban) matahari tenggelam sampai matahari terbit disebut Buyut Saban.

Begitulah berita asal mula Kelurahan Cikasarung lazimnya sebuah legenda kebenaran ceritanya sangat sulit dibuktikan.

Kerajaan Sindangkasih di Majalengka, benarkah ada?
Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah buku yang cukup menarik. Sebenarnya buku tersebut merupakan terbitan lama, sebaya dengan umur saya sekarang. Faktor keterbatasan dan ketidaktahuanlah yang menyebabkan saya baru bisa menemukan dan membaca buku tersebut setelah beberapa lama. Buku tersebut ditulis oleh seorang kelahiran Cirebon, sekitar tahun 1983. buku tersebut bercerita tentang sejarah Kerajaan Cerbon (buku tersebut menyebutnya demikian), terutama pasca Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah memimpin kerajaan tersebut.

Dalam buku Kerajaan Cerbon tersebut diceritakan beberapa hal yang mungkin menurut saya bisa merubah sejarah atau bahkan menghilangkan sama sekali Kerajaan Sindangkasih yang konon pernah ada di Majalengka.

Dari beberapa informasi yang saya dapat sebelumnya, bahwa pada zaman sebelum Islam masuk ke Majalengka, terdapat sebuah kerajaan bernama Sindangkasih yang berada di daerah Sindangkasih, Majalengka dan dipimpin oleh ratu bernama Nyi Rambut Kasih. Entah benar atau tidak, yang jelas bila kita mengakses situs Bappeda-Majalengka maka akan diceritakan kisah keberadaan kerajaan tersebut, sama seperti yang saya terima selama 15 tahun terakhir. Ringkasnya keberadaan Kerajaan Sindangkasih tersebut lalu kalah oleh pengaruh Islam dari Kerajaan Cerbon.

Yang menjadi pertanyaan setelah saya membaca buku tersebut ialah, penulis yaitu Unang Sunardjo, S.H menyangkal bahwa Kerajaan Sindangkasih tersebut berada di daerah Majalengka, tetapi terletak di daerah yang namanya sama Sindangkasih di daerah Kecamatan Beber, Kabupaten Cirebon. Menurut buku tersebut, daerah Sindangkasih merupakan hadiah dari ayah Nhay Ambet Kasih (mungkin Nyi Rambut Kasih), yaitu Ki Gedeng Sedhang Kasih setelah Nhay Ambet Kasih menikah dengan Raden Pamanah Rasa, yang kelak dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Sindang Kasih tersebut tak lebih merupakan bagian dari Nagari Surantaka pimpinan Ki Gedeng Sedhang Kasih, yang merupakan pecahan dari daerah otonom di bawah Kerajaan Galuh yang bernama Wanagiri Besar. Karena sesuatu hal, Wanagiri Besar tersebut, menjadi pecah dan terbagi dalam beberapa nagari, termasuk Nagari Surantaka.

Tentunya patut ditelusuri kebenaran pendapat tersebut, karena saya pribadi merasa bahwa pelurusan sejarah merupakan hal penting. Meski telah beribu-ribu tahun ditelan masa, tetapi pelurusan sejarah menjadi perlu ketika kebutuhan untuk menyadari identitas diri menjadi sangat urgen.

Meski tidak sepenuhnya menyalahkan pendapat tersebut, tetapi bila ditanyakan argumen untuk mendukung kebenaran bahwa Kerajaan Sindangkasih memang benar-benar di daerah Majalengka, saya juga kebingungan untuk mencari bukti. Tidak ada patilasan atau dokumen-dokumen sejarah yang mendukung keberadaan Kerajaan Sindangkasih di Majalengka tersebut. Setidaknya sampai sekarang saya belum menemukan dan berhasil mengetahui sisa-sisa peradaban Kerajaan Sindangkasih di Majalengka. Lebih lanjut, buku tersebut hanya mengakui keberadaan Kerajaan Talaga Manggung (yang berpusat di Kec. Talaga sekarang), yang kemudian juga tertundukkan oleh Kerajaan Islam Cerbon. Di Majalengka sendiri, sepertinya pada waktu itu belum ada peradaban, karena tidak pernah disinggung sama sekali hubungan diplomatik atau sejenisnya dengan Kerajaan Cerbon. Kalaupun ada, hanya daerah Rajagaluh yang pernah disebutkan sebagai salah satu daerah ”sampingan” dari Kerajaan Cerbon.

Sehingga mana yang benar dan mana yang salah, belum dapat saya ketahui. Satu hal yang pasti, kita memerlukan argumen sejarah dan dokumen peninggalan yang tersisa untuk membuktikan bahwa memang pernah berdiri Kerajaan Sindangkasih di Majalengka. Tugas siapa?, tentunya kita semua untuk lebih mengenal cikal-bakal peradaban dan nenek moyang kita sendiri. Bersediakah kita?.

Tidak ada komentar:

Sabilulungan dalam bahasa sunda artinya gotong royong. Makna sabilulungan yaitu seiya sekata, seayun, selangkah, sepengertian, sepamahama...