Senin, 01 September 2008

Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi Kasus di Lebak, Banten

Kajian dan Opini
Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi Kasus di Lebak, Banten
Oleh Gamma Galudra
Social Forestry Specialist World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional. Jl. CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, PO BOX 161, Bogor 16001.
Berbagai studi dan kajian telah mengindikasikan bahwa 113.357 ha, yang kemudian dinamakan sebagai Taman masalah konflik tenurial yang terjadi di Indonesia berawal Nasional Gunung Halimun-Salak. Kebijakan ini telah dari warisan kebijakan kolonial Belanda yang berlanjut mengangkat kembali konflik tenurial antara masyarakat hingga kebijakan nasional terkini. Dugaan ini berasal dari Kasepuhan dengan Pemerintah. Pemerintah berkeyakinan keyakinan bahwa konsep kebijakan penguasaan negara di bahwa status tanah-tanah tersebut merupakan Kawasan masa Hindia Belanda masih berlanjut hingga kini, Hutan Negara dan telah dikuasai serta diselesaikan perubahan-perubahan kebijakan di masa kemerdekaan ini penataan batasnya sejak tahun 1923. Di lain pihak, belum berjalan dengan baik. masyarakat adat mengaku, bahwa mereka telah
menggarap tanah-tanah tersebut secara turun-temurun Ditinjau dari sisi sejarah, maka perubahan-perubahan sejak tahun 1910. Oleh karena itu, pemaparan penelitian kebijakan di masa Hindia Belanda hingga masa sejarah diharapkan dapat membantu menjelaskan dan kemerdekaan (dan berlanjut di era reformasi) memahamiperistiwakonfliktenurialtersebut. berkontribusi besar terhadap konflik tenurial. Artikel ini tidak berusaha menerangkan bahwa konflik tenurial Berdasarkan hasil penelusuran dokumen Berita Acara diduga terjadi akibat perubahan-perubahan kebijakan, Tata Batas (BATB), terdapat 18 kelompok hutan di Lebak tapi lebih memaparkan bahwa ketidakpastian hukum yang ditunjuk dan ditata batas pada masa kolonial Hindia yang berlaku atas penguasaan hutan itu berkontribusi Belanda. Dari 18 kelompok hutan tersebut, 3 diantaranya terhadap menculnya konflik tenurial hingga saat ini. Studi yaitu kelompok Hutan Sanggabuana Selatan, kasus di Lebak, Banten dapat menjadi contoh pendekatan Sanggabuana Utara dan Bongkok menjadi landasan yang terpilih. hukum bagi penunjukan Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak. Dari hasil penelusuran dokumen Konflik dan Sengketa Tanah di Lebak, Banten: tersebut, terbukti bahwa hutan-hutan di Taman Nasional Pasca Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Gunung Halimun-Salak telah ditata batas dan Salak dikukuhkan, sehingga nampaknya pemerintah memiliki
kekuatan hukum atas hutan-hutan tersebut. Kabupaten Lebak terletak di bagian Selatan Propinsi Banten dan berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Barat. Sebagian besar penduduk kabupaten Lebak adalah masyarakat suku Sunda dan sebagian kecil masyarakat pendatang, terutama suku Jawa. Di Lebak, terdapat pula masyarakat adat yang masih mempraktekkan cara hidup leluhur mereka (tatali paranti karuhun) dengan memanfaatkan kawasan pertanian hutan (ngahuma). Masyarakat adat ini menamakan dirinya sebagai masyarakat Kasepuhan. Mereka memiliki cara pengelolaan sumberdaya hutan yang berbeda dengan masyarakat lain.
Pada tahun 2003, Pemerintah (Menteri Kehutanan RI) menerbitkan SK No. 175/2003 tentang perluasan Taman Nasional Gunung Halimun dari luas 40.000 ha menjadi
Sebagian Landscape TN Gunung Halimun (Foto: Wito/WG Tenure)
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org -Warta Tenure Nomor 2 - Mei 2006

Kajian dan Opini
Di lain pihak, berdasarkan catatan statistik di Residen Di lain pihak, Dinas Kehutanan (Dienst van het Boschwezen) Banten tahun 1934 (Staat der op 31 December 1934 in de tidak mengakui bentuk-bentuk pengakuan dari Residen Residentie Bantam Aanwezige Boschreserve), dua kelompok Banten dan memasukkan tanah-tanah tersebut ke dalam hutan, yaitu Sanggabuana Selatan dan Bongkok, Kawasan Hutan Negara. Hal ini dikarenakan proses bersengketa dengan tanah-tanah huma garapan penataan batas dan pemetaan kawasan hutan telah masyarakat (Lihat Tabel 1). Catatan statistik ini diselesaikan sebelum tahun 1924. Oleh karena itu, Dinas menunjukkan bahwa, walaupun hutan-hutan tersebut Kehutanan memandang bahwa bentuk pengakuan dari telah ditata batas dan dikukuhkan, proses penataan batas Residen Banten atas tanah-tanah huma garapan tersebut tidak berhasil menyelesaikan hak-hak masyarakat adalah cacat hukum. Gubernur Jenderal masyarakat atas tanah garapan mereka. berusaha menengahi dan menyelesaikan sengketa tanah tersebut, namun hingga akhir masa penjajahan Belanda
Tabel 1. Kelompok Hutan bagian dari Taman Nasional Gunung
tahun 1942, tidak ada penyelesaian hukum atas sengketa
Halimun-Salak yang bersengketa dengan Tanah-Tanah Huma
tanah tersebut.
(garapan masyarakat)

Ditinjau dari catatan sejarah, nampak bahwa permasalahan sengketa tanah di Lebak disebabkan oleh ketidakpastian hukum atas penyelesaian sengketa tanah¬tanah huma garapan masyarakat di masa kolonial Hindia Sengketa tanah ini berawal dari pengakuan tanah-tanah Belanda. Tiadanya penyelesaian sengketa tanah tersebut huma sebagai hak sewa oleh Residen Banten pada tahun berlanjut hingga kini. Pemerintah saat ini perlu 1912, sesuai dengan ketentuan Gouvernement Besluit van 8 menyelesaikan sengketa tanah ini agar pengelolaan November 1909 No. 8. Pada tahun 1924, tanah-tanah huma Taman Nasional Gunung Halimun-Salak tidak terganggu tersebut diakui keberadaannya melalui Besluit van den dengan tanpa mengabaikan hak-hak masyarakat atas Resident van Bantam van 12 September 1924 no. 10453/7. tanah-tanah huma mereka. *** Residen Banten bersikukuh bahwa huma-huma garapan tersebut memiliki kekuatan hukum.
Peta sebaran masyarakat adat di kawasan ekosistem Halimun (Sumber: Nyoreang Alam Ka Tukang, Nyawang Anu Bakal Datang [RMI,2004]) dan salah satu kampung di kasepuhan

Tidak ada komentar:

Sabilulungan dalam bahasa sunda artinya gotong royong. Makna sabilulungan yaitu seiya sekata, seayun, selangkah, sepengertian, sepamahama...