Selasa, 21 September 2010

Ayang-ayang Gung - Ki Mas Tanu

Ayang-ayang gung/Gung goongna rame/Menak Ki Mas Tanu/Nu jadi wadana/ Naha mana kitu/Tukang olo-olo/Loba anu giruk/Ruket jeung Kumpeni/Niat jadi pangkat/Katon kagorengan/Ngantos Kangjeng Dalem/Lempa lempi lempong/Ngadu pipi jeung nu ompong/Jalan ka Batawi ngemplong.

Pada dasarnya Ayang-ayang Agung adalah nyanyian anak-anak. Biasanya kakawihan ini menurut Ensiklopedi Sunda (2000: 70-71) biasa dipakai dalam permainan anak-anak, serta mempunyai pengertian bekerja sama.

Selain itu, menurut buku yang disebut-sebut sebagai pelopor ensiklopedi etnis pertama di Indonesia ini, Ayang-ayang Gung memiliki beberapa keistimewaan. Di antaranya: dalam liriknya. Yaitu akhir suku kata dari kalimat lagu diulang kembali sebagai awal suku kata pada larik berikutnya. Dan suku kata akhir setiap larik menjadi suku kata pertama larik berikutnya. Dengan demikian anak-anak mudah menghapalkannya.

Akan tetapi, terlepas dari masalah keistimewaan di atas, Ayang-ayang Gung bila ditinjau dari isinya memang berisi tentang kritik yang lumayan pedas. Kritikan itu, terutama ditujukan kepada menak yang gumede, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Tokohnya tentu saja Ki Mas Tanu. Tokoh ini digambarkan sebagai tukang olo-olo. Akibat kelakuan ini orang-orang kebanyakan menjadi giruk. Sebab selain olo-olo, Ki Mas Tanu juga ruket jeung kompeni. Langkah ini tentu saja diambilnya karena mempunyai niat ingin menjadi pembesar.

Tetapi walaupun banyak yang tahu tentang Ayang-ayang Gung, mengenai tokoh Ki Mas Tanu agaknya jarang tahu. Padahal tokoh ini diyakini pernah hidup di Tatar Sunda dahulu kala ketika Belanda mengusai negeri ini.

Tetapi dalam perkembangannya, tentang tokoh Ki Mas Tanu ini ada beberapa versi. Paling tidak tercatat ada dua versi yang menceritakan tentang Ki Mas Tanu. Pertama versi Saleh Danasasmita, dalam bukunya Sejarah Bogor (1983). Kedua versi Mikihiro Moriyama yang mencatatnya dalam Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (2005).

Versi Saleh



Menurut Saleh dalam bukunya Sejarah Bogor (1983: 83-84), yang didasarkan pada tulisan MA. Salmun dalam edisi awal majalah Intisari, Ki Mas Tanu dalam Ayang-ayang Gung mengacu kepada Tanujiwa yang merintis pendirian kampung-kampung pertama di daerah Bogor.

Tentang Tanuwijaya, Saleh mengacu pada buku C.H.F. Riesz, De Geschiedenis van Buitenzorg (1887). Menurut Riesz, Tanuwijaya adalah orang Sumedang yang diperintah oleh Camphuijs untuk membabad hutan Pajajaran. Hasilnya ia bisa mendirikan kampung-kampung baru. Di antaranya ada yang di Cipinang (Jatinegara). Selain itu, juga kampung-kampung yang menjadi cikal bakal Kabupaten Bogor. Kampung-kampung yang dimaksud adalah Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranangsiang, Parung Banteng dan Cimahpar.

Tetapi pembabatan hutan itu tidak berlanjut. Sebab Tanujiwa menghormati peninggalan kerajaan Pajajaran, sehingga dihentikkan di sisi utara Sungai Ciliwung. Rasa hormat ini bermula ketika ia berkunjung ke bekas ibu kota Pakuan bersama Sersan Scipio. Dengan demikian, ia ingin mendekatkan diri dengan peninggalan Siliwangi.

Penghormatan kepada kerajaan Pajajaran itu berujung kepada ketidaktaatannya kepada VOC. Apalagi ia merasa dianak-tirikan Kumpeni, sebab ia yang letnan harus tunduk kepada Sersan Scipio yang kulit putih. Akhirnya si “Luitenant der Javanen” ini pun menjadi sekutu dan pelindung Haji Prawatasari yang berjuang melawan VOC. Tetapi mereka kalah dan Tanuwijaya dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika.

Kepahlawanan Ki Mas Tanu ini menjadi polemik antara “Kuncen Bandung” Haryoto Kunto dan sastrawan Sunda Aan Merdeka Permana beberapa tahun yang lalu. Haryoto Kunto dalam tulisannya Gung Goongna Rame (PR 19 Februari 1998) menyatakan bahwa Ki Mas Tanu yang berdarah muda, ambisius dan setia kepada Kumpeni Belanda itu, dijuluki oleh warga masyarakat kala itu sebagai “Si Raja Tega.” Kekejaman dan kelaliman Ki Mas Tanu diperlihatkannya ketika ia memimpin kerja rodi, susuk bendung babad jalan, membangun dan melakukan pengerasan jalan antara Bogor sampai Batavia.

Sebagai balasannya, Aan Merdeka dalam tulisannya Benarkah Ki Mas Tanu Pengkhianat? (PR, 23 Februari 1998) menganggap Ki Mas Tanu berbeda dengan gambaran tokoh tersebut yang selama ini ada di masyarakat. Menurutnya alasan Ki Mas Tanu bergabung dengan Kompeni bukan lantaran mencari nafkah apalagi mencari jabatan, namun karena kerinduannya akan penelusuran sejarah nenek moyangnya.

Sebab menurut Aan, sesuai dengan wawancaranya dengan Pak Ucang Sumardi dan Tutun Anwar, Ki Mas Tanu berasal dari keluarga bangsawan Sumedanglarang yang notabene masih berkerabat dengan Kerajaan Pajajaran. Bahkan Sumedanglarang menjadi pengganti kerajaan Pajajaran.

Versi Miki
Lain pula pendapat Mikihiro Moriyama. Menurut doktor sastra Sunda jebolan Rijkuniversiteit Belanda 2003 ini dalam karyanya Semangat Baru (2005: 163-164):

“Penduduk setempat (Garut-pen) masih mengetahui bahwa keluarga Moesa (RH. Moehamad Moesa - pen) adalah yang terkaya di wilayah itu, dan mereka masih menjalin hubungan dan kerjasama dengan Belanda. Pendek kata, kebanyakan orang berpandangan negatif terhadap Moesa, walaupun beberapa orang menyatakan kekaguman mereka atas sumbangannya dan Holle di bidang pertanian.”

Dan Ayang-ayang Gung, menurut versi Miki sesuai dengan data yang didapatkan, untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh R. Poeradiredja dan M. Soeriadiradja pada Kongres Pertama Bahasa, Geografi, dan Etnografi Jawa (Eerste Congres voor de Taal, Land- en Volkenkunde van Java ) di Solo pada 1919.

Dalam makalahnya “Bijdrage tot de Kennis der Soendasche taal” (Djawa 4: 401-412), mereka berpendapat bahwa Ayang-ayang Gung dikarang oleh penulisnya untuk mengejek ambisi Moesa yang sudah kelewat batas. Puisi tersebut dinyanyikan dalam kongres tersebut supaya enak didengar.

Tetapi di sisi lain, dalam wawancaranya dengan Soemarna W.S. di Balubur Limbangan pada 25-26 Oktober 1994, Miki mendengar bahwa Ayang-ayang Gung sebenarnya karya Moehamad Moesa sendiri. Moesa khawatir anaknya akan dikalahkan oleh salah seorang lawan politiknya, yaitu kepala distrik Suci yang bernama Tanu. Rupanya Moesa memahami benar arti rumor untuk menjatuhkan orang, sehingga ia berupaya agar nyanyian tersebut dikenal luas. Tetapi malah senjata makan tuan, ia yang mengarangnya jadi bahan ejekan orang.

Tidak ada komentar:

Sabilulungan dalam bahasa sunda artinya gotong royong. Makna sabilulungan yaitu seiya sekata, seayun, selangkah, sepengertian, sepamahama...